Mohon tunggu...
mulya nizarhakiki
mulya nizarhakiki Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa uinkhas jember

dengan membaca kita dapat mengenal dunia dengan menulis kita dapat dikenal dunia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rusaknya Arab Pra Islam, Muhammad dan Al Qur'an sebagai Cahaya Pembenaran

18 Juni 2022   12:20 Diperbarui: 18 Juni 2022   12:37 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Arab pra islam dan budayanya

Jazirah Arab, tempat di mana orang-orang Arab berdomisili, me rupakan bentangan padang pasir yang sangat luas. Secara sederhana Jazirah ini terbagi ke dalam dua bagian wilayah besar, yakni ta dan selatan. Bagian sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan Syiria (dahulu disebut Syam), sedangkan dibagian sebelah selatan pe batasan dengan teluk Aden dan Samudera India.

Pada zaman danulu orang Arab mengukur luas wilayannya vaktu yang dibutuhkan untuk berjalan kaki dari satu ujung ke yang lain. Dengan ukuran seperti itu, melintasi Jazirah Arab d utara ke selatan, menghabiskan waktu selama 7 bulan 11 hari. Menurut ukuran modern, luas wilayah tersebut diperkirakan sekitar 2 juta m lebih luas dari semenanjung India, atau empat kali lebih luas dari pada Jerman dan Perancis sekarang ini Muzaffaruddin, hal: 64).

Di sebelah utara, keadaan wilayahnya sangat gersang. Daerahnya terdiri atas tanah pasir yang kering dan gunung-gunung yang terjal, sehingga sulit sekali ditemukan sumber air. Adapun di belahan selatan keadaannya sedikit lebih hijau, karena selain banyaknya sumber-sumber air, Juga terdapat beberapa jalan air yang melintas dari daerah pe gunungan.

Orang Arab berdomisili di sekitar sumber-sumber air tersebut. Mereka memanfaatkan kelembaban dan kesuburan tanahnya untuk kegiatan pertanian dan peternakan. Berhubung di sebelah utara sulit sekalai menemukan sumber air dimaksud, maka penduduk yang menetap disana tidak menggantungkan sumber penghidupannya pada pertanian maupun peternakan. Mereka terbiasa dengan kegiatan perdagangan, memenui berbagai kebutunan hidup masyarakat, baik yang tersebar di Jazirah Arab itu sendiri, maupun bangsa lain yang berada di luar wilayahnya. (haekal, hal: 1-23).

Oleh sebab itu orang-orang Arab yang berada di sebelah utara jarang menetap di suatu tempat dalam waktu yang cukup lama. Mereka sering berpindah-pindah tempat untuk melakukan perniagaan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan keadaan. Pada musim panas mereka melakukan perjalanan perniagaan ke Syiria, sedangkan pada musim dingin ke negeri Yaman.

 Akibat kesibukan perniagaan itu (serta beberapa penyebab lain nya), mereka tidak sempat membangun suatu masyarakat dengan tingkat kebudayaan tertentu secara sempurna. Mereka lebih senang hidup kabilah-kabilah, menikmati kebebasan individual bersama-sama dalam kabilah-kabilahnyanya.

Hal ini berbeda sekali dengan masyarakat Arab yang berdomilisi di belahan selatan. Tanah yang lebih subur di wilayahnya, memungkinkan mereka menetap di satu tempat, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bercocok tanam ataupun berternak. Sumber-sumber ekonomis yang cukup baik seperti itu, tidak mengundang mereka untuk banyak merantau dan berniaga ke tempat-tempat yang jauh. Dengan demikian mereka dapa hidup dalam sebuan masyarakat yang lebih teratur dengan kebudayaan yang lebih tinggi.

Di daerah pertengahan antara wilayah utara dan selatan Jaziran Arab, terdapat satu tempat yang bernama Mekkah. Daerah ini menjadi tempat persinggahan orang-orang Arab manakala mereka bepergian ke utara, demikan pula sebaliknya ketika mereka berniaga ke selatan, se hingga Mekkah menjadi tempat yang sangat strategis menghubungkan dua wilayah jazirah Arab bagian utara dengan wilayah selatan.

Sebagai tempat persinggahan, Mekkah tumbun dan berkembang secara ekonomis. Di sini kemudian tumbuh beberapa pasar terkenal untuk ampat terjadinya transaksi perdagangan seperti: Ukkaz dan Zulmeyaz. Kenyataan Ini mengangkat posisi Mekkah menjadi sebuan kota yang perlu diperhitungkan dalam siklus perdagangan di Jazirah Arab ketika itu.

Posisi kota Mekkah yang strategis dalam lintas perniagaan tersebut, menjadi lebih menarik lagi karena di sana terdapat bangunan yang disebut ka'bah. Bangunan ini merupakan pusat kegiatan spiritual orang-orang Arab yang telah berdiri sejak berabad-abad sebelumnya. Dengan demikian Mekkah sekaligus juga menjadi pusat dimensi kehidupan rohani bagi orang Arab ketika itu.

Kedua faktor yang mengangkat posisi kota Mekkah menjadi pusat perhatian seperti disebutkan di atas, menimbulkan rasa iri di kalangan para penguasa dan orang-orang kuat di berbagai kabilah maupun kerajaan tertentu (seperti kerajaan Abbesinia). Oleh sebab itu banyak pihak yang berhasrat ingin menguasai, atau setidaknya menjadi orang yang di percaya memimpin kota Mekkah. Kenyataan demikian semakin memperkokoh arti pentingnya kota Mekkah, bukan hanya secara ekonomis dan religius, tetapi juga secara politis.

Salah satu usaha yang pernah ditempuh guna memenuhi ambisi me nguasai kota Mekkah, antara lain adalah datang dari pasukan Abrahah dengan tentara gajahnya (peristiwa ini diabadikan olen Al-Qur'an pada surat Al-Fil). Percobaan pengambilan kekuasaan tersebut mengalami kegagalan, sehingga semakin memperkuat posisi kota Mekkah sebagai kota terpenting di jazirah Arab.

Peristiwa kegagalan tentara Abrahah, selain mengangkat posisi kota Mekkah, juga semakin membangkitkan kebanggaan di kalangan masyarakatnya terhadap apa yang tengah mereka miliki hingga saat itu. Salah satu manifestasi kebanggaan tersebut adalah seringnya penduduk Mekkah berkumpul di sekeliling Ka'bah untuk bersenang-senang sembari meminum nabidh (minuman keras) dan mendengarkan cerita-cerita tentang masyara kat pedalaman.Begitulah suasana kota Mekkah sebelum kedatangan Islam.

 Dengan kondisi geografis serta kebiasaan sehari-hari yang telah digambarkan terdahulu, orang seperti Arab memiliki tiga macam simbol kebanggaan, yakni: keturunan, kemahiran menunggang kuda, dan kepandaian berbicara.

Keturunan bagi orang Arab benar-benar merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Mungkin hal ini berkaitan dengan faktor ekonomi, sehingga semakin banyak keturunan seseorang maka semakin terbuka peluang untuk memperoleh sebanyak-banyaknya barang kebutuhan untuk konsumsi. 

Demikian seterusnya hingga derajat seseorang di tengah masyarakat akan sangat bergantung pada besar-kecilnya keturunan, tinggi-rendahnya kemuliaan hubungan nasab dengan orang-orang ter dahulu, atau keadaan tertentu yang mencirikan ketinggian suatu suku. Itulah sebabnya orang-orang Arab merangkai nama individu dengan silai lah keturunan, atau suku tertentu.

Keadaan seperti ini melahirkan stratifikasi sosial kedalam lapisan suku-suku, yang wujud fisiknya terlihat pada Jauh dekatnyatempat tinggal seseorang atau suatu keluarga dengan bangunan Ka'bah. Mereka yang rumahnya terdekat dengan Ka'bah, tentulah akan menjadi anggota terhormat di tengah masyarakat itu. Demikian pula sebaliknya. 

Simbol kedua dalam susunan kebanggaan orang Arab adalah kemahiran menunggang kuda. Kemahiran berkuda ini pada mulanya hanya sekedar untuk kepentingan pengembaraan di tengah padang pasir geni ke perluan perniagaan. jarak tempuh yang sangat Jauh dan menuntut tersedianya sarana transportasi yang memadai. 

Oleh sebab itu kemahiran mengendalikan kuda, sebagai satu-satunya sarana yang mampu berpacu dengan waktu, merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan orang-orang Arab. Akan tetapi lambat-laun kuda tidak hanya sekedar menjadi sarana angkut, tetapi juga sangat efektif untuk kepentingan pertahanan. Setelah mahir mengendalikan kuda dan disatukan dengan kepandaian memanan yang mereka peroleh dari Afrika, maka kemahiran berkuda berkembang sedemikian rupa hingga c munculkan teknologi perang yang cukup maju ketika itu.

Akibatnya tumbuh pula model stratifikasi kedua, yakni memandang posisi sosial seseorang atau suatu keluarga berdasarkan kemanpuannya dalam berperang. Kegagahannya dalam menaklukkan lawan di medan perang menimbulkan keseganan dan kewibawaan di tengah masyarakat. Dengan demikian kejayaan seseorang dalam menaklukkan musuh, akan semakin meningkatkan kedudukannya di masyarakat. 

Hal ini akan tercermin dalam panutan terhadap tinggah lakunya, ketaatannya terhadap perintah, serta perlindungan diri dari ancaman luar. Begitulah perlakuan orang Arab ter hadap keperkasaan seseorang.

Namun demikian, kemajuan dalam teknologi berperang bukanlah puncak kemegahan orang-orang Arab. Kemajuan itu masih setanding dengan kemampuan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Puncak kebudayaan Arab justru berangkat dari kemampuannya yang tidak bersifat kekerasan, yakni: berbahasa lisan.

Masyarakat Arab sangat menghargai orang-orang yang pandai berbicara, terlebih lagi mereka yang mampu melakukan secara puitis. Jika malam hari tiba umpamanya, penduduk kota Mekkah berkumpul di sekeliling Ka'bah untuk mendengarkan cerita tentang masyarakat pedalaman, kisah-kisah tentang orang terdahulu, ataupun syair-syair pujian. Kebiasaan ini terus berkembang bankan sampai ke rumah-rumah penduduk menjadi tradisi di dalam keluarga.

Oleh sebab itulah penghargaan mereka terhadap para penceria, pembaca kisah, ataupun para pengubah dan pembaca syair sangat tinggi. Sehingga secara sosial, derajat kemuliaan seseorang ditentukan pula oleh kemampuannya dalam berbahasa lisan ini. Cerita, kisah, ataupun syair yang mereka sajikan menjadi sumber rujukan dalam kehidupan sehari-hari, serta perilaku yang ditampilkan menjadi tauladan bagi anggota masyarakat lainnya.

perkembangan bahasa Arab maju dengan baik sekali, sehingga tidak ada satupun bangsa di dunia yang mampu menandingi keunggulan dan kemajuan orang Arab dalam berbahasa lisan. Masyarakat dan bangsa di luarnya secara rutin mengikuti perkembangan kemajuan ini. Salah satu tolak ukur kemajuan yang dipantau, adalah perlombaan yang biasa dilakukan di pasar-pasar di kota Mekkah. Dalam kaitan ini maka kota Mekkah sekaligus juga menjadi pusat budaya ketika itu.

Sebagaimana diungkapkan terdahulu, penduduk kota Mekkah khususnya dan orang-orang Arab pada umumnya, menyadari benar keunggulan keunggulan yang mereka miliki. Mereka merasa sebagai suatu masyarakat yang tinggi kedudukannya dalam percaturan antar bangsa. Oleh karena itu orang Arab berusaha dengan segala daya untuk memelihara dan mem pertahankan semua yang dimiliki.

Pada satu sisi kesadaran seperti itu bernilai positif bagai pelestarian budaya, tetapi pada sisi yang berbeda sikap demikian mengakibatkan ketertutupan terhadap budaya luar yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan kebudayaan itu sendiri. Inilah yang terjadi pada masyarakat Arab. Orang-orang Arab, meskipun sebagai suatu bangsa yang selalu berhubungan dengan bangsa lain di luar vilayahnya, tetapi mereka tidak tertarik dengan produk budaya masyarakat tersebut.

Kurangnya perhatian orang Arab terhadap budaya luar, antara lain Juga terlihat dalam dimensi spiritual (terlebih lagi terhadap orang orang Yahudi dan niasrani yang secara sosial berada dalam posisi yang lemah). Orang Arab lebih bangga dengan tata kehidupan spiritual sebegaimana yang mereka warisi sejak dahulu. Mereka lebih suka memelihara tradisi sendiri dan tidak berusaha untuk mengembangkannya secara di alektis dengan budaya asing.

Salah satu bentuk tradisi yang mereka pelihara adalah memandangrendah derajat kedudukan kaum wanita, serta membenarkan perbudakan berlangsung di tengah masyarakat. Mereka memandang tradisi seperti itu baik dan tidak bertentangan dengan harkat kemanusiaan. Sehingga perbuatan semena-mena mengeksploitasi manusia, atau menghilangkan hak hidup seseorang, merupakan perbuatan biasa pada zaman arab waktu itu. malu mempunyai anak perempuan, serta memperjual-belikan manusia (budak), merupakan pemandangan sehari-hari yang terjadi di Jazirah Arab.

Perbuatan yang semena-mena seperti itu, melahirkan ketidakadilan sosial. masyarakat bawah menjadi korban kebiadaban kelas atas dalan struktur sosial orang Arab ketika itu. Orang-orang tertentu karena kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki, dapat berbuat apa saja terhadap orang yang lemah. Itulah sebabnya orang seperti Umar bin Khattab sebelum muslim) sangat ditakuti dan disegani masyarakat; atau orang seperti Abu Bakar, mempunyai budak belian yang banyak sekali jumhlahnya. Hal ini lah yang sangat bertentangan dengan agama serta akan menjadi tantagan sendiri bagi islam untuk merubah akan hal itu.

Kemampuan orang-orang Arab dalam berbahasa lisan, seperti yang telah diuraikan diatas, sulit sekali ditandingi oleh bangsa lain di dunia. Syair-syair mereka sangat mengagumkan, cerita dan kisah yang dikemukakan sangat memukau. Sehingga, banyak sekali orang yang datang berkunjung ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar untuk mendengarkan pembacaan syair ataupun mendengarkan kisah-kisah. Hal itu bukan saja dilakukan oleh penduduk setempat, tetapi juga ne ngundang kehadiran orang lain di luar wilayah bersangkutan.

Oleh karena itu penghargaan orang-orang Arab terhadap penyair maupun pembaca kisah sangat tinggi. Sehingga derajat seseorang di tengah masyarakat, berkaitan erat dengan kemampuannya dalam berbahasa. Mereka yang mampu berbicara dengan baik sekali, atau pengubah-pengubah syair yang ternama, nenjadi fokus perhatian dalam kehidupan masyarakat. Syair dan ceritanya didengarkan secara seksama, serta perilakunya dijadian teladan. 

Dengan demikian sumber rujukan nilai masyarakat, adalah tokoh-tokoh yang terpandang karena cemiliki kelebihan tertentu, khususnya kemampuan dalam menggunakan bahasa lisan ini. Kenyataan itu mengakibatkan bahva sumber rujukan nilai masyarakat bukanlah nilai itu sendiri, melainkan personnya.

Tokoh masyarakat seperti penguasa (orang kuat), atau penyair ternama, dapat dengan bebas menjadi pencipta nilai-nilai kehidupan yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Dari sinilah antara lain awal kesemena-menaan. Manusia menentukan sendiri tata kehidupan, serta di Ikuti dengan tulus oleh manusia lainnya selalui media bahasa. Di tengah ketinggian budaya bahasa Arab inilah Al-Qur'an ditu funan dengan tidak hanya sekedar menandingi keunggulan kemampuan orang Arab, tetapi lebih dari itu mampu Pengungguli punca-puncak ketinggiannya. Sebab sesungguhnya bahasa Al-Qur'an bukan bahasa penyair, melainkan wahyu dari tuhan yang maha esa.

Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, kemudian dengan irama yang disesuaikan dengan kegemaran budaya setempat, maka Al Qur'an cepat sekali mendapat perhatian dan simpati. Pada mulanya perhatian masyarakat terhadap Al-Qur'an dilakukan secara sembunyi sembunyi, tetapi lama-kelamaan Al-Qur'an sempengaruhi sebagian besar lapisan masyarakat. Pada tahap awalnya ayat-ayat Al-Qur'an hanya menjadi konsumsi anggota masyarakat kelas bawah, orang-orang yang tidak berpengaruh secara sosial, serta golongan para budak. tetapi akhirnya Juga dikonsumsi oleh lapisan atas, pera tokoh masyarsat dan penge tempat (dalan kaitan ini, perhatikan kasus Umar bin khattab setelah masuk Islam).

Bagi orang-orang Arab ketika itu, mendengarkan pembacaan ayat Al-Qur'an, sungguh mengagumkan. Susunan kalimatnya sangat sempurna, irama bahasanya sangat puitis, dan kandungan isinya yang sangat mendalam. Sehingga bagi mereka susunan seperti itu mustahil bisa dilakukan oleh manusia biasa. Kekaguman yang tinggi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an bahkan membuat mereka terlena, lupa pekerjaan, lupa watu, lupa ter hadap status yang dimiliki, bahkan lupa segala-galanya.

Gejolak seperti itulah yang kemudian mengakibatkan bergesernya. sumber rujukan nilai masyarakat Arab, yakni dari tokoh yangmemiliki kemampuan bahasa lisan (dan penguasa), kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan tokoh pembawanya Muhammad bin Abdul Thutholib. Sehingga Al-Qur'an turun dengan menggunakan pendekatan budaya yang tepat sekali, seaual kanya taan sosio-kultural ketika itu.

Walau ayat al-Quran dilukiskan dengan berbagai keistimewaan seperti yang disebutkan diatas, tidak berarti bahwa masyarakat Arab mengakui keunggulan itu secara mutlak. Hati mereka yang telah begitu lama ditempa dengan sistem Jahiliah sebelumnya, berakibat pada munculnya rekasi penolakan terhadap kehadiran missi Muhammad SAW bersama ayat-ayat Al-Qur'an yang dibawanya oleh orang-orang tertentu.

Penolakan tersebut, setidaknya terdapat dua hal, yakni: berkaitan dengan Kesepian memanding ayat Al-Qur'an, serta membujuk Muhammad SAW untuk mengundurkan diri dari kegiatannya dengan beberapa imbalan yang sepandan. Mengenai penolakan pertama, muncul reaksi dari para ahli syair untuk menghadirkan ciptaan/gubahan sebagaimana yang ditunJukkan oleh Muhammad. Tandingan itu antara lain datang dari Husailamah Al-Kazzab, Thulaihah, Habalah bin Ka'ab, dan lain-lain. Sedangkan diantara gubahan yang dijadikan sebagai tandingan ayat Al-Qur'an antara

Artinya: Haik katak (kodox) anak dari dua katak. Bersinkanlah apa-apa yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah.

Gubahan tersebut di antaranya mendapat penilaian oleh seorang sastrawan Arab termashur, yaitu Al-Jahiz di dalam bukunya "Al-Hayvan", yang menyebutkan bahwa ungkapan seperti tersebut di atas jelas memiliki nilai kesucian yang sangat rendah. Hal tersebut tidak lain muncul dari Jiwa yang kotor. Sehingga ungkapan tersebut sangat tidak bernilai apabila dimaksudkan untuk menandingi ayat suci Al-Qur'an.

Adapun usaha lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Arab untuk menghindari diri dari misi Al-Qur'an adalah berkaitan langsung dengan pribadi pembawanya. Setelah melakukan permufakatan, beberapa orang tokoh Quraisy mengurus Abdul walid, seorang sastrawan arab yang tiada tandingannya, menghadap nabi Muhammad SAW. Kepada Munammad diberikan tuntutan agar mengundurkan diri dari kegiatan yang telahmembawa Reresahan itu, sebagai Imbalannya M uhammad SA akan diberi kedudukan/ pangkat, harta kekayaan, ataupun apa saja yang diinginkan.

Setelah mendengar tuntutan Abdul Walid, Rasulullah SAW mem bacakan beberapa ayat dalan surat Fushshilat hingga akhir. mendengar ayat tersebut, Abdul Walid terkesima, sehingga la termenung nemikirkan dan menikmati keindahan ayat tersebut, kemudian langsung kembali kepada kaumnya tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Rasulullah. 

Inilah antara lain salah satu kegagalan orang Arab dalam nenandingin kelebihan ayat-ayat Al-Qur'an. Oleh sebab itulah Tuhan sendiri menantang umat manusia secara keseluruhan untuk mendatangkan candingan Al-Qur'an, sebagaian atau seluruhnya, jika masih ada saja manusia yang meragukannya..

Setelah masyarakat Arab tunduk kepada tokoh Muhammad dan ayat ayat Al-Qur'an yang dibawanya, maka sedikit demi sedikit terjadi perubahan di dalam tata kehidupan masyarakatnya. Perubahan itu terjadi karena Al-Qur'an menunaikan dua fungsi utama, yakni:

a. Senbenarkan Hal-hal tertentu yang telah menjadi Gradisi mereka, apabila itu benar kemudian dinyatakannya sebagai ajaran Islam yang harus dilkuti.

b. Melarang hal-hal tertentu yang telah menjadi tradisi mereka, apa bila hal tersebut salah maka sekaligus diberikan sesuatu yang baru dengan pendekatan yang bijaksana.

Kedua dimensi itu yang dilakukan oleh Al-Qur'an dalam melakukan perubahan masyarakat. Muhammad SAM sebagai figur yang membawa ayat ayat Al-Qur'an, dalam hal ini merupakan orang yang pertama menunjuk kannya dalam perbuatan. Oleh sesab itu maka uhamad dan Al-Qur'an menjadi sumber nilai dan panutan masyarakat yang baru.

MUHAMMAD SEBAGAI USWATUN HASANAH

Di tengah situsai ketidak-adilan yang melanda masyarakat Arab, lahirlah seorang bayi lelaki yang kelak akan membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia. Kelahiran itu terjadi pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah, bertepatan dengan 29 April tahun 571 Masehi. Bayi lelaki dimaksud, diberi nama oleh kakeknya dengan Muhammad, sebuah nama yang tidak pernah dimiliki oleh siapapun sebelumnya sejak dahulu.

Sejak lahirnya, Muhammad adalah anak yatim. Ayahnya bernama Abdullah, telah tiada sekitar tujuh bulan sebelum kelahirannya. Oleh karena itu dia hanya berjumpa dengan ibunya yang bernama Aminah. Akan tetapi perjumpaan ini belum berarti bagi kehidupan bayi Muhammad, Sebab sudah menjadi kebiasaan orang-orang bangaawan kota Mekkah untuk menyusukan dan menitipkan anak mereka kepada wanita badiyah (dusun 44 padang pasir), agar bayi itu dapat menghirup udara segar serta dapat berbahasa dengan bahasa yang murni. Muhammad disisipkan ke sana, dan di asuh hingga berusia sekitar lima tahun..

Perjumpaan dengan ibunya secara lebih dekat baru terjadi sesudah usta lima tahun sekembalinya ke Mekkah. Akan tetapi setelah beberapa bulan saja memperoleh kasih sayang, ibunya Juga meninggal dunia, sepulang dari berziarah ke makam ayahnya. Oleh karena itu kasih sayang ibunya tidak sempat diperolehnya secara sempurna.

Dengan meninggalnya Aminah, Muhammad diasuh oleh kakeknya adul Muthalib. Kakeknyalah yang berusaha memberikan kasih sayang, menggantikan kedua orang tuanya yang telah tiada. Namun demikian, usia abdul Muthalib yang memang susah udzur (70 tahun), mengakibatkan keterbatasan kesempatan yang dapat dicurahkan kepada Muhammad. Setelah dua taunmengasuh dan menghibur cucunya, Abdul Muthalib meninggal dunia.

Kejadian ini sangat memukul Jiwa Muhammad tentunya, tetapi pamannya Abu Thalib kemudian mengambil-alih posisi sebagai orang tua nabi Muhammad yang pada waktu itu masih belia. Dialah yang mengasuh dan membesarkan Muhammad, sama seperti yang dilakukannya kepada putranya sendiri.

Begitulah seterusnya, dalam kehidupannya Muhammad mengalani satu kejadian demi kejadian. Terkadang pengalaman itu bersifat menyenangkan, tetapi banyak sekali yang berupa kesedihan. Sebagai manusia biasa, Muhammad neresakan pengalaman itu secara wajar, seperti Juga yang dirasakan oleh orang lainnya. Marasa gembira manakala berjumpa dengan pengalaman yang menyenangkan, dan begitu pula bersedih apabila menemukan pengalaman yang sebaliknya.

Demikian Juga dalam hal-hal lainnya, sebagai manusia biasa Muhammad menJalani kehidupan seperti yang dijalani oleh manusia pada umunnya. Untuk hidup dia perlu berusaha, usahanya terkadang berhasil, tetapi juga dapat mengalami kegagalan. Di tengah kesebukan usahanya sehari-hari, Muhammad memerlukan istirahat dan penyegaran, sehingga dia Juga membutuhkan makan, minus, tidur, beristri, bermasyarakat, dan lain sebagainya. Dalan kedudukan dirinya sebagai manusia biasa, Muhammad hanya memiliki kelebihan yang dipandang oleh masyarakatnya, yakni seorang yang sangat terpercaya.

Ketika menginjak usia 40 tahun, Muhammad telah sering melakukan pendekatan diri dengan Tuhan. Pada bulan Pamadhan dibawanya perbekalan secukupnya untuk beberapa hari di tempat persembunyiannya di gua Hira. Secara intensif sekali dia berkonsentrasi, mengahadapkan diri kepada Tuhan, serta berpikir tentang hakikat dan kekuasaanNya. Akan tetapi sebelum masa kenabian, dia tidak pernah berhasil sampai pada hakikat yang sebenarnya.

Baru pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari, Muhamad menemukan pengalaman yang sama sekali baru, aneh, dan menakjubkan. Kejadian itu tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan, atau 6 Agustus 610 Masehi di gua Hira, saat mana dia didatangi oleh Malaikat Jibril menyampaikan ayat pertama (AQ. 96:1-5) yang sekaligus sebagai awal masa kenabiannya.

Menurut riwayat, selama lebih kurang dun setengah tahun, Muhammad tidak pernah didatangi lagi oleh Jibril. Dia sangat rindu bercampur was-was, apakah gerangan yang menyebabkan peristiwa seperti itu tidak terulang kembali. Di tengah penantiannya di gua Hira, tiba tiba Jibril datang lagi dengan membava wahyu kedua, yakni surat Al-Mudatsir (AQ. 74: 1-7). Inilah peristiwa sejarah yang meletakkan tugas kerasulan Muhammad bagi umat manusia. Sejak itu Muhammad bukan lagi sebagai manusia biasa, melainkan sebagai manusia pilihan. 

Sebagai Rasul Tuhan, Muhammad dibebani sugas membawa misi Ketuhanan. Ayat-ayat suci yang disampaikan kepadanya, harus disampaikan pula kepada seluruh umat manusia. Menyampaikan ayat suci Itu, tidak hanya sekedar menyampaikan bunyi/teks/redaksional, melainkan Juga menjelaskan maksud dengan kata-kata, menunjukkan conton perbuatan.

Oleh sebaba Itu Muhammad tidak dapat terlepas lagi dengan kehidupan orang lain. Dia harus senantiasa membimbing manusia sesuat dengan pesan dan perintah yang diberikan Tuhan. Inilah aisai kerasulan yang diemban oleh Muhammad SAW.

Berhubung Muhammad SAW bukan hanya sekedar Manusia biasa, melainkan juga sebagai Rasul, maka bagi manusia lainnya, Muhammad harus lah menjadi pusat perhatian. Setiap apa yang dikatakannya, harus disimak secara seksama untuk dimengerti, dicamkan, dan dihayati kedalam lubuk hati, kemudian dilakukan dalan perbuatan nyata. Semua yang dia lakukanpun demikian pula kehendaknya. Sehingga, seluruh tingkah-laku manusia selalu diukur dengan apa yang pernah die katakan, dia diamkan ataupun dia contohkan.

Oleh Sebab itu, Muhammad dalam hidup dan kehidupan manusia sen Jadi sumber rujukan. Artinya, perkataan dan perbuatan Juhammad merupakan suri teladan manusia secara keseluruhan. Namun demikian tidak ber arti manusia harus membuat copy terhadap seluruh perkataan dan perbuatannya, tetapi secara kreatif menciptakan perkataan dan tindakan baru sesuai dengan wilayah dan zamannya, dengan mengambil pelajaran dan kreasi Muhammad dalam menghadapi suasana obyektif ketika itu.

Otentisitas ayat Al-Quran 

Al-Qur'an tidak diturunkan sekaligus dalam satu masa tertentu. Begitu pula Al-Qur'an tidak diturunkan surat persurat sebagaimana susunan yang kita dapati sekarang, tetapi diturunkan secara berangsur angsur sekelompok demi kelompok selana 23 tahun masa Muhammad SAW kenabian.

Kenyataan historis dinyatakan sendiri oleh Al-Qur'an i "Kami turunkan Al-Qur'an secara berangsur-angsur agar kamu membacakan nya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian (AQ. 17:106).

Memang untuk sebagian kecil surat yang berayat pendek dan sedikit seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Kautsar diturunan sekaligus, tetapi pada umumnya untuk sebagian besar diturunkan sekelompok deni sekelompok. Karena itu suatu surat tertentu bisa saja ayat-ayatnya diturunkan dalam beberapa masa dan semakin panjang ayat-ayat surat tersebut, maka semakin panjang pula masa turunnya. 

Begitu pula cara turunnya tidak berurut, tetapi diturunkan secara sekelompok demi kelompok berselingan dengan kelompok ayat-ayat surat yang lain. umpamaan saja Al-'Alaq surat yang pertama turun hanya terdiri dari 5 ayat tambahan 14 ayat berikutnya turun 3 tahun kemudian setelah diselingi terlebih dahulu dengan kelompok ayat surat Al-Hudatsir, Al-Fatihah dan beberapa kelompok ayat surat lainnya. 

Kenyataan cara turun Al-Qur'an semacam ini menunjukkan bahwa ke banyakan ayat dan surat Al-Qur'an turun berkaitan dengan peristiwa peristiwa yang terjadi pada masa da'wah nabi, misalnya surat/ayat Al Baqarah yang turun pada tahun pertama hijriyah, kebanyakan ayat-ayat berisi teguran kepada orang-orang Yahudi yang menghalangi kemajuan Islam atau diturunkan karena adanya kebutuhan mendesak akan hukus hukum Islam, seperti surat An-Nisa yang membicarakan tentang hukum perkawinan dan perwarisan.

 Dengan kata lain kenyataan ini menunjukkan bahwa pada umumnya ayat-ayat Al-Qur'an itu diturunkan secara kontekstual, dengan bersandar pada konteks permasalahan. Tepatlah kemudian apabila Al-Qur'an tersebut harus diturunkan secara berangsur-angsur, karena turunnya tersebut harus memiliki nilai kontekstual, sedangkan peristiwa atau kejadian sebagai latar belakang ayat tidak dapat terJadi sekaligus.

Cara turun ayat semacam ini sangat kuat, karena ia bersandar kepada konteks peristiwa yang hidup walaupun cara turunnya kemudian seperti melahirkan kemustahilan untuk menyusuan ayat-ayat Al-fur'in secara kronologis. Hal lain Al-Qur'an berangsur-angsur adalah agar Al-Qur'an mudah diterima dan dipahami bangsa Arab ketika itu. 

 Sebagai bangsa yang kurang mengenal tradisi baca tulis dan lebih terbiasa dengan budaya bahasa lisan, maka tidaklah tepat bila Al-Qur'an itu diturunkan sekaligus, karena kondisi sosial budaya yang ada turang mendukung ke arah pilihan tersebut.

Dari cara turunnya yang sebagian deat sebagian telah melahirkan pertanyaan terus menerus, karena sampai saat ini manusia masih belum menahani secara puas apa rahasia Al-Qur'an tersebut diturunkan secara berangsur-angsur. namun terlepas dari adanya ketidakpuasan tersebut, yang jelas metode yang diterapkan Tuhan, selain sangat fungsional karena akhirnya mudah diterima dan dipahami masyarakat Arab, Juga ada sisi lain semakin selekatkan sifat dan kualitas otentik kepada Qur'an. Karena metode ini tidak hanya selahirkan proses (cara) yang teruji, tetapi menjadikan kebenaran (ayat) tersebut semakin kokoh dan kuat.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa sejak diturunkan kepada nabi Muhammad dan berjalan 15 abad suppa sekarang, Ayat-ayat al-qur'an sersebut terjaga keaslian dan keabsahan textnya. Sampi hari ini tidak ditemui satu kata (lafadz) yang berbeda at di antara berjuta-juta mushaf yang ada, begitu pula tidak pernah ditemui perselisihan ulama tentang teks-teks Al-Qur'an.

 Kalaupun ada yang terjadi adalah perselisihan dalam membacanya atau dalam penempatan sebagai ayat makkiyah atau ayat Madaniyah turunnya ayat sendiri Al-Qur'an. Kenyataan ini menunjukkan bahwa prosedur telah memberikan sifat otentik ayat-ayat.

Sebagaimana telah diturunkan pada bagian pertama bahva ayat-ayat Al-Qur'an tersebut di samping memiliki dimensi tekstual Juga dimensi kntekstualnya. Untuk menyatakan nilai-nilai kontekstual yang dikandung ayat, maka biasanya Al-Qur'an memakai "idiom-idiom" tertentu yang bersumber pada istilah bahasa Arab, misalnya kata-kata: An-Nisa, Basyar, Insan, Zikr, Agal, Thogut, Kufur dan sebagainya.

Banyak idiom-idiom (ungkapan-ungkapan) yang dikemukakan Qur'an dalan setiap menyatakan sakaud kandungan ayatnya, menuntut persyaratan penahanan idiom tersebut sebelum mempelajari maksud ayat Al-Qur'an tersebut dikhawatirkan seseorang tidak akan sampai kepada makna yang sebenarnya dari yang dimaksud ayat. '

Untuk itu, agar dapat nemahani secara tepat, seseorang harus pula melengkapi kemampuan ber bahasa Arabnya. Sudah menjadi kenyataan bahwa Al-Qur'an tersebut di turunkan dalam bahasa Arab dan sudah dijamin Tuhan pula keontentikannya, sebagaimana ditegaskan-Nya: "Kami telah membuatnya menjadi Al Qur'an yang berbahasa Arabagar kamu sekalian memahaminya (AQ. 43:3) dan "Sesungguhnya ia merupakan Al-Qur'an yang amat culia, di dalam kitab yang terpelihara" (AQ. 56:78).

Jadi Jelaslah, sebagian ayat-ayat Al-Qur'an tersebut memiliki idios-idiom baku yang bersumber dan bersandar kepada peristilahan bahasa Arab, dan dengan idion-idiom inilah seseorang akan sampal kepada pengertian ayat-ayat yang sebenarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun