Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Srintil dan Burung-Burung Pipit

5 Oktober 2022   13:17 Diperbarui: 11 Oktober 2022   21:45 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja hakim ketua mengetuk palu tiga kali. Beberapa kalimat ia sampaikan dengan tegas. Srintil mengangguk mantap. Seketika matanya yang sayu berbinar secerlang kejora. 

Senyum yang dua puluh tahun tertahan merekah sempurna. Tanpa Srintil ketahui, di luar gedung sekawanan burung pipit telah menunggunya. 

Langkah Srintil keluar dari gedung Pengadilan Agama seringan benang-benang sari diembus lembut angin senja. Tidak pernah ia berjalan seperti itu sebelumnya, kecuali semasa gadis. Masa paling gemilang dalam catatan sejarah hidup Srintil. Setidaknya, begitu yang sering kali ia katakan. 

Burung-burung pipit yang menunggunya tak kalah semringah. Sebagian dari mereka terbang rendah, naik turun. Kemudian, meliak-liuk dan bermanuver cantik. Sebagian lain sibuk berkicau, melantunkan mars kemerdekaan dengan khidmat. 

Srintil menghentikan langkah tepat di sisi kiri pintu gerbang, lalu memandang lurus ke arah jalan raya yang sedang macet parah. 

Gedung pengadilan paling ramai di kota ini. Kali pertama tatapan Srintil tak lagi kosong. Kali pertama dadanya tak lagi sesak. Kali pertama ia tampak seribu kali lipat lebih cantik.

Detik itu juga pipit-pipit bergegas mengerubungi Srintil yang baru saja mengalihkan pandangan ke angkasa. Mereka hinggap sesuka hati di badan perempuan kerempeng itu--di bahu, pucuk kepala, tangan, juga kaki. 

Sedikit pun Srintil tidak tampak kebingungan. "Wah, kalian semua di sini!" serunya kegirangan seperti baru berjumpa sahabat-sahabat lama. 

Tentu saja burung-burung tidak mengenal basa basi. Karenanya, sekawanan pipit itu bukan membalas dengan kalimat, "Iya, Sri, kami di sini." Bukan! Namun, sangat jelas terdengar mereka berkata, "Merdeka, Sri! Merdeka!"

Srintil belum sempat berujar satu kata pun saat puluhan burung pipit sontak mengangkat tubuhnya. Perlahan-lahan ia mengudara, tertelungkup dengan kedua tangan direntangkan dan kaki lurus sejajar. 

Pakaian juga kerudungnya dalam cengkeraman kaki ringkih burung-burung mungil. Tidak ada teriakan ketakutan meluncur dari bibir perempuan itu ataupun raut ngeri yang ditahan-tahan.

Srintil diterbangkan oleh burung-burung pipit! 

Sejak pagi itu, ke mana pun Srintil pergi, empat puluh burung pipit siap menerbangkannya. Bahkan tanpa harus didahului kalimat perintah. 

"Bagaimana kalian bisa tahu ke mana aku ingin pergi?"

"Sama seperti engkau sangat paham mengapa burung-burung diciptakan dengan sepasang sayap. Bukan satu atau tiga. Padahal katanya, Tuhan senang yang ganjil," salah satu pipit menjawab.

Srintil tersenyum lebar. Jauh-jauh hari ia telah menanam patahan-patahan harapannya di sesela sayap pipit. Waktu dan air mata menumbuhkembangkan setiap patahan menjadi keyakinan. Cepat atau lambat, ia yakin akan memanen ribuan sayap. 

"Pergi lagi?" tanya Rukmini, ibu Srintil. "Mau ke mana sepagi ini?"

"Jogging," jawab Srintil tanpa menoleh. 

"Tidak baik janda sering keluyuran begitu. Apa kata orang-orang nan--"

"Dasar penjajah!" potongnya cepat. "Ups! Maksud saya, mereka, orang-orang itu. Bukan Ibu. Maaf."

Rukmini mendengkus. "Semua gara-gara burung pipit!"

"Seharusnya Ibu bersyukur. Saya di sini sekarang. Di rumah ini bersama Ibu dan burung-burung itu. Bukan berubah jadi kuda liar seperti yang pernah Ibu khawatirkan."

Rukmini mendengkus lagi. "Ya, bersyukur," bisiknya kemudian.

Dua puluh tahun sebelum percakapan itu terjadi, dari seorang gadis cantik yang cerdas, Srintil menjelma menjadi pipit dengan sepasang sayap terlipat. Entah mantra apa yang dilafazkan suaminya tatkala ijab kabul. 

Orang-orang terdekat yang menyaksikan keanehan itu tidak bisa berbuat apa-apa. Srintil yang mereka lihat adalah seekor pipit lemah dalam genggaman erat sang mempelai pria. Bukan lagi Srintil yang mereka kenal. Asing. Teramat asing. 

Bapak dan ibunya sekuat hati menahan air mata serta penyesalan tak bertepi. Bagi mereka, Srintil bak sawah luas yang disesaki padi unggulan. 

Sayang sekali, tiba-tiba hama wereng menyerang tanpa ampun hanya beberapa pekan sebelum panen raya. Serbuan burung-burung pipit ke sawah--yang sempat mereka cemaskan--justru tidak terjadi. 

Jarak terjauh yang bisa Srintil tempuh hanya pintu pagar rumah. Sekuat tenaga ia berusaha meluruskan sayapnya yang terlipat. Namun, semua sia-sia. Sayap-sayapnya justru patah tanpa darah. 

"Saya ingin cerai," ucap Srintil pada kerabat yang menyambanginya.

"Kamu tau nggak, Sri? Kamu itu sedang membuat iblis-iblis sukses besar."

"Maksudnya?"

"Iblis-iblis berbagi tugas. Di antaranya ada yang bertugas memisahkan suami dan istri lewat perceraian."

Srintil menyimpan kalimat itu di lipatan teratas dalam otak. Tak pernah lagi ia mengungkapkan keinginannya untuk bercerai pada mereka yang memiliki tanda hitam di kening.

"Kenapa kamu tidak menggugat cerai saja? Katamu, suamimu sudah meniduri banyak perempuan," tanya Srintil pada seorang teman yang di dadanya ada tato kupu-kupu.

"Meskipun halal, Tuhan membenci perceraian. Aku tidak ingin dibenci Tuhan, Sri."

Srintil kembali mengisi lipatan-lipatan dalam otaknya dengan kalimat: 'Tuhan membenci perceraian'. 

Tahun keempat belas, di suatu pagi yang suram, Srintil bertanya pada pedagang yang melintas di depan rumahnya. "Mau dibawa ke mana burung-burung itu?"

"Ke depan SD Nurul Fikri. Lumayan, di sana banyak anak-anak yang suka main burung sawah dan anak ayam warna-warni."

"Berapa harga satu burung?"

"Lima ribu."

Dari uang yang berhasil ia simpan diam-diam, Srintil hanya mampu membeli dua burung.

"Sampaikan pada Tuhan kalian. Aku ingin menjadi aku yang dulu," bisik Srintil sebelum membuka kedua genggaman tangannya dan membiarkan burung-burung itu terbang. 

Setiap ada pedagang burung pipit melintas, Srintil melakukan hal yang sama. Dua burung ia beli, lalu dibiarkan terbang. Apa yang ia bisikan pada burung-burung itu juga tidak pernah diubah. 

"Aku takut, saat kamu tidak menjadi pipit lagi, kamu berubah jadi kuda yang lepas dari kandang, Sri."

"Bukankah sekarang pun aku ini pipit yang bekerja keras bagai kuda, Bu?"

"Ummm."

"Aku hanya ingin menjadi aku yang dulu. Apa aku dulu kuda liar?"

"Bukan."

Tahun melesat ke tahun berikutnya. Secepat pukulan keras yang kerap Srintil rasakan. Tidak ada perubahan, termasuk luka-luka yang menganga, mengering, lalu berdarah lagi. Srintil semakin menderita di tempat yang ia sebut rumah. Akan tetapi, ia menolak rapuh. 

Srintil menjelma kembali menjadi manusia justru di saat ia bersimbah darah. Ketegasan pada diri sendiri menguatkan segenap persendian, membawanya keluar dari penjajahan. Srintil bangkit, terseok-seok keluar dari sangkar pipit. 

"Sampai bertemu di ruang sidang, Mas," ucap perempuan itu menutup cerita kelamnya. 

Harapan Srintil telah menjadi kenyataan. Ia bebas pergi ke mana pun. Menjalani kehidupan seperti masa gadis. Berkumpul dan bergembira bersama sahabat-sahabatnya. Kembali melanjutkan cita-cita yang pernah ia sematkan di langit sebelah barat. Tak lupa membebaskan pipit-pipit lain dari penjajahan atas nama agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun