Pakaian juga kerudungnya dalam cengkeraman kaki ringkih burung-burung mungil. Tidak ada teriakan ketakutan meluncur dari bibir perempuan itu ataupun raut ngeri yang ditahan-tahan.
Srintil diterbangkan oleh burung-burung pipit!Â
Sejak pagi itu, ke mana pun Srintil pergi, empat puluh burung pipit siap menerbangkannya. Bahkan tanpa harus didahului kalimat perintah.Â
"Bagaimana kalian bisa tahu ke mana aku ingin pergi?"
"Sama seperti engkau sangat paham mengapa burung-burung diciptakan dengan sepasang sayap. Bukan satu atau tiga. Padahal katanya, Tuhan senang yang ganjil," salah satu pipit menjawab.
Srintil tersenyum lebar. Jauh-jauh hari ia telah menanam patahan-patahan harapannya di sesela sayap pipit. Waktu dan air mata menumbuhkembangkan setiap patahan menjadi keyakinan. Cepat atau lambat, ia yakin akan memanen ribuan sayap.Â
"Pergi lagi?" tanya Rukmini, ibu Srintil. "Mau ke mana sepagi ini?"
"Jogging," jawab Srintil tanpa menoleh.Â
"Tidak baik janda sering keluyuran begitu. Apa kata orang-orang nan--"
"Dasar penjajah!" potongnya cepat. "Ups! Maksud saya, mereka, orang-orang itu. Bukan Ibu. Maaf."
Rukmini mendengkus. "Semua gara-gara burung pipit!"