"Aku takut, saat kamu tidak menjadi pipit lagi, kamu berubah jadi kuda yang lepas dari kandang, Sri."
"Bukankah sekarang pun aku ini pipit yang bekerja keras bagai kuda, Bu?"
"Ummm."
"Aku hanya ingin menjadi aku yang dulu. Apa aku dulu kuda liar?"
"Bukan."
Tahun melesat ke tahun berikutnya. Secepat pukulan keras yang kerap Srintil rasakan. Tidak ada perubahan, termasuk luka-luka yang menganga, mengering, lalu berdarah lagi. Srintil semakin menderita di tempat yang ia sebut rumah. Akan tetapi, ia menolak rapuh.Â
Srintil menjelma kembali menjadi manusia justru di saat ia bersimbah darah. Ketegasan pada diri sendiri menguatkan segenap persendian, membawanya keluar dari penjajahan. Srintil bangkit, terseok-seok keluar dari sangkar pipit.Â
"Sampai bertemu di ruang sidang, Mas," ucap perempuan itu menutup cerita kelamnya.Â
Harapan Srintil telah menjadi kenyataan. Ia bebas pergi ke mana pun. Menjalani kehidupan seperti masa gadis. Berkumpul dan bergembira bersama sahabat-sahabatnya. Kembali melanjutkan cita-cita yang pernah ia sematkan di langit sebelah barat. Tak lupa membebaskan pipit-pipit lain dari penjajahan atas nama agama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H