Baru saja hakim ketua mengetuk palu tiga kali. Beberapa kalimat ia sampaikan dengan tegas. Srintil mengangguk mantap. Seketika matanya yang sayu berbinar secerlang kejora.Â
Senyum yang dua puluh tahun tertahan merekah sempurna. Tanpa Srintil ketahui, di luar gedung sekawanan burung pipit telah menunggunya.Â
Langkah Srintil keluar dari gedung Pengadilan Agama seringan benang-benang sari diembus lembut angin senja. Tidak pernah ia berjalan seperti itu sebelumnya, kecuali semasa gadis. Masa paling gemilang dalam catatan sejarah hidup Srintil. Setidaknya, begitu yang sering kali ia katakan.Â
Burung-burung pipit yang menunggunya tak kalah semringah. Sebagian dari mereka terbang rendah, naik turun. Kemudian, meliak-liuk dan bermanuver cantik. Sebagian lain sibuk berkicau, melantunkan mars kemerdekaan dengan khidmat.Â
Srintil menghentikan langkah tepat di sisi kiri pintu gerbang, lalu memandang lurus ke arah jalan raya yang sedang macet parah.Â
Gedung pengadilan paling ramai di kota ini. Kali pertama tatapan Srintil tak lagi kosong. Kali pertama dadanya tak lagi sesak. Kali pertama ia tampak seribu kali lipat lebih cantik.
Detik itu juga pipit-pipit bergegas mengerubungi Srintil yang baru saja mengalihkan pandangan ke angkasa. Mereka hinggap sesuka hati di badan perempuan kerempeng itu--di bahu, pucuk kepala, tangan, juga kaki.Â
Sedikit pun Srintil tidak tampak kebingungan. "Wah, kalian semua di sini!" serunya kegirangan seperti baru berjumpa sahabat-sahabat lama.Â
Tentu saja burung-burung tidak mengenal basa basi. Karenanya, sekawanan pipit itu bukan membalas dengan kalimat, "Iya, Sri, kami di sini." Bukan! Namun, sangat jelas terdengar mereka berkata, "Merdeka, Sri! Merdeka!"
Srintil belum sempat berujar satu kata pun saat puluhan burung pipit sontak mengangkat tubuhnya. Perlahan-lahan ia mengudara, tertelungkup dengan kedua tangan direntangkan dan kaki lurus sejajar.Â