Srintil menyimpan kalimat itu di lipatan teratas dalam otak. Tak pernah lagi ia mengungkapkan keinginannya untuk bercerai pada mereka yang memiliki tanda hitam di kening.
"Kenapa kamu tidak menggugat cerai saja? Katamu, suamimu sudah meniduri banyak perempuan," tanya Srintil pada seorang teman yang di dadanya ada tato kupu-kupu.
"Meskipun halal, Tuhan membenci perceraian. Aku tidak ingin dibenci Tuhan, Sri."
Srintil kembali mengisi lipatan-lipatan dalam otaknya dengan kalimat: 'Tuhan membenci perceraian'.Â
Tahun keempat belas, di suatu pagi yang suram, Srintil bertanya pada pedagang yang melintas di depan rumahnya. "Mau dibawa ke mana burung-burung itu?"
"Ke depan SD Nurul Fikri. Lumayan, di sana banyak anak-anak yang suka main burung sawah dan anak ayam warna-warni."
"Berapa harga satu burung?"
"Lima ribu."
Dari uang yang berhasil ia simpan diam-diam, Srintil hanya mampu membeli dua burung.
"Sampaikan pada Tuhan kalian. Aku ingin menjadi aku yang dulu," bisik Srintil sebelum membuka kedua genggaman tangannya dan membiarkan burung-burung itu terbang.Â
Setiap ada pedagang burung pipit melintas, Srintil melakukan hal yang sama. Dua burung ia beli, lalu dibiarkan terbang. Apa yang ia bisikan pada burung-burung itu juga tidak pernah diubah.Â