"Seharusnya Ibu bersyukur. Saya di sini sekarang. Di rumah ini bersama Ibu dan burung-burung itu. Bukan berubah jadi kuda liar seperti yang pernah Ibu khawatirkan."
Rukmini mendengkus lagi. "Ya, bersyukur," bisiknya kemudian.
Dua puluh tahun sebelum percakapan itu terjadi, dari seorang gadis cantik yang cerdas, Srintil menjelma menjadi pipit dengan sepasang sayap terlipat. Entah mantra apa yang dilafazkan suaminya tatkala ijab kabul.Â
Orang-orang terdekat yang menyaksikan keanehan itu tidak bisa berbuat apa-apa. Srintil yang mereka lihat adalah seekor pipit lemah dalam genggaman erat sang mempelai pria. Bukan lagi Srintil yang mereka kenal. Asing. Teramat asing.Â
Bapak dan ibunya sekuat hati menahan air mata serta penyesalan tak bertepi. Bagi mereka, Srintil bak sawah luas yang disesaki padi unggulan.Â
Sayang sekali, tiba-tiba hama wereng menyerang tanpa ampun hanya beberapa pekan sebelum panen raya. Serbuan burung-burung pipit ke sawah--yang sempat mereka cemaskan--justru tidak terjadi.Â
Jarak terjauh yang bisa Srintil tempuh hanya pintu pagar rumah. Sekuat tenaga ia berusaha meluruskan sayapnya yang terlipat. Namun, semua sia-sia. Sayap-sayapnya justru patah tanpa darah.Â
"Saya ingin cerai," ucap Srintil pada kerabat yang menyambanginya.
"Kamu tau nggak, Sri? Kamu itu sedang membuat iblis-iblis sukses besar."
"Maksudnya?"
"Iblis-iblis berbagi tugas. Di antaranya ada yang bertugas memisahkan suami dan istri lewat perceraian."