Oleh: Mukhlis, S.Pd.,M.Pd.
Pantun merupakan salah satu bahagian dari karya sastra lama yang mengandung nilai agama, nasihat, sindiran (olok-olok) dan hiburan serta mengandung kata-kata yang romantis. Ditinjau dari segi bentuk, pantun hampir sama dengan syair. Bentuk pantun terdiri atas empat baris sebait, akan tetapi yang membedakan dengan syair adalah pada sampiran dan isi.
Bentuk baris satu dan dua dalam pantun adalah sampiran sedangkan baris tiga dan empat merupakan isi dari pantun. Akan tetapi, dalam syair tidak mengenal bentuk seperti itu. Walaupun berbeda dari segi bentuk, tetapi kedua bentuk tersebut tetap mengutarakan masalah agama, nasihat, dan masalah romantis.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah sering terjadi salah penafsiran antara pengertian pantun dan syair. Kesalahan ini disebabkan dalam memberikan pengertian guru dan siswa selalu mengacu pada bentuk dari karya sastra tersebut bukan pada ciri-ciri yang dimilikinya.Â
Menurut Fang (1993:197) "Pantun pada mulanya senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan" pengertian ini memberi gambaran bahwa pantun sudah sejak dulu dikenal dan berada dalam kehidupan masyarakat terutama di wilayah nusantara.
Hal lain yang dapat dipahami dari pengertian di atas adalah ternyata pantun juga dapat digolongkan dalam puisi yang mengutamakan keindahan bunyi bahasa dan mengandung makna yang dalam. Puisi yang dimaksud di sini adalah puisi lama yang masih diikat oleh aturan-aturan tertentu. Sejalan dengan hal di atas,
 Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang secara luas dikenal di tanah air Indonesia. Pantun pada awalnya merupakan sastra lisan, tetapi sekarang banyak dijumpai pantun dalam bentuk tulisan.Â
Hidayati (2007:1) Maksud sastra lisan dalam pengertian tersebut adalah pada zaman dulu orang sering menggunakan pantun secara lisan, jika ada kegiatan yang berhubungan dengan budaya-budaya masyarakat. Jadi, setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan budaya, misalnya acara pinangan dan pembukaan  acara kemasyarakatan selalu ada kegiatan berbalas pantun.
Pantun yang dibaca pada saat seperti itu tidak secara tertulis, akan tetapi langsung diucapkan secara lisan. Bahkan pada zaman dulu orang dinyatakan cerdas kalau sanggup berpantun dengan baik sehingga orang lain terkagum-kagum. Selain itu, pada saat itu setiap orator atau pembicara dituntut harus dapat berpantun dengan baik.
 Dengan demikian, pantun pada awal awal kemunculannya merupakan media pemikat bagi orang yang mendengarkannya, pendengar hanya mengandalkan kemampuan menyimak dalam hal ini. Hal inilah yang menyebabkan pantun dianggap sebagai sastra lisan.
Selanjutnya, Pantun merupakan bentuk asli puisi Indonesia ( Melayu)". Sugiarto (2006 :9) Dulu, istilah pantun sering diperdebatkan oleh pengamat sastra yang ada di nusantara. Perdebatan ini terjadi karena bentuk pantun baik dari segi isi dan bahasa yang digunakan terlalu unik jika dibandingkan dengan bentuk lain misalnya syair karmina dan talibun.Â
Dari segi bentuk ternyata pantun tidak dapat digolongkan dalam puisi modern karena bentuknya yang baku. Disamping itu, sajak dalam pantun agak pendek, bentuk baris pun harus berirama empat-empat dan bersajak ab-ab.
Dari segi isi, pantun mengungkapkan suatu masalah yang luas, misalnya romantis, nasihat, agama, hiburan dan berbagai masalah lain. Ditinjau dari masalah yang diungkapkan pantun masih dapat digolongkan dalam puisi lama.Â
Sebagaimana diketahui bahwa puisi lama selalu mengungkapkan masalah-masalah yang bersifat istana sentris atau peristiwa-peristiwa di lingkungan kerajaaan, begitu juga dengan pantun selalu dibacakan oleh orang --orang kerajaan pada zaman dahulu.
Walaupun pantun dianggap berbentuk puisi, akan tetapi jauh lebih baik dari puisi melayu lainnya. Pada bentuk pantun, pembaca dituntut kelihaian dalam mengaitkan antara baris pertama, kedua, tiga dan baris empat.Â
Hal ini karena dalam pantun terdapat dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris selanjutnya sebagai isi yang ingin dikemukakan. Setiap pelukisan tentang peristiwa, keadaan dan perbandingan selalu disajikan dengan bahasa yang indah dan rima yang tepat sehingga pembaca terpesona atas penyajian tersebut.
Dari batasan yang sudah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pantun adalah karya sastra lama dan merupakan puisi asli Indonesia. Dalam pantun, pikiran atau perasaan dituang dalam tiga hal yaitu irama bunyi dan isi. Hal ini terlihat pada isi dan bentuk pantun adalah terdapatnya tema-tema pantun berdasarkan isi atau maksud yang ingin di sampaikan.
Agar lebih jelas pemahaman tentang batasan pantun berikut ini adalah contoh pantun berkait,
Seluang ikan dalam paya
Tanam padi rendamkan puntung
Tidak orang seperti saya
Makan hati berulam jantung
Tanam padi rendamkan puntung
Berangan tumbuh di tepi sawah
Makan hati berulam jantung
Siang malam bersusah-susah
Berangan tumbuh di tepi sawah
Dari Gresik ke Surabaya
Siang malam bersusah-susah
Wahai nasib apakan daya
Dari Gresik ke Surabaya
Pagar siapa saya sesalkan
Wahai nasib apakan daya
Pada siapa saya sesalkan
Pagar siapa saya sesalkan
Tanjung Pandan teluknya redup
Pada siapa saya sesalkan
Menanggung dendam seumur hidup
Sugiarto (2006 :12)
 Ciri-Ciri Pantun
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa pantun termasuk puisi asli Indonesia tergolong dalam dalam karya sastra lama, maka ciri-ciri yang ada pada karya sastra lama dengan sendirinya melekat pada pantun.Â
Ciri-ciri tersebut masih dominan dalam sebuah pantun apapun masalah yang diutarakan. Dalam hal ini Sugiarto (2006 :12) mengemukakan ciri-ciri pantun adalah sebagai berikut.
Setiap untai (bait) terdiri atas 4 larik
Banyaknya suku kata tiap larik sama atau hampir sama ( biasanya terdiri 8 sampai 12 suku kata)
Bersajak ab-ab atau aa-aa
Larik pertama dan kedua disebut sampiran sedangkan larik ketiga dan keempat disebut isi pantun ( makna, tujuan, dan tema pantun).
Larik sampiran ini mengandung tenaga pengimbau bagi pendengar atau pembaca untuk segera membaca larik ketiga dan kempat. Hubungan antara sampiran dan isi dalam ciri-ciri pantun di atas, hendaklah dipandang dalam kaitannya melalui pengungkapan pikiran dan perasaan manusia.Â
Hal ini didasari pada manusia, umumnya berusaha mengucapkan apa yang dia pikirkan dan rasakan dengan sebaik-baiknya menurut manusia itu sendiri. Selanjutnya Sugiarto (2006 :13) menegaskan bahwa " Dalam pantun, pikiran atau perasaan itu dituangkan dalam tiga hal, yaitu irama, bunyi dan isi)."Â
Namun demikian pendapat tersebut tidak selamanya benar, karena dalam pantun juga tidak selamanya irama pantun dan isi hadir secara bersama-sama. Selain itu, hal yang selalu hadir dalam pantun adalah irama.
Sejalan dengan pendapat sebelumnya, , Rizal (2007:14) memberi gambaran tentang ciri ciri pantun sebagai berikut:1.
1. Tiap-tiap pantun terdiri dari 4 baris. Namun kadangkala ada juga yang terdiri 6 baris dan 8 baris.
2. Terdiri dari 8 sampai 12 suku kata. Namun kadang kala lebih, terutama pantun yang terdiri dari 6 baris sampai dengan 8 baris perbaitnya.
3. Sajak akhirnya merupakan sajak silang ab-ab, abc-abc dan abcd-abcd.
4. Separuh dari baris terutama baris-baris bagian atas merupakan sampiran.
5. Pantun yang lebih dari empat baris kalimat disebut talibun.
Terdapat perbedaan ciri-ciri yang dimiliki oleh pantun sebagaimana yang telah dikemukakan oleh kedua para ahli di atas. Perbedaan ini tampak pada sajak yang dimiliki oleh pantun ada yang berpola ab- ab dan aa-aa.Â
Sedangkan satu lagi, ada pantun yang memilki ciri-ciri berpola silang ab-ab, abc-abc dan abcd-abcd. Perbedaan lain yang tampak adalah pantun yang lebih dari empat baris kalimat disebut talibun.
Dari perbedaan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa pantun ada yang berpola ab- ab dan aa-aa. Hal ini dapat disamakan dengan syair yang juga bagian dari karya sastra lama. Sedangkan pendapat kedua yang mengemukakan bahwa pantun terdiri dari 8 sampai 12 suku kata.Â
Namun kadang kala lebih terutama pantun yang terdiri dari 6 baris sampai dengan 8 baris perbaitnya. Pendapat ini memberi satu arahan pada pembaca bahwa ternyata berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh oleh pantun, dapat ditentukan jenis dari pantun tersebut. Agar lebih jelas tentang bentuk dan ciri-ciri dari pantun berdasarkan kedua pendapat di atas dapat diperhaikan pada kedua contoh berikut ini.
Contoh pantun yang terdiri atas 4 baris sebait
Kalau ada sumur di ladang
Boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
Boleh kita berjumpa lagi
Dari mana punai melayang
Dari sawah urun ke kali
Dari mana kasih sayang
Dari mata turun ke hati
Hari ini menanam serai
Esok lusa menanam tebu
Hari ini kita bercerai
Esok lusa kita bertemu
Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau angsa dua
Hancur badan dikandung tanah
Budio baik dikenang pula.
Contoh pantun yang terdiri atas 6 baris atau lebih sebait
Lada dan santan dalam gulai
Beri tambahan daun salam
Sayur buat pemakan nasi
Selama badan kita bercerai
Nasi dimakan rasa sekam
Air diminum rasa duri
Inggris berkerat kuku
Pengerat pisau seraut
Pengerat betung tuanya
Betung tua ambil ke lantai
Negeri keempat suku
Dalam suku berbuah perut,
kampung diberi berorang tua,
rumah diberi bertungganai ,
dimana kain untuk baju,
digunting tidaklah sedang,
lah dipakai baru ditungkai
dimana Minang akan maju
adat sejati nanlah hilang,
dahan nan ranting nan di pakai.
Rizal (2007:15)
Selain yang telah dikemukakan di atas, irama pantun sama dengan irama syair, bukan saja syair kadang-kadang muncul dalam pantun. Baris syair kadang-kadang muncul dalam pantun. Sajak yang digunakan sama yaitu bersajak aa-aa (Fang1993: 209)Â
Dari uraian tentang pantun di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui ciri-ciri pantun kita harus memahami bentuk-bentuk pantun terlebih dahulu. Agar lebih mudah memahami ciri-ciri pantun, berikut ini akan disajikan tabel yang membedakan antara pantun dengan syair.
Jenis-Jenis PantunÂ
Berdasarkan bentuknya pantun dibedakan menjadi 1) pantun berkait, 2) talibun dan 3) pantun kilat (karmina)
Pantun Berkait
Pantun berkait dalam ilmu sastra sering disebut dengan seloka. Pantun ini termasuk dalam kesusastraan Melayu klasik. Berkaitan dengan ini, Sugiarto (2008:51) mengatakan bahwa " Pantun berkait merupakan bentuk puisi yang telah tua, yaitu sejak masuknya pengaruh sastra Hindu ke Asia Tenggara pada awal abad pertama. Dalam karya sastra melayu klasik, pantun berkait termasuk puisi jenis pepatah atau perumpamaan yang mengandung olok-olok, ejekan senda gurau, dan sindiran. "
Dilihat dari bentuknya pantun berkait, ada yang ditulis dalam empat baris tiap bait dengan memakai bentuk pantun atau syair. Namun demikian ada juga pantun berkait yang ditulis kurang dari empat baris dan bahkan ada yang lebih dari empat baris tiap bait. Selanjutnya Hasamudin(2003: 581) memberi batasan tentang pantun berkait sebagai berikut.
Rangkaian pantun yang sambung menyambung, yakni larik kedua dan keempat bait pertama muncul sebagai larik pertama dan ketiga bait berikutnya. Oleh sebab itu, pantun ini disebut sebagai pantau berantai. Perbedaan pantun berkait dengan pantun biasa adalah bahwa pantun berkait terdiri atas beberapa bait yang bersambung-sambung.
Jika diamati secara saksama pantun berkait seolah merupakan persilangan antara pantun dan syair. Sebagian besar pantun berkait terdiri atas empat larik tiap bait bentuk ini mirip dengan bentuk pantun dan syair.Â
Selain itu, pantun berkait beberapa diantaranya memilki sampiran dan isi yang merupakan ciri khas pantun secara umum. Akan tetapi jika diamati sajak akhir yang berpola aa-aa yang ada dalam pantun berkait yang keempat isinya semuanya isi jelas terlihat bahwa pola ini merupakan pola syair.Â
Jadi satu khas dari pantun berkait adalah bersajak aa-aa. Sejalan dengan pendapat di atas, Hidayati, ( 2007:9) menyatakan pantun berkait adalah "Ikatan pantun yang terdiri dari beberapa bait yang sambung menyambung. Larik kedua dan keempat pada tiap baitnya menjadi bait pertama dan ketiga bait berikutnuya."
Untuk lebih jelas tentang pantun berkait baik dari segi isi, irama dan sajak yang digunakan dapat diperhatikan pada contoh pantun berkait berikut.
Pantun Berkait Empat Baris Sebait
Manggistan namanya keju
Daunnya luruh menelentang
Makhkota Raja Melayu
Turun dari bukit seguntang
Daunnya luruh menelentang
Daun puan diraut --raut
Turun dari bukit seguntang
Keluar didalam laut
Hidayati, ( 2007:10)
Pantun Berkait Enam Baris Sebait
Bunga melur cempaka putih
Bungan rampai di dalam puan
Tujuh malam semalam rindu
Belum sampai padamu tuan
Bunmga rampai di dalam puan
Ruku-ruku dari perigit
   Belum sampai padamu tuan
    Rindu sahaya bukan sedikit
    Ruku-ruku dari perigit,
    Tras jari bertalam-talam
    Rindu sahaya bukan sedikit
    Nyaris mati semalam-malam
Hidayati, ( 2007:10)
Selanjutnya ada juga pantun berkait yang berbentuk syair yang bersajak aa-aa seperti contoh berikut.
Pantun Berkait Berbentuk Syair
Sudah bertemu kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapoak tiada renggang
Tulang sendi habis terguncang
Hidayati, ( 2007:11)
d. Pantun Berkait Berbentuk Pantun Biasa
Bagian kendur jangan ditarik.
Bagai teduh buatan sendiri.
Tuan Govenor orang yang baik.
Pandai sungguh memerintah negeri.
Bagai teduh buatan sendiri.
Tali kecil jangan dikerat.
Pandai sungguh memerintah negeri,
Tahu pula menagmbil hati segala rakyat.
Tali kecil jangan di kerat.
Sama tanduk memintai benang.
Tahu pula mengambil hati segala rakyat.
Semuanya dudukl di dalam senang.
Rizal (2007:103)
Talibun
Talibun adalah pantun yang terdiri atas enam atau delapan larik. Jika pantun tersebut terdiri atas enam larik, maka setiap bait terdiri atas tiga baris. Setiap baris dari pantun tersebut dibentuk atas empat suku kata.
 Sedangkan pantun yang terdiri dari delapan larik, setiap satu bait terdiri atas empat baris. Setiap baris dari pantun tersebut juga dengan baris pantun yang terdiri atas delapan larik.
Sugiarto (2007:53) mengemukakan tentang ciri talibun adalah seperti berikut.
Jumlah larik tiap bait talibun adalah 6,8,10, 12 dan seterusnya. Meskipun demikian kebanyakan talibun terdiri atas enam aau delapan larik seuntai. Bentuk talibun sepuluh larik ( atau lebih) tiap bait, meskipun ada, namun tidak sepopuler talibun enam baris atau delapan bait tiap bait.
 Dengan demikian tidak secara langsung dapat dikatakan bahwa talibun merupakan perluasan dari pantun. Ini berkebalikan dengan karmina. Jika karmina bisa dikatakan pantun singkat, talibun bisa dikatakan sebagai pantun panjang.
Kutipan di atas, memberikan penjelasan bahwa talibun tidak selamanya terdiri atas enam larik dan delapan larik, akan tetapi ada juga talibun yang terdiri atas 10 sampai 12 larik walaupun jarang dijumpai. Simpulan yang dapat diambil dari kutipan tersebut secara umum talibun terdiri atas enam sampai delapan larik. Berkaitan dengan talibun.
Sugiarto (2007:53) menambahkan bahwa "Talibun muncul, karena pantun yang terdiri atas empat larik tiap baik dirasa kurang memadai untuk mengungkapkan satu kesatuan ide"
Hal ini dapat dapat dilihat pada contoh-contoh talibun berikut ini,
Contoh talibun enam larik seuntai /sebait
Kalau pandai berkain panjang,
Lebih baik kain sarung,
Kalau pandai berinduk semang,
Lebih umpama bunda kandung
Jika pandai membawakannya
(Sugiarto :2008: 54)
Contoh talibun delapan larik seuntai /sebait
Tak alu sebesar ini
Alu terumbuk di tebing
Kalau tertumbuk di pandan,
Boleh ditanami tebu,
Tak malu sebesar ini,
Malu tertumbuk di kening,
Kalau tertumbuk di badan,
Boleh ditutup dengan baju
(Sugiarto :2008: 54)
Pantun Kilat ( Karmina)
Pantun kilat merupakan salah satu jenis pantun yang ada dalam kesusastraan Indonesia. Di tinjau dari segi bentuk pantun ini terdiri atas dua larik dan berirama a-a. Larik pertama dari pantun kilat merupakan sampiran dan larik ke dua merupakan isi. Pantun ini banyak dijumpai dari dan sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut.
Contoh
a. Dahulu parang sekarang besi
Dahulu sayang sekarang benci
b. Sudah gaharu cendana pula
Sudah tahu bertanya pula
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 LhokseumaweÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H