Bahkan di Universitas Islam Madinah sendiri kurikukum aqidahnya resmi berdasar ajaran Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
Jadi, slogan "kembali ke Manhaj Salaf" itu butuh jalan. Ibarat ingin mudik ke Kampung halaman, banyak jalur yang bisa  dilewati. Dalam hal ini Kaum Salafy harus jujur bahwa jalan meraka adalah para ulama Saudi kini yang merujuk pendapat Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan pemikiran ulama Ibnu Taymiyah.
Soal apakah mereka sampai atau tidak ke generasi Salaf, wallahu a'lam. Yang jelas itu hanya sekedar ijtihad manusia.
Jika saja para ustadz tersebut belajar di luar Saudi (misal Yaman, Suriah, Mesir, Maroko, atau Malaysia Dan Brunei), tentu pendapat fikihnya berbeda dan bisa menerima pendapat ulama dan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dari sini kita paham, mengapa kebanyakan ustadz yang kontroversial pendapatnya (wayang Haram, wisata ke Candi Haram, lagu Indonesia Raya tidak perlu dinyanyikan, Maulidan dan tahlilan bidah, dst) adalah  alumni Saudi.
Jadi benar yang ustadz-ustadz tersebut sampaikan adalah Alquran Dan hadits, tapi  dengan pemahaman ala ulama Saudi yang berbeda dengan pemahaman mayoritas ulama di negara-negara Muslim Dunia, termasuk ulama Indonesia.
Apa dikira hanya kalian yang pakai dalil? MUI, NU, Muhammadiyah tidak pakai dalil?
Lantas Bahtsul Masail NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah selama ini pakai apa dalam mengkaji dan memutuskan sebuah masalah hingga jadi ketetapan fatwa?
JEBAKAN Â KELIMA:
"Perayaan Maulid, Isra'Mi'raj, dst itu Bidah, tidak sesuai Sunnah".
Terkait pemikiran tersebut, ada beberapa hal yang perlu diluruskan;
*Pertama, Konteks Historis.*
 Setelah Indonesia merdeka dan dibentuk BPUPKI, dirumuskanlah Piagam Jakarta. Waktu itu pertarungan ideologi mewarnai perumusan dasar negara.  Kemudian hari umat Islam kehilangan 7 kata dalam sila pertama. Untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam di Indonesia pemerintah waktu itu membentuk departeman Agama.
Melalui Departemen Agama kepentingan umat Islam dapat mudah tersalurkan dalam konteks pemerintahan. Ini sangat penting, dimana waktu itu pertarungan ideologi sangat kuat. Kita ingat  istilah NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis) yang digagas presiden Soekarno. Umat Islam waktu itu dalam posisi tertekan. Salah satu upaya menguatkan nilai Islam dalam konteks negara adalah Perayaan Hari besar Agama. Perayaan Maulid dan Isra' Mi'raj kemudian menjadi kelaziman di setiap institusi negara. Dari Istana, kantor pemerintah, sekolah dan pesantren, semua merayakannya.