JEBAKAN PERTAMA:
"Jalan dakwah Salaf  satu-satunya jalan yang selamat"
Secara singkat kalimat ini sekilas benar, namun ketika analisis lebih jauh, kalimat di atas sering dibelokkan maknanya menjadi hanya kelompok gerakan Salafi saja yang selamat, karena mereka menamakan gerakan dakwahnya dengan nama "Salafi":
Beberapa pertanyaan kritis :
1. Apakah semua jamaah harus memakai kata "Salafi" agar bisa selamat? NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dst bagaimana? Tidak selamatkah?
2. Mengapa para Imam Madzhab yang empat tidak memakai kata Salafi/salafiyyun untuk menamai madzhabnya? Apakah karena itu mereka tidak selamat? Padahal mereka semua adalah para genarasi Salaf.
3. Apakah berbagai jamaah di dunia ini yang punya banyak nama, namun tetap merujuk pada Alquran dan hadits dan ahlussunnah wal jamaah tidak selamat?
4. Atau semua muslimin di dunia harus masuk jamaah Salafi tersebut  agar selamat?
Tentu saja tidak! Meyakini bahwa generasi Salaf satu-satunya yang terbaik dan dijamin selamat adalah benar, tapi apakah gerakan dakwah dengan Nama Sa-la-fy (yang merujuk dakwah Muhammad Ibn Abdul wahhab dan penerusnya ulama Saudi) Â adalah satu-satunya jamaah yang paling benar, itu soal lain dan ulama dunia menolaknya karena di dunia saat ini telah ada berbagai macam jamaah.
Generasi Salaf telah berlalu ribuan tahun. Mereka tidak hanya berdiam di Mekah-Madinah, namun menyebar ke penjuru dunia seiring tersebarnya Agama Islam Pasca Nabi wafat. Era Khalifah Umar Islam telah menyebar sampai ke  Mesir, era Bani Umayyah sampai ke Maroko, era Bani Abbasiyah sampai ke Eropa, dan seterusnya sampai era Turki Utsmani, Islam telah menyebar luas ke Asia Tenggara hingga Nusantara.
Jadi, penerus generasi Salaf ada di tiap negeri Muslim dengan representasi para Ulama setempat yang sanad keilmuannya sampai ke Nabi Muhammad SAW: ulama Al-Azhar Mesir, Ulama Suriah, Ulama Maroko, Ulama Yaman, ulama Saudi bahkan ulama Indonesia.
Adapun nama gerakan "Salafy" atau "Dakwah Sunnah", "dakwah Tauhid" merupakan branding dan usaha marketisasi dakwah mereka agar terkesan paling benar.
Perlu dicatat bahwa tiap gerakan dakwah punya histori terkait dengan konteks zaman dan ideologi yang berkembang di sebuah negara. Dalam konteks ini, dakwah Salafy tidak bisa lepas  dari konteks terbentuknya Kerajaan Arab Saudi waktu itu yang merupakan hasil kontrak antara Ibnu Saud dan Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab.  Sebelum era tersebut, tidak dikenal gerakan dakwah dengan nama Salafy.
JEBAKAN KEDUA:
"Dakwah Salafi tidak menyeru kepada kelompok, tokoh tertentu dan berta'ashub (fanatik) dengannya, tidak pula hizbi seperti selainnya."
Pertanyaan Kritis:
1.Siapa tokoh pencetus gerakan dakwah bernama Salafi? Atau nama sebelum Salafy (Wahhabiyah)? Atau nama ini otomatis turun dari langit tanpa konteks sejarah?
2.Pada siapa aktivis Salafi mengkaji kitab-kitabnya? Ustadz A , B atau C. Kalo A, lalu A merujuk/berguru ke syaikh siapa?
3.Mengapa hanya mengikuti fatwa ulama tertentu saja dan meniggalkan fatwa ulama kelompok lain?
4. Pada masa pemerintahan Turki Utsmani dan pemerintahan sebelumnya  yang menguasai jazirah Arab, mengapa tidak ada nama gerakan Dakwah Salafy? Mengapa baru ada setelah Kerajaan Arab Saudi berdiri?
Sampai disini benarkah dia tidak menyeru ke kelompoknya?
Selanjutnya, ketika mengajak teman sekampus atau teman sekantor untuk mengaji, apakah itu tidak berarti ia menyeru ke kelompok (pengajian)nya?  Mengapa pula mesti menyeru ke pengajiannya, bukan kelompok pengajian lain. Bukankah mereka berprinsip tidak menyeru ke kelompok? Mungkinkah ia hanya menyeru orang lain untuk merujuk langsung  ulama-ulama generasi Salaf saja, tanpa menyebut Muhammad Ibn Abdul Wahhab atau pendapat Syaikh AlBani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Fauzan dst? Pernahkah ia mengajak teman untuk mengaji ke ustad selain kelompok jamaahnya (yg dinamai salafi itu)? Ke ustad jamaah Tabligh, NU, Muhammadiyah misalnya?
Justru yang terjadi mereka menganggap kelompok pengajian lain tidak benar. Bukankah itu ta'asub dan hizbi? Bukankah itu juga termasuk standar ganda? Kepada kelompok lain diberlakukan, namun ke kelompok sendiri tidak.
Pertanyaan-pertanyaan kritis ini seharusnya muncul di benak jamaah Salafi.
Salaf itu ada ratusan ribu jumlahnya. Menurut Riwayat, jumlah Shahabat itu 114.000 (as-Suyuthi rahimahullah dalam al-Khashais al-Kubro). Belum lagi generasi Tabiin dan Tabiut-tabiiin. Maka ketika kita bilang kita mengambil manhaj Salaf, maka Salaf yang mana yg kita ambil? Karena tidaklah kita mengambil sebagian pendapat Salaf, kecuali kita tinggalkan pendapat sebagian yang lain. Pada masa Salaf itu tidak semuaya pandangan Fiqh isinya Ijma' semua, banyak perkara yang masuk dalam bab Mukhtalaf Fiiha.
Dalam bab qunut subuh misalnya, para Imam Madzhab (yang notabene generasi Salaf) sendiri berbeda pendapat; Imam Syafei berpendapat sunnah, Imam Hambali berpendapat tidak. Kalau mereka konsisten dengan Manhaj Salaf, maka mereka akan sholat subuh secara selang-seling; hari ini pakai qunut, besok tidak, dan seterusnya. Ini karena mereka berdua adalah generasi Salaf.
Kenyataannya mereka bilang qunut Subuh bidah, padahal ulama Salaf sendiri (Imam Syafei) bilang qunut Subuh sunnah. Dari sini Nampak bahwa penamaan Dakwah Manhaj Salaf itu rancu dan tak konsisten. Ibarat pengikut salaf yang meninggalkan pendapat Salaf. Mereka ingin mengklaim seluruhnya, padahal yang mereka lakukan sebagian.
Itulah sumber konflik kelompok ini dengan jamaah atau Ormas yang kesannya dianggap bukan bermanhaj Salaf. Padahal jamaah selain mereka juga mengambil metode para Imam Madzhab yang juga generasi Salaf.
JEBAKAN KETIGA:
"Nabi melarang kita berkelompok, makanya tidak boleh ikut organisasi, ormas, atau ikut bermadzhab."
Ini merupakan contoh pemahaman yang menyalahi sunnatullah, out of context sekaligus tidak ilmiah. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa menjalin relasi dan bekerjasama dalam komunitas atau grup. Lalu melalui komunitas dan organisasi itu mereka  berbagi masalah dan merumuskan visi hidup. Hal itu pula yang dilakukan para pejuang kemerdekaan dulu;  bersatu, berorganisasi, mengatur strategi melawan penjajah hingga Indonesia merdeka tahun 1945.
Adanya pemahaman  keliru tersebut muncul  akibat penafsiran letterlijk atas satu-dua hadits, kurangnya ilmu hingga menfsirkannya secara hitam-putih  tanpa melihat konteks dan pemahaman ulama atasnya, serta tidak mempertimbangkan seluruh aspek secara integral. Â
Madzhab Fikih yang empat adalah Ijma' ulama seluruh dunia. Â Seorang Muslim (sunni) bisa memilih salah satunya sebagaimana dipraktikkan oleh kaum muslimin di negara setempat. Mengapa Madzhab (fikih) tiba-tiba diharamkan dengan dalih ingin menjadi Muslim saja tanpa embel-embel? Atau dengan dalih mengikuti Salaf?
Tolong dicatat: Salaf itu bermadzhab! "
Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafei, Hambali) adalah para Salaf juga. Mereka generasi tabiin dan tabiut-tabiin.
Sebenarnya yang dimaksud tidak boleh berkelompok itu konteksnya zaman Nabi, Khulafaur Rasyidin, serta zaman Amirul Mukminin ada. Siapa yang keluar dari barisan Nabi, sahabat serta Amirul mukminin sudah pasti haramnya. Dalam sejarah Islam kita mengenl Kaum Khawarij yang keluar dari barusan Ali.
Soal Amirul Mukminin atau kepemimpinan tunggal umat Islam ini telah melalui masa yang amat Panjang. Termasuk Bani Umayyah, Abbasisyah, Fathimiyah  hingga terakhir Turki Ustmani. Tentu dianjurkan untuk tidak membuat Kelompok baru atau sempalan yang menyelisihi kepemimpinan mereka karena akan dimanfaatkan lawan serta menjadikan lemah barisan kaum muslimin. Â
Tapi saat amirul mukminin tiada, terutama saat Turki Utsmani runtuh tahun 1924, sementara Umat Islam sudah tersebar dari Maroko hingga Merauke, siapa yang diselisihi saat sebagian tokoh umat Islam membuat organisasi atau jamaah? Menyelisihi Amirul Mukminin yang mana? menyelisihi Saudi, Mesir, Suriah atau negara Arab lainnya yang semua telah menjadi nation state? Khan tidak pas!
Secara historis waktu itu dunia Islam berada di bawah kolonialisme bangsa Barat. Â Beberapa tokoh kemudian berijtihad membuat organisasi untuk menyatukan dan memberdayakan umat Islam yang terjajah, terbelakang secara ekonomi dan politik. Organisasi ini bukan berkelompok menyelisihi amirul Mukminin, justru mereka berusaha mengganti peran kepemimpinan Amirul Mukminin yang telah tiada, terutama setelah dihancurkan oleh konspirasi Inggris (Anda tahu dengan bantuan siapa?)
Baca sejarah! Â Muhammadiyah lahir 1912, NU 1926. Â Mereka kemudian mengurusi persoalan umat dari fikih, Sosial, kesehatan, pendidikan, termasuk penentuan hari raya sejak era penjajahan. Waktu itu Rakyat mau sekolah saja tidak boleh. Makan saja susah. Kalau dulu doktrinnya "taat ulil amri, jangan berkelompok atau buat organisasi" lantas bangsa Indonesia harus taat pada Pemerintah Kolonial Belanda atau Jepang? Bagaimana rakyat mengorganisasi perlawanan pada penjajah?
Justru kita patut berterima kasih kepada ormas Islam, terutama Muhammadiyah dan NU. Sebab dari kedua organisasi ini lahir banyak pahlawan-pahlawan nasional yang berperan besar pada kemerdekaan bangsa  Indonesia. Jenderal Soedirman  adalah kader Hizbul Wathon Muhammadiyah, Bung Tomo  sangat dekat dengan KH Hasyim Asyari yang keluarkan fatwa Resolusi Jihad hingga muncul pertempuran Surabaya 10 November.
Kemudian kedua Ormas inilah yang menyokong negara Indonesia pada awal-awal kemerdekaan melalui institusi pendidikan dan amal usaha mereka.
Jadi, jangan salah tafsir lagi soal larangan berkelompok jadi larangan berorganisasi. Atau tiba-tiba mengharamkan ormas atau jamaah tanpa tahu konteks sejarah perjuangan Bangsa. Orang Indonesia tapi asing dengan sejarahnya.
Adalah sebuah paradoks saat mereka yang mengaku tidak berkelompok
tapi membuat kajian yang isinya orang-orang sekelompok, ustadznya juga eksklusif dari kelompoknya. Masjidnya pun dinamai Imam madzhab tertentu (Masjid Imam Ahmad bin Hmbal). Â Fikihnya ikut negara tertentu dan pemahaman ulama-ulama dari negara tertentu juga. Mengapa tidak ikut ulama Indonesia yang telah ada secara mayoritas, mengapa malah buat kelompok baru? Mengapa menyeru orang lain yang sudah punya jamaah untuk ikut kelompok kajian Anda?
Jadi jika ada orang yang ikut jamaah atau ormas Islam dibilang berkelompok atau berpecah-belah, tapi jika ikut kelompok pengajian Anda dibilang bersatu?
Ini adalah sikap kekanak-kanakan.
JEBAKAN KEEMPAT:
"Yang kami sampaikan adalah Alquran dan Sunnah, semua pakai dalil, bukan syubhat!"
Begini Bro, Pemahaman dalil alquran dan sunnah yang ada di kepala ustadz-ustadz Salafy (ust Abdul Qadir Jawwas, Ust Khalid Basalamah, Ustadz Firanda, dst) bukan diperoleh langsung dari Nabi Muhammad SAW, tapi dari guru-gurunya waktu belajar di Saudi. Dan para Ulama Saudi memang bermadzhab seperti yang diyakini Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab sebagai penyokong berdirinya Kerajaan. Ini perlunya jamaah Salafy belajar sejarah agar paham konteks.
Bahkan di Universitas Islam Madinah sendiri kurikukum aqidahnya resmi berdasar ajaran Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
Jadi, slogan "kembali ke Manhaj Salaf" itu butuh jalan. Ibarat ingin mudik ke Kampung halaman, banyak jalur yang bisa  dilewati. Dalam hal ini Kaum Salafy harus jujur bahwa jalan meraka adalah para ulama Saudi kini yang merujuk pendapat Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan pemikiran ulama Ibnu Taymiyah.
Soal apakah mereka sampai atau tidak ke generasi Salaf, wallahu a'lam. Yang jelas itu hanya sekedar ijtihad manusia.
Jika saja para ustadz tersebut belajar di luar Saudi (misal Yaman, Suriah, Mesir, Maroko, atau Malaysia Dan Brunei), tentu pendapat fikihnya berbeda dan bisa menerima pendapat ulama dan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dari sini kita paham, mengapa kebanyakan ustadz yang kontroversial pendapatnya (wayang Haram, wisata ke Candi Haram, lagu Indonesia Raya tidak perlu dinyanyikan, Maulidan dan tahlilan bidah, dst) adalah  alumni Saudi.
Jadi benar yang ustadz-ustadz tersebut sampaikan adalah Alquran Dan hadits, tapi  dengan pemahaman ala ulama Saudi yang berbeda dengan pemahaman mayoritas ulama di negara-negara Muslim Dunia, termasuk ulama Indonesia.
Apa dikira hanya kalian yang pakai dalil? MUI, NU, Muhammadiyah tidak pakai dalil?
Lantas Bahtsul Masail NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah selama ini pakai apa dalam mengkaji dan memutuskan sebuah masalah hingga jadi ketetapan fatwa?
JEBAKAN Â KELIMA:
"Perayaan Maulid, Isra'Mi'raj, dst itu Bidah, tidak sesuai Sunnah".
Terkait pemikiran tersebut, ada beberapa hal yang perlu diluruskan;
*Pertama, Konteks Historis.*
 Setelah Indonesia merdeka dan dibentuk BPUPKI, dirumuskanlah Piagam Jakarta. Waktu itu pertarungan ideologi mewarnai perumusan dasar negara.  Kemudian hari umat Islam kehilangan 7 kata dalam sila pertama. Untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam di Indonesia pemerintah waktu itu membentuk departeman Agama.
Melalui Departemen Agama kepentingan umat Islam dapat mudah tersalurkan dalam konteks pemerintahan. Ini sangat penting, dimana waktu itu pertarungan ideologi sangat kuat. Kita ingat  istilah NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis) yang digagas presiden Soekarno. Umat Islam waktu itu dalam posisi tertekan. Salah satu upaya menguatkan nilai Islam dalam konteks negara adalah Perayaan Hari besar Agama. Perayaan Maulid dan Isra' Mi'raj kemudian menjadi kelaziman di setiap institusi negara. Dari Istana, kantor pemerintah, sekolah dan pesantren, semua merayakannya.
Jadi secara historis, Perayaan Hari-hari Besar Agama Islam merupakan perjuangan umat Islam sekaligus ijtihad ulama  dalam mewujudkan nilai-nilai Islam agar berterima luas di masyarakat.
Anehnya, hari-hari ini datang kelompok yang tidak paham sejarah bangsa, tidak ikut berjuang mendirikan Republik bersama ulama dan umat, apalagi merumuskan dasar-dasar negara, lalu tiba-tiba dengan bangga menyuruh kita mengikuti  ulama negara lain (Saudi) yang punya sejarah dan kepentingan sendiri.
Coba lihat Kalender Nasional, hitung ada berapa Hari besar Agama.
Apa kalian pernah berfikir, apa jadinya  jika  pemerintah RI hanya  merayakan Hari Besar agama-agama selain Islam, tapi Hari besar Agama Islam yang mayoritas  tidak dirayakan sesuai keyakinan Salafy? Sungguh sebuah kebodohan.
*Kedua, Konteks Legalitas.*
Isra' Mi'raj dan Maulid masuk dalam Kalender dan agenda Nasional. Â Presiden dan wakil presiden secara resmi juga merayakannya.
Bahkan Isra' Mi'raj dan Maulid jadi libur resmi (tanggal merah). MUI, NU, Muhammadiyah juga merayakannya.
Artinya Hal tersebut sudah menjadi ketetapan ulil amri, serta ketetapan Ulama RI.
Sesuai kaidah:
"keputusan Hakim (ulil amri) menghapus adanya perselisihan."
Â
Jika pemerintah dan Ulama sebuah negara telah sepakat akan suatu masalah, maka menyelisihi mereka adalah bentuk kemudharatan.
*Ketiga, Konteks Konsistensi Pendapat*
Ironisnya, mereka yang membidahkan perayaan Isra' Mi'raj dan Maulid adalah yang terdepan mengajarkan ketaatan pada ulil amri (pemerintah).
Jika pemerintah RI dan para Ulamanya di seluruh Nusantara sudah legalkan dan resmikan Perayaan Isra' Mi'raj, mengapa tidak taat saja?
Saya jadi bertanya; sebenarnya ulil amri kalian yang mana? Ulama kalian  siapa?
Apa benar Ulil amri kalian Kerajaan Saudi? Ulamanya Lajnah Daimah, Syaikh Bin Baz, Syaikh Albani, Utsaimin, dkk?
Kalau demikian, kalian sebenarnya bukan dakwah Manhaj Salaf, tapi lebih tepat Dakwah Manhaj Salah, salah konteks. Karena kita berada di negara Indonesia, bukan Saudi.
Beda kebijakan Pemerintah dan fatwa ulamanya.
PENUTUP
Penamaan Dakwah Salafy, Dakwah Sunnah, dakwah Tauhid, dst adalah sebuah "branding dakwah" yang  tidak bisa lepas dari historinya sebagai sebuah gerakan yang tumbuh, berkembang dan terafiliasi dengan ideologi negara tertentu.
Di kemudian hari branding ini menimbulkan masalah karena dipahami secara diametral oleh para dainya dan dimarketisasi oleh para pengikutnya dengan Tafsir hanya mereka yang sesuai Salaf, hanya mereka yang sesuai Sunnah, sedang umat Islam mayoritas di Indonesia adalah pelaku bidah (padahal Lembaga Ulama Indonesia tidak menyatakan demikian).
--------------
*Ust. MBZ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H