Sangkur yang dilempar Biju melesat cepat menembus dada Putri Anai yang tiba-tiba berlari ke arena pertarungan dan mencoba melindungi Rangga. Perempuan itu jatuh bersimbah darah. Tubuhnya kejang-kejang sesaat, lalu diam.
" Putri.... Tidaakkk…!!!"
Rangga melompat menahan tubuh Putri Anai yang jatuh. Darah segar dari mulutnya terus mengucur deras. Perempuan itu tak lagi bergerak. Mati.
Biju tak bergeming. Matanya menatap tajam ke arah dua insan yang bersimbah darah di hadapannya. Satu sosok lelaki yang saat ini menjadi musuhnya. Dan satunya lagi tubuh istrinya, Putri Anai, yang telah dia tinggalkan dua tahun silam dan tertembus mata sangkurnya yang tajam.
"Bajingan, ku bunuh kau...!!!"
Rangga berlari sekuat tenaga ke arah Biju dan menyerangnya. Belum sempat ia mendekat, dua jarum beracun melesat lebih cepat menembus ulu hatinya. Rangga terjungkal ke belakang. Tubuhnya tepat jatuh di samping kepala Putri Anai. Kemudian diam tak bergeming.
Angin bertiup kencang menyaksikan dua insan yang bersimbah darah itu. Daun-daun dari pepohonan berguguran. Malam semakin larut. Jangkrik tak mengeluarkan suara. Lolongan anjing terdengar menyayat di tengah hutan Tandikat memecah suasana yang semakin mencekam.
Lelaki itu, Biju, tak bergeming dari bumi yang menopang kedua kakinya. Deru napasnya begitu tenang.
Sebelum melangkah meninggalkan dua mayat yang terbujur kaku di hadapannya, sesaat ia memandang tubuh perempuan yang tak lagi bernyawa itu. Perempuan yang lebih sepuluh tahun ia gauli. Dan yang menemani hari-harinya....
Terkenanglah ia akan masa-masa indah bersama perempuan itu, dulu.
"Uda, kalau kita punya anak laki-laki, kau akan beri nama apa?" tanya Putri Anai manja.