Lelaki itu masih memegang perutnya yang sakit. Pukulan dan tendangan Biju begitu membunuh. Untung saja tenaga dalam ia kerahkan setiap kali pukulan dan tendangan Biju mendarat di tubuhnya.
* * *
Malam kesepuluh setelah Biju datang tiba-tiba menyerang lelaki itu. Putri Anai mendekat ke arah Rangga yang terbaring menatapnya. Pandangannya binal. Nafsunya menggelora. Lelaki itu tetap tak bergeming. Namun matanya buas menatap tubuh Putri Anai yang berbalut selendang tipis.
"Rangga, ayolah kemari..." Putri Anai membentangkan kedua tangannya.
Belum sempat Rangga bangkit dari pembaringan, tiba-tiba gubuk yang mereka tempati bergetar. Suara angin di luar cukup kencang. Putri Anai tersentak. Begitupun lelaki itu. Ranjang berderit. Atap gubuk itu terasa hendak diterbangkan angin.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Putri Anai ketakutan.
Gubuk terus bergoyang. Suara pintu dan jendela berderit-derit. Rangga melompat cepat dari ranjang kayu menuju jendela. Ia mengintip keluar. Namun alangkah kagetnya ia ketika melihat sesosok tubuh hitam kekar menghunus sangkur berdiri di bawah sebatang pohon beringin di depan gubuk itu.
"Dia datang, Putri," ujar Rangga. Suaranya tertahan.
"Siapa?" tanya Putri Anai semakin takut.
"Biju!"
Mendengar nama itu, Putri Anai semakin gemetar. Secepat mungkin ia melompat dan berlari ke arah lemari pakaian. Dia sambar pakaiannya dan secepat mungkin membalut tubuhnya yang nyaris bugil.