“Aku tidak tahu apakah ayah dan ibuku mampu menyekolahkan aku. Kalau pulang ke Samosir, ayah akan ke ladang. Aku akan membantunya. Waktu sekolahku pasti tidak ada.”
“Bukankah di sini kita juga sering ke ladang dan ke sawah?” tanyaku.
“Beda di kampungku. Aku akan seharian membantu ayah dan emak di sawah, karena sawah itu peninggalan nenek. Kampungku juga tertinggal dari pembangunan. Ah, aku berharap suatu saat nanti kita bertemu lagi, Kawan!”
Dia menepuk pundakku.
“Aku juga Ndan. Aku ingin berjumpa ketika Kau sudah memakai pakaian serba putih. Badan Kau tidak bau keringat seperti sekarang, tapi bau obat. Kau juga keluar dari mobil mewah dan melambaikan tangan ke arahku.”
“Ha-ha-ha.... Terlalu berat aku menghayal ke sana. Semoga aku bisa melalui semua cobaan ini. Kau juga tentunya.”
“Amin...”
Tiba-tiba terdengar ada sesuatu yang jatuh menimpa atap pondok tempat kami duduk. Aku dan Bondan terkejut. Sebuah jambu kelutuk masak yang batangnya tumbuh di samping pondok jatuh.
“Ah, entah kapan kita dapat memakan jambu itu lagi,” katanya.
Aku tersenyum. Kenangan memakan buah jambu kelutuk di kala lapar sangat berkesan di hati kami, di pondok itu.
“Kau tahu di mana Anton sekarang?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.