Tak jauh dari pondok tempat kami duduk ada serimbun pohon bambu. Batang dan daunnya dimainkan angin. Suara angin mendesir di sela daun bambu. Seolah angin berpuisi. Indah sekali desirannya.
“Apa rencana Kau sesudah tinggal di Aceh?” tanyanya kepadaku setelah beberapa saat kami diam.
“Aku belum tahu.”
“Kau akan meneruskan sekolah?”
“Kata bapakku, iya. Aku juga ingin terus sekolah. Aku ingin hidup keluargaku lebih baik dari sekarang. Aku benci kemiskinan. Aku benci dihina orang. Aku benci perbuatan aparat-aparat keparat itu yang menghancurkan rumah kita,” jawabku. Agak emosi aku mengatakan kata-kata itu.
“Cita-cita Kau hebat, Men. Teruskanlah itu.”
“Kau sendiri bagaimana, Ndan? Bukankah Kau ingin menjadi dokter kelak?”
“Entahlah, aku tidak tahu mau menjadi apa kelak,” jawabnya agak putus asa.
“Hei, mengapa Kau bicara seperti itu? Kau bukan seperti Bondan kawanku dulu, yang semangat dan tinggi cita-citanya.”
Dia diam. Menunduk. Meremas-remas rambut di kepalanya.
Angin mendesir lagi. Menyejukkan tubuh kami.