Dia tidak menjawab. Wajahnya murung. Kami terus berjalan ke pondok.
“Kau tinggal di mana?” katanya mengalihkan pembicaraan.
“Aku dan kedua orangtuaku menumpang di rumah Nek Ani. Kau sendiri?” tanyaku lagi kepadanya.
Dia tak menjawab. Dia melompat duduk di beranda pondok yang tingginya sepinggang tubuh kami. Dia menghela napas panjang.
“Aku akan pulang ke Samosir, kampung emakku,” jawabnya kemudian.
Lalu dia diam lagi. Di tangannya ada daun jerami, digigit-gigitnya ujung jerami itu. Wajahnya terlihat sendu.
“Nasib kita sama, Ndan,” jawabku kemudian.
“Kau akan kemana?”
“Ke Aceh, ikut bapakku.”
“Ah, kita akan berpisah,” desahnya.
Hening lagi. Kami sama-sama diam. Mengenang masa kecil yang buram.