Siapa yang tidak kenal dengan Agus Salim, seseorang yang sempat menjadi perbincangan karena terlibat kasus donasi miliaran rupiah. Kasus ini menyita perhatian publik selama lebih dari dua bulan tanpa ada kejelasan yang memuaskan. Mari kita analisis mengapa saat itu saya belum menemukan titik terang dalam kasus ini.
Awalnya, Agus menerima sejumlah uang melalui donasi, di mana uang tersebut seharusnya dialokasikan untuk biaya pengobatan. Sisa dana yang tidak terpakai akan dikelola oleh Novi, perwakilan dari yayasan yang bertanggung jawab atas donasi tersebut, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, Agus menggunakan uang tersebut bukan untuk berobat, melainkan untuk kebutuhan keluarga dan masa depannya. Hal ini memicu ketidakpuasan dari Novi, yang kemudian meminta agar dana tersebut dikembalikan dan dikelola sesuai peruntukannya.
Agus, yang merasa berhak atas dana tersebut, dibantu oleh Farhat Abbas untuk memperjuangkan haknya. Setelah tekanan yang cukup besar dari pihak Agus, Novi akhirnya sepakat bahwa dana tersebut akan sepenuhnya digunakan untuk Agus, meskipun tindakan ini bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pada titik ini, saya sempat berpikir bahwa Agus adalah pihak yang bersalah, sementara Novi dan yayasannya adalah korban.
Namun, perspektif lain muncul dari seorang teman lama saya. Menurutnya, dalam kasus ini, semua pihak memiliki kesalahan, termasuk Novi. Ia berpendapat bahwa Novi seharusnya segera menarik diri dari permasalahan begitu Agus ketahuan menyalahgunakan dana. Demi menjaga citra yayasan, Novi memilih untuk melaporkan atau mempublikasikan tindakan Agus di media sosial. Sayangnya, langkah ini justru menyeret Novi lebih dalam ke dalam pusaran masalah. Novi dituduh merebut hak Agus, padahal dana tersebut sudah sepenuhnya menjadi milik Agus. Bahkan, Novi juga dihadapkan pada tuduhan-tuduhan lain yang tidak relevan seperti narkoba.
Situasi ini membuat saya semakin sulit menemukan jalan keluar. Satu-satunya titik terang muncul ketika Agus akhirnya menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada semua pihak, termasuk para donatur. Permintaan maaf ini penting karena selain melanggar perjanjian, pihak Agus juga sempat terindikasi melakukan intimidasi kepada donatur.
Dari sini saya menyadari bahwa orang yang mampu berpikir kritis cenderung terus-menerus mencari informasi dan enggan menyimpulkan sesuatu secara terburu-buru. Akibatnya, banyak orang dengan pola pikir kritis merasa kesulitan untuk berpihak atau menentukan sikap karena merasa informasi yang ada belum cukup.
5. Mengenali Kesalahan Berpikir
Dalam bagian ini, saya akan menjelaskan tiga istilah penting yang sering digunakan dalam dunia debat.
Yang pertama adalah Ad Hominem.
Ad hominem adalah kesalahan logika di mana seseorang menyerang karakter atau pribadi lawan debat, bukan argumen yang disampaikan. Singkatnya, ini terjadi ketika seseorang berkata, "Kamu tidak layak didengar karena kamu bukan ahli dalam bidang ini," padahal argumen yang disampaikan seharusnya dinilai berdasarkan logika dan fakta, bukan latar belakang pribadi.
Contoh ad hominem sangat sering kita temui, termasuk di lingkungan sekolah. Saya teringat pengalaman pribadi saat mengikuti ujian akhir semester mata pelajaran Matematika ketika SMA. Ketika menerima lembar soal, saya terkejut karena soal-soal tersebut disampaikan dalam bahasa Inggris. Meskipun saya tidak memiliki masalah dengan bahasa Inggris, saya merasa bahwa ujian seharusnya menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan apa yang diajarkan.