Memasuki hari ketiga observasi, saya dan teman-teman Kampus Mengajar lainnya mengisi beberapa kelas yang gurunya berhalangan hadir. Permintaan dari beberapa guru untuk menggantikan tugasnya, kami tanggapi dengan penuh antusias, karena hal tersebut mampu mendalami observasi kami terhadap kemampuan literasi dan numerasi siswa. Proses mengajar kami manfaatkan sebagai ruang saling mengenal lebih dalam.
Kelas empat merupakan yang pertama kali saya kunjungi. Siswanya masih ada beberapa yang belum lancar membaca, Winny yang merupakan teman kelompok saya terlebih dahulu masuk ke kelas empat tersebut. Ia duduk berhadapan dengan dua siswa di meja guru untuk mengajarinya membaca agar lebih lancar. Sedangkan siswa lain yang lancar membaca diberi tugas mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket. Tugas ini memang sudah diperintahkan untuk dikerjakan oleh guru agama yang berhalangan datang.Â
Pemberian tugas tersebut tidak lantas membuat para siswa ini anteng dalam mengerjakannya. Ada beberapa mengganggu temannya yang mengerjakan tugas, dan sebagian lainnya lebih asik dengan dirinya sendiri, beberapa kali dipanggil tidak merespon. Sifat yang super aktif membuat saya kualahan mengajaknya duduk mendengarkan apa yang saya sampaikan.
 Membuat metode dan bahan ajar menjadi penting agar dapat menyajikan pola belajar yang menyenangkan, sebagaimana orang mengatakan bermain adalah dunia anak. Maka menyematkan kata bermain dalam belajar dengan menitik beratkan belajar menjadi upaya yang harus dilakukan oleh setiap pengajar, tak terkecuali oleh saya sendiri. Langkah pertama yang saya lakukan, bertanya tentang mata pelajaran mereka saat itu.
"Anak-anak pelajarannya apa ya?"
"Agama Pak guru" jawab para murid.
Saya ambil buku paket siswa yang tergeletak di atas mejanya dan melihat materi apa yang dipelajari, beserta soal-soal yang sedang mereka isi. Setelah mendengar dan melihat beberapa soal yang terdapat pada buku paket yang mereka kerjakan, saya memutuskan menceritakan salah satu kisah tentang Raja Abrahah yang akan menghancurkan Ka'bah.Â
Siswa-Siswi yang tadinya sibuk sendiri terlihat mendengar secara seksama apa yang saya ceritakan. Cerita inipun saya pilih lantaran Soal-soal yang terdapat dalam buku paket di dominasi tentang pasukan gajah yang dipimpin Abrahah dalam upaya menghancurkan ka'bah.
Selepas cerita berakhir, satu persatu siswa saya minta maju kedepan membacakan soal lalu menjawabnya, sementara yang lain menyimak dan mengoreksi jawaban temannya yang maju kedepan. Beberapa arti dalam ayat Al-Quran yang menjadi soal, saya baca layaknya sedang membaca puisi. Menggunaan metode bercerita ini cukup membuat kelas tenang dan tidak ribut, Imbasnya setiap kali bertemu di sekolah para siswa yang saya jumpai selalu meminta diceritakan kembali.
Suara serak, tenggorokan sakit, itulah yang saya rasakan selama lima hari berkegiatan di SDN 29 Mataram. Sesaat saya gelisah dengan rasa sakit yang terasa di tenggorokan tetapi salah seorang guru memberitaukan kalau hal itu lumrah terjadi. Seiring berjalannya waktu rasa sakit semacam itu akan sembuh dengan sendirinya. Sebenarnya rasa sakit yang terasa di tenggorokan merupakan adaptasi yang dilakukan oleh tubuh, dikarenakan sebelumnya tidak pernah merasakan intensitas kerja semacam itu.Â
Saya mengira rasa sakit yang ditimbulkan setelah berbicara cukup panjang di dalam kelas hanya dialami oleh saya seorang, nyatanya beberapa teman yang tergabung di group WA Kampus Mengajar mengutarakan hal yang sama. Membaca pesan-pesan yang masuk di handphone membuat saya senyum-senyum sendiri.
Beberapa orang yang merasa diawal akan biasa saja ternyata mengakui profesi menjadi seorang guru tidak hanya dituntut memiliki ilmu yang memadai tetapi juga memiliki rasa empati dan sabar yang tinggi. Mengeraskan suara, tidak didengarkan merupakan kenyataan yang harus diterima sebagai bagian proses menjadi guru. Keadaan terkadang menggiring pada situasi yang tidak mengenakkan namun mendorong setiap pengajar harus bisa tersenyum, berat memang namun itulah realitas yang harus diterima, jika tidak maka sudah dipastikan siapapun nantinya menjadi pengajar akan mengalami kegagalan.
Bel berbunyi tanda keluar main, Para siswa yang sudah belajar sejak pukul 7.30 WITA berlarian menuruni tangga menuju kantin untuk jajan. Ema yang terlihat bersemangat menyampaikan kalu Kepala sekolah yang kami tunggu semenjak dua hari yang lalu sudah tiba di sekolah dan ada di ruangannya.
"Bagaimna apakah mau sekarang menghadap kepala sekolah atau nanti saja setelah saya pergi menemui adik saya?"
Â
"Ema pergi saja dulu, nanti habis bertemu adiknya kita menghadap kepala sekolah".
Â
Tak lama semenjak Ema pergi menemui adiknya, ibu Endah memanggil memberitahu, kepala Sekolah meminta kami menghadap ke ruangannya. Mendengar himbauan itu, tanpa berpikir panjang kami langsung menuju ruangannya. Kesepakatan yang kami buat bersama Ema terpaksa tidak kami jalankan lantaran merasa tidak sopan bila tidak mengindahkan yang disampaikan kepala sekolah. Perlahan kami mulai memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan.
Satu persatu kami memperkenalkan diri, mulai dari nama hingga berasal dari universitas mana, serta jurusan yang diambil. Dari obrolan yang berlangsung ada beberapa hal yang ditekankan oleh bapak Mujitahid selaku kepala sekolah SDN 29 Mataram, diantaranya, (1) Perpustakaan yang masih belum tertata rapi sekiranya dapat menjadi program kerja (2) Meski program Kampus Mengajar tidak mewajibkan pesertanya mengajar tetapi sewaktu-waktu diminta mengajar harus siap membantu para guru mengingat sekolah masih kekurangan guru (3) Mentaati semua peraturan sekolah.
Tiga poin ini menjadi catatan yang kami harus implementasikan selama berada di SDN 29 Mataram. Poin pertama yang disampaikan bapak Mujitahid sudah sesuai dengan niatan awal semenjak kami berdiskusi dengan para guru untuk menjadikan perpustakaan bagian dari program yang akan kami rancang Bersama.
Sedangkan pada poin kedua bapak Mujitahid menjelaskan kepada Ibu Dama dan Ibu Endah, "kalu peserta Kampus Mengajar tidak diwajibkan mengajar, disanalah salah satu perbedaan dengan mahasiswa yang datang PPL", ucap bapak Mujitahid. Pengetahuan ini diutarakan lantaran beliau sempat mencari tau tentang Kampus Mengajar. Sementara poin ketiga adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh siapapun dan dimnapun ia berpijak, sebagaimana pepatah mengatakan, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung.
Permisi, Suara itu memecah obrolan kami sesaat. Saya yang duduk membelakangi pintu memalingkan muka ke arah datangnya suara, ternyata itu Ema yang sudah kembali dari menyusul adiknya. Bapak Mujitahid yang melihat kedatangan Ema, menanyainya selepas duduk,
" Namamu siapa?
 "Alamat dan kuliahnya dimana?".
Ema yang mendengar pertanyaan itu langsung menjawabnya dengan nada yang sopan
"Nama saya Ermaliani Agustina, saya tinggal di Gunung Sari dan sekarang kuliah di UNDIKMA jurusan Bahasa Inggris".
Â
Pertemuan ini diakhiri dengan penunjukan Ibu Dama dan Ibu Endah sebagai guru Pamong oleh kepala sekolah. Â Kedua ibu guru inilah yang menjadi teman diskusi selama kami mengalami kendala atau yang lainnya. Â Sekolah yang terpilih mendapatkan program Kampus Mengajar rata-rata memiliki satu guru pamong, sedangkan di SDN 29 Mataram kepala sekolahnya menunjuk dua guru.
Keputusan ini sempat membuat teman-teman saya saling menanyai, "bukankah peraturan Kampus Mengajar mengenai guru pamong harus satu?". Keputusan kepala sekolah yang menetapkan dua guru pamong membuat saya tidak harus mendiskusikan itu, karena bagi saya akan lebih baik jika memiliki dua guru pamong, dengan demikian diskusi dan pandangan yang hadir bisa dari beragam perspektif. Prihal data yang harus diinput mengenai guru pamong tersebut tinggal pilih salah satunya. Gitu aja kok repot, kata Gusdur.
Selama Seminggu lebih berada di sekolah ini, saya merasa sangat menyukainya. Lingkungan sekolah rapi, siswa-siswinya menyenangkan dan pastinya para guru yang sangat mendukung, hal tersebut menjadi energi positif bagi kami. Dari awal penerimaan dan respon para guru yang baik menjadi penghargaan tak terhingga. Makanan yang ada di ruang guru selalu sampai kepada kami. Biasanya selepas pulang sekolah, kami dipanggil dan disuguhkan makanan untuk makan bersama. Memang itu bukan di hadirkan semata-mata untuk saya dan tim, tetapi hubungan segabai satu keluarga yang dibingkai sangat terasa terjalin. Belum satu bulan saya berkegiatan, kerinduan akan tempat ini mulai terbangun dalam diri saya.
Setiap kali selepas sholat dzukur tak jarang kami dipanggil, kadang saya mengira sepertinya ada tugas yang akan saya kerjakan di ruang guru, begitu sampai di sana tidak taunya kami diajak makan rujak bareng, buah pepaya dan kedondong sudah ada diatas meja. Hari berikutnya hal serupa juga terjadi, anggapan saya masih sama, "sepertinya para guru membutukan bantuan untuk mengerjakan sesuatu", sesampainya diruang guru nasi dengan lauk tempe, plecing dan sambel menunggu.Â
"Ayo makan dulu, piringnya ada di dapur. Ambil sendiri yah, nanti kalu mau nambah ambil saja lagi, tidak usah malu-malu". Makan lagi. Di hari berikutnya sedikit berbeda, tidak lagi kami melihat para guru memanggil. Malamnya ketika saya sedang menulis tiba-tiba saja sebuah pesan WA masuk ke HP yang bertulis ayam atau bebek? Pesan ini awalnya saya kira hanya kelakar yang dibuat oleh teman saya di kampus mengajar, tidak Taunya pesan itu memang dari salah satu guru yang mengajar di SD ini.
Guru-guru di sekolah memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat. Sesama guru ataupun pegawai lainnya saling support dan mengasihi satu sama lain. Pesan singkat (WA) mengenai tawaran untuk memilih Ayam atau Bebek itu terasa lucu. Lama-lama berat badan sayapun sepertinya akan bertambah.Â
Tidak heran dari sekolah lain yang mengikuti kegiatan Kampus Mengajar berpendapat kami sangat beruntung di tempatkan di SDN 29 Mataram. Menanggapi komentar itu, apa yang kami rasakan di Sekoah ini tidaklah seberuntung seperti yang diutarakan melainkan beruntung sekali. Siangnya pun seperti biasa kami makan bersama dengan ayam dan bebek yang sudah disiapkan dalam kotak dan ditaruh di atas meja kantor para guru. Makan lagi, enak lagi.
Dari kebersamaan dan sifat kekeluargaan yang dibangun oleh setiap guru dan warga sekolah yang lain, saya merasa menguntungkan sekali bagi saya untuk belajar dengan nyaman bagaimana metode mengajar dan yang lainnya. Tak jarang dalam kebersamaan kami para guru melontarkan candaan yang mencairkan suasana. Tak mau kalah saya juga beberapa kali menimpali candaan itu dengan candaan pula. Ruang mengenal antara para guru dan kami sebagai tim selalu terbingkai dengan candaan yang membuat sekat yang tadinya begitu terasa perlahan memudar.
Program-program sekolah yang dijalankan dijelaskan oleh beberapa guru sebagai informasi yang mungkin kami butuhkan. Semisal hari senin kegiatan yang berlangsung ada upacara bendera diikuti kegiatan ekstrakulikuler tari pada sore harinya.Â
Hari selasa do'a bersama diikuti ekstrakulikuler pencak silat sorenya. Rabu senam sehat untuk semua kelas sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, sorenya ada ekstrakuliluler Drumband. Hari kamis ada senam pagi sebelum belajar, hari jumat ada imtaq, penguatan karakter dengan membaca Al-Quran sebelum mendengar tausiah dan terahir hari sabtu ada senam dilanjutkan ekstakulikuler Pramuka sore harinya untuk menciptakan kepribadian yang mandiri dan bertanggung jawab.
Dari obrolan yang berlangsung bersama guru-guru di sekolah, kami dapat memetakan anak-anak memiliki waktu kosong sore harinya di hari kamis dan jumat. Dua hari ini bisa dimanfaatkan apabila ingin mengadakan program tambahan bagi anak-anak. Demikianlah para guru menjelaskannya.
Memiliki waktu kegiatan yang padat membuat kami memiliki pertimbangan jika nanti  membuat program di dua waktu yang kosong itu maka membiarkan siswa terlibat secara suka rela tanpa paksaan, sebagai syarat utamanya, dengan begitu program yang ingin diikuti akan dijalani penuh rasa bahagia tanpa tekanan. Â
Memiliki rasa ketertarikan terhadap suatu program akan menjadi modal yang baik untuk Keberlangsungkan program. Anak-anak yang bersepakat mengikuti program juga tidak akan bermalas-malasan apabila menyukainya sejak awal.
Kegiatan Imtaq yang berlangsung di hari jumat pagi membuat saya memperhatikan setiap anak yang saya jumpai. Ada pemandangan yang tak biasa saya lihat di hari itu. Biasanya setiap anak akan membawa Al quran kecil untuk mempersiapkan dirinya membaca surat yasin yang menjadi rangkaian imtaq, setidaknya hal itu juga yang saya lakukan semenjak duduk di bangku sekolah dasar dulu. Â Para anak dari kelas satu sampai kelas enam membawa buah tangan yang isinya adalah makanan ringan yang dikemas di kotak kecil. Satu anak sampai ada yang membawa dua, tiga sampai empat kotak makanan. Selintas saya berpikir sepertinya memang ini bagian dari program yang sudah ada di sekolah ini sejak dulu.
Setelah membaca suratul Yasin dan mendengarkan tausiah, diadakan makan bersama. Kejadian ini cukup menarik saya lihat. Kesadaran anak-anak berbagi makanan setelah melihat beberapa temannya tidak membawa bekal merupakan bentuk solidaritas kecintaan yang nyata antar sesama. Tak cukup sampai disitu anak-anak meletakkannya juga  di bawah tiang bendera dengan kotak yang di atur sedemikian rupa, ketika saya tanya kenapa ditaruh disana dengan polosnya mereka berucap "untuk ibu guru".Â
Saya baru mengerti makanan-makanan yang di letakkan di bawah bendera itu ternyata untuk para guru. Di akhir imtaq, para siswa berlarian memasuki kelas, siswa yang piket merapikan terpal yang menjadi alas duduk sedangkan para guru yang melihat saya memegang kamera meminta untuk difoto bersama di depan kelas sebagai arsip sekolah.Â
Satu dua tiga saya memberi arahan, wajah yang tadinya asik berdialog mendadak diam menyajikan wajah terbaik bersama senyum yang terlihat. Pak Mujitahid yang berdiri di depan ruangnnya dipanggil guru-guru untuk mengikuti sesi foto bersama, tidak mau membuat para guru yang lain kecewa, Pak Mujitahid pun meringankan langkahnya menuju barisan memasang gaya penuh wibawa. Kesekian kalinya wajah-wajah itu memberikan senyum terbaiknya bersama Pak Mujitahid berada di tengah barisan ibu guru yang lain. Satu dua tiga, jadilah foto.
Seusai sesi berfoto saya bertanya kepada salah satu guru,
" Apakah memang setiap hari jum'at para siswa diminta membawa jajan?" Mendengar pertanyaan saya ibu guru menjawab,
" Oo... tidak, anak-anak membawa jajan karena hari ini merupakan Isra Miraj Nabi besar  Muhammad SAW,  memang setiap memperingati Isra Miraj anak-anak selalu membawa jajan untuk merayakannya. Di hari jumat yang akan datang ya, tidak ada berbagi mkanan seperti sekarang".
Obrolan kami selesai, para guru memasuki kantor, sayapun menuju perpustakaan dengan kotak jajan di tangan yang diberikan ibu guru.
Keesokan harinya pada hari sabtu sesuai jadwal yang sudah kami sepakati bersama para guru, akan diadakan presentasi program dari kami selaku tim Kampus mengajar. Presentasi ini nantinya mencoba menjabarkan beberapa program yang kami rancang secara bersama-sama setelah melakukan observasi selama satu minggu di Sekolah. Program ini tidak terlepas dari proses menganalisa, wawancara bersama guru dan menimbang apa yang menjadi kebutuhan sekolah. Menempatkan para guru sebagai tim perancang dalam pembuatan program juga harus dilakukan mengingat kedepan setelah kami pergi besar harapan dapat dilanjutkan oleh para guru.
Sekiranya program yang ingin kami jalankan dirasa kurang baik, pihak sekolah boleh memberikan sarannya, entah mengurangi atau menambah program yang akan kami jalankan. Masukan dan tanggapan para guru itulah yang kami sasar kenapa presentasi ini kami lakukan. Â Para guru yang sudah lama sebagai tenaga pendidik yang mengenal karakter siswa dan lingkungan sekolah pastinya lebih tau dari kami yang baru saja tiba disini.
Selepas bel tanda pulang berbunyi, para guru satu persatu memasuki perpustakaan. Proyektor yang  menyala memproyeksikan rancangan program yang kami buat. Cinta sebagai pembicara yang memaparkan materi bersiap di sebelah kiri layar, dibagian operator yang menggeser setiap powerpoin dipegang Winny si pemilik senyum manis.  Ema yang cukup gesit bergerak, saya memintanya sebagai tim dokumentasi. Rayna yang lebih pendiam dari kami semuanya mempersiapkan kebutuhan diawal sebelum presentasi, sementara saya sendiri sebagai notulensi mencatat setiap masukan dari para guru nantinya.
Dirasa semua guru sudah memasuki ruangan, Cinta mulai membuka presentasinya. Slide program yang bergantian dijabarkannya dengan baik tanpa terbata-bata. Literasi, Pembenahan perpustakaan, kelas bakat, Adaptasi Tehnologi dan administarsi merupakan program-program yang dijabarkan. Menimpali apa yang disampaikan Cinta, sayapun menambahkan beberapa program diantaranya, Mading, Komik, Pembuatan Taman Bahagia, Mural, Dongeng dan yang terakhir Pameran sebagai muara hasil pembelajaran selama program berjalan.
Dari penjabaran yang kemudian berlanjut ke diskusi, kami mendapatkan respon baik dari guru-guru yang hadir. Pak Irawan yang duduk paling belakang memberikan tanggapannya mengenai program literasi yang Cinta paparkan. Menurutnya program literasi memberikan ruang untuk anak-anak belajar membaca dibutuhkan mengingat dari kelas satu, tiga, empat, lima masih ada beberapa siswa yang belum lancar membaca. Diharapkan dengan adanya program ini bisa menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi siswa-siswi tersebut.
Salah satu dari beberapa factor yang menyebabkan masih lemahnya kemampuan membaca siswa adalah kurangnya tenaga pendidik dan kesusahan membagi waktu. Ibu Endah yang mendengarkan paparan dari pak Irawan memberikan pertanyaan prihal waktu pelaksanaannya. Pertanyaan itupun saya kembalikan kepada para guru untuk menyesuaikan jadwal sekolah agar tidak mengganggu kegiatan yang sudah ada, keputusan menjalankan kegiatan inipun jatuh pada hari senin sampai kamis setelah pulang sekolah. Berbeda dengan kelas bahasa Inggris, Musik, Drama di adakan pada hari kamis dan jum'at mengikuti jadawal program yang lain.
Ibu Asti  wali kelas satu menceritakan pengalamannya menangani siswa yang bernama Arfan. Arfan merupakan siswa laki-laki yang berkebutuhan khusus, Kerap kali dalam proses belajar mengajarnya tidak berjalan lancar. Tantangan menciptakan strategi untuk Arfan dituntut lebih ekstra dibandingkan siswa yang lain. Moment pembelajaran dalam kelas, Arfan cenderung mengikuti mood-nya. Selama mengikuti kegiatan belajar bisa dihitung jari ia mengikuti apa yang diintruksikan guru.Â
Pernah satu waktu ia menjadi sangat penurut, apa yang diajarkan ibu Asti dilakukannya tanpa menolak. Beberapa hari kejadian itu berlangsung membuat Ibu Asti merasa Arfan mengalami perubahan yang baik. Sayangnya harapan yang tadinya membuat Ibu Asti merasa bahagia harus kembali mengerutkan dahi melihat sifat Arfan kembali seperti diawal.
Perubahan sifat ini terjadi semenjak Arfan kembali dari libur panjang sekolah selama dua minggu. Tidak mau belajar, kadang BAB di celana, suka memukul temannya. Entah apa yang sebenarnya dirasakan Arfan, seringkali Arfan memukul teman-temannya dan ketika teman-temannya membalas meski dengan pukulan yang pelan membuat Arfan bisa dengan cepat menangis. Terkadang ibu Asti menerka-nerka apa jangan-jangan Arfan tidak memahami rasa sakit yang ditimbulkan saat memukul orang lain. Demikianlah asumsi Ibu Asti.
Arfan siswa istimewa menjadi PR yang selalu mengajak setiap pendidik yang ada SDN 29 Mataram berupaya menciptakan metode baru sampai menemukan pormula yang pas untuk membuatnya menjadi siswa yang menemukan pemahaman pentingnya belajar. Kondisi Arfan sebenarnya tidak hanya menjadi tanggung jawab guru sebagai pengajar. Lingkungan sosial, keluarga juga memiliki peran besar mengarahkan dan membimbingnya. Keluarga lingkup terkecil tempat seorang anak mendapatkan Pendidikan pertama harus senantiasa memberikan rasa nyaman dan mencontohkan yang terbaik.
Kedua aspek ini memiliki pengaruh besar terhadap dampak pertumbuhannya begitu juga dengan lingkungan sosial yang merupakan faktor pendukung setelah keluarga. Dari penuturan Ibu Asti, pihak keluarga sudah mengupayakan yang terbaik untuk Arfan si buah hati. Beberapa kali Arfan dibawanya berobat namun hasilnya tetap saja sama. Berdoa dan berharap hanya itu yang bisa dilakukan sembari menunggu datangnya keajaiban atas Arfan dari Pendidikan yang dijalaninya saat ini di SDN 29 Mataram. Meski disadarinya perubahan itu hampir tidak terlihat, harapannya selalu hidup bersama Arfan yang selalu ceria.
Persoalan mengenai Arfan merupakan pekerjaan panjang yang harus terus diupayakan oleh tenaga pendidik yang ada di SDN 29 Mataram sebagai institusi Pendidikan. Meski lambat dan perubahan yang terjadi tidak konsisten, paling tidak usaha yang dilakukan tetap dijalankan. Mendengar Ibu Asti bercerita membuat saya tidak bisa berekspektasi tinggi saat Ibu Asti mengharapkan saya mengajar Arfan. Bukannya saya pesimis hanya saja saya tidak ingin dilihat sebagai pahlawan yang bisa menyelesaikan semua persoalan. Sementara saya saja datang ke sekolah ini sebagai seseorang yang ingin belajar kepada semua warga sekolah termasuk kepada Ibu Asti.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Siswa siswi yang berlarian menaiki  tangga kelas sekedar bercanda bersma temannya sudah tak nampak rupanya. Diskusi yang sudah cukup lama berjalan kami putuskan diakhiri mengingat sudah tidak ada lagi yang harus didiskusikan.Â
Sebelum para guru kembali ke ruangannya mempersiapkan diri untuk pulang, seperti biasa tidak akan lengkap jikalau tanpa melakukan foto bersama. Di depan proyektor kami berbaris menatap kamera yang dioperasikan Ema sebagai Photographer. Satu, dua, tiga, kamera menangkap realitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H