Ia cuma tersenyum.
Sampai Pondok aku sudah tidak nafsu melanjutkan makanku. Kubiarkan begitu saja. Perutku terasa mual. Obat juga belum kuminum. Obat sebenarnya merupakan sesuatu yang tabu bagiku. Aku tidak pernah minum obat ketika sakit, kecuali jika sangat parah. Kalau sakit ringan obatku cuma tiga: makanan bergizi, tidur, dan olahraga. Dan kurasa aku butuh satu hari untuk membuktikan sakitku parah atau tidak. Dan kata Dokter pun memang begitu, jika besok panas belum sembuh atau makin parah, maka harus diperiksakan ke rumah sakit. Jadi nanti saja kuminumnya, atau mungkin tidak akan kuminum.
Masuk kamar buru-buru kugelar kasur dan berbaring, berusaha tidur.
Sebelum tidur kukabari Ummi agar beliau tahu dan mendoakanku,
Mi, aku lagi sakit. Barusan aku periksa ke klinik. Dokter memprediksiku terkena demam berdarah. Nanti kalau besok belum sembuh aku ijin pulang aja, ya? Kataku lewat sms.
Kok bisa? Terus Pak Kiai dan Bu Nyai sudah tahu?
Tidak tahu. Pak Kiai dan Bu Nyai belum tahu. Nanti kalau aku ijin saja, aku beritahu.
Lekas sembuh ya…
Aamiin...
Baru beberapa menit seusai sms-an, aku langsung tidur pulas. Sekali aku bangun untuk kencing, panasku belum turun, lantas tidur lagi. Dan kedua kalinya aku bangun untuk sholat Isya' panasku sudah hilang meski lidah putih yang membikin makan jadi tidak enak masih utuh setelah kulihat lewat cermin. Aku bersyukur. Alhamdulillah, sudah cukuplah mendingan. Tuhan memang tidak pernah mengingkari janjinya, Allah melipatgandakan balasanku. Panas hilang lebih cepat dari yang kuduga. Rezeki itu tak harus uang, melainkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Kesehatanlah sejelas-jelasnya rezeki itu. Rezeki termahal.
Sholat Isya'ku jadi terasa lebih nikmat dan khusyuk. Habis sholat Isya' kutambahkan sholat Tahajjud, agar esok lebih baik. Walau aku agak tidak enak jika berdoa sangat memohon, merengek-rengek hanya kala aku dirundung duka. Tapi yang penting pamrihku cuma kepada Allah, bukan yang lain.