“Panas, pusing, mual, lemas,” Aku sebutkan semua. “Kepalaku rasanya seperti ada yang mencet-mencet.” Tambahku.
“Tidak Batuk pilek?”
“Tidak,”
“Sejak kapan sakitnya?”
“Tadi siang, habis pulang kuliah badan mulai panas,” jawabku sekenanya.
“Silahkan tiduran di sana, Mas. Saya periksa dulu.”
Aku tiduran di kasur yang sebelumnya aku menimbang berat badan. Dokter mengeluarkan stetoskopnya, memasangnya di telinga seperti headset, lalu meraba-raba ke dalam bajuku, memeriksa. Setelah itu giliran memeriksa tekanan darah. Selesai, kami kembali ke posisi saling berhadap-hadapan.
Dokter memperbaiki posisi duduknya. Berdehem, ancang-ancang menjawab, “Ini baru sehari ya, tapi panasnya sudah seperti ini,” Dokter hening sejenak, “Sekarang ini sedang musim hujan, nyamuk-nyamuk makin berkeliaran dan cuaca melemahkan daya tahan tubuh. Artinya apa? Ini gejalanya mirip demam berdarah. Besok kalau panasmu belum turun tolong diperiksakan ke rumah sakit, untuk dicek darah,” aku mengangguk. Dugaanku sama, tapi ini buruk. “nanti saya kasih surat rujukan.” Dokter mengambil kertas dan bolpen, “Ini saya buatkan resep dulu,” katanya sambil mencoret-coret. Dugaanku dengan dugaan Dokter sama, namun bukan berarti dapat disimpulkan ‘betul’. Hanya waktu yang bisa membuktikan.
Aku keluar, Mas Andi langsung mengampiriku, penasaran bertanya, “Bagaimana?”
“Menurut prediksi Dokter aku terkena demam berdarah. Besok kalau panasnya belum turun, disuruh periksa ke rumah sakit.”
“Besok kalau mau periksa, aku antarin lagi tidak apa-apa kok.” ujarnya.