“Sehari sembuh ndak, Mas?” Pikiranku sedang tidak karuan. Pertanyaan asal aku lontarkan.
“Sehari-dua hari minum obat paling sembuh. Jangan khawatir.” Mas Andi tersenyum, mencoba menghibur.
“Besok aku ada LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) di kampus. Ada presensinya. Wajib. Malahan kalau sudah selesai ada sertifikatnya. Sertifikatnya nanti dipakai buat persyaratan tugas akhir. Kalau tidak ikut berarti tahun depan harus ikut.”
“Ya, yang penting sehat dulu. Biar badan enak buat ngapa-ngapain. Kesehatan diutamakan.”
Aku manggut, menghela napas.
“Besok kalau aku sudah mendingan, pinjam motornya, Mas, buat ke kampus. Kalau bisa besok aku berangkat. Bisa ndak?”
“Bisa-bisa,” Mas Andi mengangguk.
Akhirnya aku dipanggil dokter, aku masuk ke ruangan sendiri dan Mas Andi tetap di kursinya menungguku.
“Silahkan duduk, Mas.” Kata Dokter atau lebih tepatnya Pak Dokter, karena laki-laki. Ia berdiri tersenyum, tangannya dokter mempersilahkanku.
Aku duduk dan Dokter duduk. Kami saling berhadapan.
“Sakit apa, Mas? Eh, yang dirasain apa saja?” tanya Dokter.