Mohon tunggu...
Muhammad yusufmaimun
Muhammad yusufmaimun Mohon Tunggu... Mahasiswa - jangan lupa menulis karena menulis itu menyenangkan

jika kalian tidak merasakan pahitnya mencari ilmu, maka kalian akan merasakan kebodohan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Thaharah dan Tata Cara Menyucikannya

5 April 2021   14:54 Diperbarui: 5 April 2021   15:02 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

                                                                                                                 Muhammad Yusuf Maimun(065)

                                                                                                       Program Studi Pendidikan Agama Islam

                                                                                                            Universitas Muhammadiyah Malang

 

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Allah itu bersih dan suci, maka jika seseorang hendak beribadah menghadap sang khalik harus bersuci terlebih dahulu dari hadats kecil dan hadats besar. Dalam hukum islam, bersuci termasuk bagian dari ilmu dan amalan yang penting. Para ulama juga berpendapat bahwa thaharah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ibadah. Karena thaharah termasuk salah satu syarat pokok sahnya ibadah dan thaharah juga bisa menentukan sah atau tidaknya seseorang dalam beribadah.

Keberadaan tharaharah ini dapat mempengaruhi kualitas ibadah seorang hamba. Sebab thaharah mendidik manusia untuk senantiasa menjaga kebersihan dalam keseharian dalam bentuk lahiriyah maupun batiniyah. Ibadah seseorang dianggap baik secara kualitas apabila ia beribadah dalam keadaan bersih baik secara lahir maupun batin. Pada hakikatnya tujuan thaharah (bersuci) adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.

Namun kebanyakan umat muslim hanya sekedar tahu saja tanpa mau mempelajarinya lebih dalam dan bagamaina cara mempraktikannya dengan benar. Kebanyakan umat muslim hanya tahu saja bahwa bersuci itu sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci lainnya sesuai syariat Islam. Maka dari itu, pemakalah ingin membas tentang apa dan hukum thaharah dalam islam, najis dan hadats serta cara membersihkannya, tata cara wudhu', gushul dan tayammum, mengusap sepatu dan perban, lalu yang terakhir adalah hukum haid dan nifas.

PEMBAHASAN

Menurut bahasa thaharah berarti bersih / suci. Sedangkan menurut istilah fuqaha (ahli fiqh) thaharah adalah membersihkan hadast atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadast ini berlaku bagi manusia, dimana jika seseorang terkena hadas ini dilarang untuk melakukan sholat dan untuk menyucikannya wajib melakukan wudhu, mandi, atau dengan tayamum. 

Islam menempatkan thaharah ini sebagai hal yang sangat penting dan tidak boleh dianggap remeh. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

  • Yang pertama thaharah menjadi syarat sahnya ibadah-ibadah tertentu seperti ibadah sholat. Artinya, jika sholat tidak dibangun atas dasar thaharah, bersih dari hadast dan najis, maka sholat dianggap tidak sah.

Nabi SAW bersabda :

: : -

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu berkata: Rasulullah Shalallahun 'Alaihi Wasallam bersabda : "Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila berhadats sehingga dia berwudhu" (HR Bukhari dan Muslim)

Yang kedua, alasan lain mengapa thaharah itu sangat penting karena thaharah terkait langsung dengan masalah kebersihan.

Allah berfirman :

 

Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Nabi SAW bersabda :

Artinya : kebersihan sebagian dari iman

Hukum Thaharah 

Hukum thaharah adalah wajib baik itu laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini banyak ayat Al qur`an dan hadist Nabi Muhammad saw, menganjurkan agar kita senantiasa menjaga kebersihan lahir dan batin.

Firman Allah Swt :

()

                          Artinya: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang suci lagi bersih". (QS Al Baqarh:222)

Selain ayat al qur`an tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda.

( )

Artinya : "Kebersihan itu adalah sebagian dari iman."(HR.Muslim)

  • Najis dan Hadast Serta Cara Mensucikannya
  • Pengertian hadast dan najis
  • Hadas adalah kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seorang Muslim, menyebabakan terhalangnya orang tersebut untuk melakukan sholat atau tawaf. Hadas merupakan perkara maknawi yang ada di dalam jasad dan tidak dapat dilihat oleh panca indra. Najis adalah suatu benda yang kotor yang mencegah sahnya mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci. Jadi, hadas merujuk pada keadaan diri seseorang. Berbeda dengan hadas, najis merupakan perkara yang bisa dilihat. Sedangkan thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti suci. Thaharah bisa juga diartikan dengan membersihkan atau mensucikan. Thaharah bermakna bersih dan suci dari berbagai kotoran. Dalam hal ini, segala usaha untuk menghilangkan kotoran bisa termasuk thaharah. Sedangkan menurut istilah, thaharah ialah menghilangkan hadas dengan cara menghilangkan sifat yang menempel di badan yang dapat menghalangi sahnya shalat dan lain sebagainya. Dengan ungkapan lain, membersihkan najis dari badan, pakaian, atau tempat.
  • Macam-macam najis dan cara membersihkannya :
  • Najis mukhafaffah (ringan): yaitu air kencing dari bayi laki-laki yang berumur sekitar 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara untuk menyucikannya cukup dengan memercikan air di atas benda yang terkena najis meskipun airnya tidak sampai mengalir.
  • Najis mutawassitah (sedang):  yaitu segala kotoran yang keluar dari dua lubang, yaitu lubang kubuk dan lubang dubur manusia maupun binatang. Najis mutawassitah di bagi mejadi dua:
  • Najis hukmiyah yaitu najis yang kita yakini ada, tetapi tidak Nampak terlihat baik zat maupun sifatnya, misalnya air kencing yang sudah kering, sehingga sifatnya telah hilang. Cara mensucikannya cukup mengalir kan air di atas benda yang terkena najis itu.
  • Najis 'ainiyah yaitu najis yang masih ada zat dan sifatnya (warna, rasa, baunya), cara mencucinya dihilangkan kemudian dibasuh samai zat, rasa, warna dan baunya hilang.
  • Najis mugallazah (berat): yaitu najis yang apabila seseorang bersentuhan dengan babi atau terkena air liur anjing baik itu disengaja maupun tidak di sengaja. cara menyucikannya: barang yang terkena najis binatang tersebut dibasuh tujuh kali dan salah satu di antaranya dengan air yang tercampur tanah (debu).
  • Macam-macam hadast dan cara membersihkannya
  • Hadas Kecil, adalah keadaan tidak suci seseorang karena Mengeluarkan sesuatu dari dubur dan atau kubul. Hal tersebut dapat berupa: Air kencing, tinja atau Kentut. Cara untuk menyucikan diri dari hadas tersebut dengan cara berwudhu atau tayamum.
  • Hadas Besar, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang harus melakukan mandi wajib yang dimana itu adalah syarat untuk menyucikan hadast besar, hadast besar dapat menyebabkan seseorang terhalangi untuk melakukan amalan yang mana bersuci adalah sebagai salah satu syarat amalan tersebut. Contohnya yakni haid, mengeluarkan mani, nifas, dan terjadinya hubungan badan.
  • Najis yang dimaafkan dan najis yang tidak dimaafkan
  • Najis yang tidak dimaafkan baik ketika mengenai pakaian maupun ketika mengenai air. Termasuk najis dalam kategori ini adalah umumnya barang-barang najis yang dikenal secara umum oleh masyarakat. Seperti air kencing, kotoran manusia dan binatang, darah, bangkai dan lain sebagainya. Apabila najis-najis ini mengenai pakaian atau air maka tidak dimaafkan. Pakaiannya menjadi najis dan harus disucikan sebagaimana mestinya. Airnya juga menjadi air najis yang tidak dapat lagi digunakan untuk bersuci atau keperluan lain yang membutuhkan air suci.
  • Najis yang dimaafkan baik ketika mengenai air maupun ketika mengenai pakaian. Yang masuk dalam kategori ini adalah najis yang sangat kecil sehingga tidak terlihat oleh mata yang normal. Sebagai contoh adalah ketika seseorang buang air kencing dengan tanpa benar-benar melepas pakaiannya bisa jadi ada cipratan dari air kencingnya yang sangat kecil dan tidak terlihat mata mengenai celana atau pakaian lain yang dikenakan. Bila pakaian ini digunakan untuk shalat maka shalatnya dianggap sah karena najis yang mengenai pakaiannya masuk pada kategori najis yang dimaafkan.
  • Najis yang dimaafkan ketika mengenai pakaian namun tidak dimaafkan ketika mengenai air. Barang najis yang masuk dalam kategori ini adalah darah dalam jumlah yang sedikit. Darah yang sedikit volumenya bila mengenai pakaian maka dimaafkan najisnya. Bila pakaian itu dipakai untuk shalat maka shalatnya masih dianggap sah. Sebaliknya bila darah ini mengenai air tidak bisa dimaafkan najisnya meski volumenya hanya sedikit. Air yang terkena darah ini bila volumenya kurang dari dua qullah dihukumi najis meski tidak ada sifat yang berubah, sedangkan bila volumenya memenuhi dua qullah atau lebih maka dihukumi najis bila ada sifatnya yang berubah. Dengan demikian air yang menjadi najis karena terkena darah yang sedikit ini tidak bisa digunakan untuk bersuci atau keperluan lain yang memerlukan air yang suci.
  • Najis yang dimaafkan ketika mengenai air namun tidak dimaafkan ketika mengenai pakaian. Yang termasuk dalam kategori ini adalah bangkai binatang yang tidak memiliki darah pada saat hidupnya. Seperti nyamuk, kecoak, semut, kutu rambut dan lain sebagainya. Bangkai binatang-binatang ini bila mengenai air dimaafkan najisnya. Namun bila mengenai pakaian maka tidak dimaafkan najisnya.

Jadi perbedaan antara hadas dan najis dapat disimpulkan:

  • Hadas adalah kondisi yang menyebabkan seseorang tidak suci dan dapat membatalkan wudhu dan shalat contohnya: kentut, kencing dll. Sedangkan Najis adalah sesuatu yang tampak (kotoran) yang dapat membatalkan sahnya shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu contohnya: air liur anjing.
  • Menyucikan Najis yakni dengan cara membuang dan membersihkan benda najis itu dari tempatnya. sedangkan menyucikan Hadas selain dengan menghilangkan benda Najisnya (bila ada), tetapi juga harus dengan wudlu atau mandi janabah (mandi besar).
  • Menyucikan najis tidak perlu niat, sedangkan mensucikan Hadas harus dengan niat.
  • Najis yang jumlahnya sedikit dapat dimaafkan, sedangkan hadas tidak ada pemaafan.
  • Tata Cara Wudhu', Gushul  dan Tayammum
  • Wudlu
  • Wudhu artinya menghilangkan hadats kecil, dengan membasuh beberapa anggota tubuh tertentu dengan niat. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah : 6: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,.." Ayat diatas memerintahkan kepada orang yang beriman jika hendak mendirikan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnat dalam keadaan hadats kecil, maka wajib berwudhu terlebih dahulu dengan cara:
  • Membasuh muka
  • Membasuh dua tangan sampai dengan dua sikunya
  • Menyapu atau mengusap kepala
  • Membasuh dua kaki dengan dua mata-kakinya.

Empat point diatas adalah rukun wudhu yang ditetapkan Al Qur'an, kemudian berdasarkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih, harus ada niat, yakni sengaja melakukan wudhu dalam hati karena Allah, dan tertib, yakni berurutan sebagaimana yang diurut oleh Allah dalam firman-Nya diatas. Dengan demikian dalam berwudhu, membasuh kaki tidak boleh di dahulukan daripada muka meskipun faktanya kaki lebih kotor daripada muka. Adapun tata cara wudhu berdasarkan praktek Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

Menghadap kiblat

Menutup aurat berat

Membaca Basmallah

Mencuci telapak tangan dan menyela-nyela jemarinya

Siwak (gosok gigi)

Berkumur-kumur

Istinsyaq (memasukan air ke hidung)

Istinsar (mengeluarkan air dari hidung)

Berniat dalam hati ketika mulai membasuh muka

Membasuh muka tiga kali

Membasuh dua tangan dengan dua sikunya tiga kali

Mengusap seluruh kepala atau sebagiannya

Membasuh dua daun telinga dalam dan luar, baik dengan basuhan baru atau bekas usapan kepala

Membasuh dua kaki dengan dua mata kakinya tiga kali

Mendahulukan yang kanan dari yang kiri

Melebihkan basuhan

Tertib (berurutan membasuh anggota tersebut)

Berdo'a dengan do'a yang diajarkan Rasulullah "Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, Maha Esa Dia dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan Rasul-Nya". Sabda Nabi SAW, "Tidak ada seorang diantara kamu yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya (sempurna dengan melakukan sunnat-sunnatnya) lalu membaca (syahadat diatas), kecuali dibukakan untuknya pintu surga yang 8, yang dapat dia masuki dari pintu mana saja ia mau". (HR. Muslim)

Shalat dua rakaat Para ulama fiqh merumuskan dari semua uraian diatas ada yang dikategorikan rukun, artinya harus ada dan menjadi tidak sah wudhu seseorang

        Apabila ditinggalkannya tanpa udzur, dipahami dari perbuatan Rasulullah SAW yang setiap wudhu tidak pernah meninggalkannya, sedangkan yang selainnya dihukumkan sunnat, karena dalam prakteknya Rasulullah kadang meningglkannya. Sayyid Sabiq merumuskan rukun wudhu ada 6, yakni:

Niat dalam hati menunaikan wudhu.

Membasuh wajah (muka), yakni mulai dari tempat tumbuh rambut (asal) sampai dagu dan lebarnya dari anak daun telinga kiri sampai ke anak daun telinga kanan.

Membasuh dua tangan samapai dengan dua sikunya.

Menyapu atau mengusap kepala, dengan telapak tangan yang basah.

Membasuh dua kaki dengan dua mata kakinya.

Tertib, yakni berurutan.

            Meskipun yang diterapkan ulama fiqh rukun wudhu hanya 6 diatas, tapi dari Nabi SAW sendiri tidak pernah menetapkan yang ini wajib dan laiinya sunnat, oleh karena itu menunaikan wudhu sesuai dengan apa yang diperagakan Rasulullah SAW pasti lebih utama, dan mengandung nilai kepatuhan yang sangat tinggi, sehingga pasti pahalanyapun sangat besar. Namun, jika pelaksanaan wudhu secara sempurna akan mengganggu kepentingan orang banyak, maka meringkas sebatas yang rukunnya saja adalah lebih utama. Ada beberapa perkara atau hal yang dapat membatalkan wudhu, diantaranya adalah:

Keluar sesuatu dari dua pintu (qubul dan dubur) atau salah satu dari keduanya baik berupa kotoran, air kencing , angin, air mani atau yang lainnya.

Hilangnya akal (kesadaran),seperti tidur lelap, gila, ayan, pingsan ataupun mabuk.

Menyentuh qubul (pintu depan) atau dubur (pintu belakang) tanpa pengahalang.

            Adapun bersentuh kulit laki-laki dan perempuan, keluar darah dari luka badan, muntah memakan sate unta, tidak cukup dalil untuk menetapkan termasuk batal wudhu. Wudhu untuk Ibadah Lain Ada tiga ibadah mahdhah yang disyaratkan wudhu bagi yang berhadats kecil, yakni:

Shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnat, atau shalat jenazah.

Thawaf, yakni mengelilingi ka'bah 7 putaran, baik thawaf wajib maupun thawaf sunnat.

Menyentuh mushhaf, yakni menyentuh atau memegang mushhaf AlQur'an

Sementara wudhu juga dianjurkan (sunnat) berdassarkan haditshadits shahih, untuk amal-amal berikut ini:

Dzikir kepada Allah

Hendak tidur

Junub, yakni orang yang sedang hadats besar, seperti selesai hubungan suami istri.

Sebelum mandi junub

Sesudah memakan makanan yang dibakat seperti sate

Untuk memperbarui wudhu bagi setiap shalat

Ghusul (mandi wajib)

             Ghusul adalah menghilangkan hadats besar dengan meratakan air keseluruh tubuh dengan niat. Firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Al-Maidah :6 yang bunyinya:"...dan jika keadaan kamu junub maka hendaklah berthaharah (bersuci dengan mandi)..."

            Junub secara bahasa artinya jauh, yakni suatu keadaan manusia tidak diperkenankan mengadakan pendekatan khusus kepada Allah; keadaan ini disebut hadats besar. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih dapat dirinci 5 hal, yakni:

Keluar mani dengan syahwat, baik dalam keadaan tidur (mimpi) atau dalam keadaan terjaga.

Bertemunya dua khitan

Berhenti dari haid atau nifas

Mati

Orang kafir yang masuk islam

            Adapun tata cara mandi dalam praktek Nabi Muhammad saw adalah sebagai berikut:

Membasuh dua telapak tangan tiga kali

Membasuh (membersihkan) kemaluan dengan tanagn kiri

Wudhu dengan sempurna

Menyele-nyele rambut dengan air tiga kali, sehingga basah sampai kepangkal rambutnya

Meratakan air keseluruh tubuh dengan mendahulukan bagian kanan bersama niat di dalam hati

Menggosok-gosok basuhan

Menyela-nyela lipatan tubuh Dari keseluruhan urutan diatas yang disepakati sebagai rukun mandi hanyalah niat dan meratakan air keseluruh tubuh.

Wajib dan sunnat mandi Bagi yang berhadats besar wajib mandi terlebih dahulu sebelum melaksanakan ibadah berikut:

Shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnat

Thawaf, baik thawaf wajib maupun thawaf sunnat

Menyentuh dan membaca mushaf Al-Qur'an

I'tikaf di masjid

Puasa, baik wajib maupun sunnat

Hubungan suami istri

            Berdasarkan QS. Al-Baqarah :222 Adapun mandi sunnat, berdasarkan hadits-hadits yang shahih dianjurkan untuk hal-hal berikut ini:

Hari Jum'at, bagi yang hendak menunaikan shalat jum'at

Pada dua haru raya, yakni Iedul Fitri dan Iedul Adha

Sesudah memandikan jenazah

Ketika hendak ihram dari miqat

Ketika akan memasuki kota Makkah

Ketika hendak wuquf di Arafah

Tayammum

            Secara bahasa tayammum artinya sengaja melaksanakan sesuatu, sedangkan menurut syara'; sengaja menyapukan sha'ied ke muka dan dua tangan dengan niat mendapatkan kebolehan shalat atau ibadah lainnya, yang disyaratkan thaharah. Tayammum adalah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Tayammum dilakukan sebagai pengganti wudhu jika seseoarang yang akan melaksanakan shalat tidak menemukan air untuk berwudhu. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah SWT: "..dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu... " (QS. Al-Maidah: 6) Dari ayat diatas dapat dipahami sebab tayammum ada dua; yakni sakit dan dalam perjalanan apabila tidak terdapat air untuk bersuci, dengan kata lain apabila tidak ada air.

Secara tekstual ayat, sakit yang membolehkan tayammum adalah mutlak, baik parah maupun ringan, namun seperti yang disyaratkan hadis dari ibnu Abbas ra yang diriwayatkan al- Jama'ah, yang dimaksud adalah sakit yang bahaya apabila terkena air, atas dasar ini, para ulama fiqh memberi sifat sakit sebagai berikut:

Sakit yang menurut dokter akan membahayakan kalau terkena air

Sakit yanga apabila terkena air akan memperparah sakitnya

Sakit yang apabila terkena air akan memperlambat proses kesembuhannya

Sakit yang terdapat pada anggota tubuh yang harus dibasuh lebih luas, apabila sakit (luka) yang terdapat pada anggota tubuh yang dibasuh lebih kecil, maka dapat dilakukan dengan wudhu pada bagian yang sehat sedang yang lainnya diusap.

            Adapun safar (bepergian) dimasukkan hal yang membolehkan tayammum, sesungguhnya bukan safarnya tapi 'tidak ada air' nya yang membolehkan bertayammum, artinya meskipun tidak sedang bepergian kalau tidak ada air maka boleh bertayammum. Adapun tata cara tayammum sebagai berikut:

Menepukan dua telapak tangan ke sha'ied

Menyapukan dua telapak tangan tadi ke muka sambil berniat tayammum

Menepukan lagi dua telapak tangan ke sha'ied yang bukan bekas tempat menepukan yang pertama

Menyapukan kedua tanagan, samapai ke siku atau cukup samapai ke pergelangan saja. Keduanya berdasarkan hadits yang shahih.

Adapun batal tayammum adalah:

Segala yang membatalkan wudhu

Segala yang membatalkan mandi

Hilangnya sebab yang membolehkan tayammum.

     D. Mengusap Sepatu dan Perban

Dalam beberapa dalil disebutkan pensyariatan mengusap kedua sepatu, karena mengusapnya sudah menggantikan pembasuhannya. Ini merupakan cara thaharah sesuai syari'at yang disepakati para ulama Muslimin, karena banyak nash syar'iyah yang shahih dan juga mutawatir lagi jelas. Penyimpangan sebagian golongan yang menolak pensyari'atan mengusap dua sepatu tidak usah dilihat, begitu pula terhadap hadits-haditsnya untuk menyanggah sekian banyak nash shahih yang jelas dan mutawatir.

Mengusap sepatu termasuk rukhsah yang disukai Allah jika dilaksanakan dan termasuk kemudahan syari'at yang luwes ini. Artinya: "Dari Al-Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, 'Aku bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan jauh. Aku menjulurkan tangan untuk melepas dua sepatu beliau. Namun beliau bersabda, 'Biarkan saja, karena ketika aku memasukkan dua sepatu ini kedua kakiku dalam keadaan suci'. Lalu beliau mengusap di atas dua sepatu itu".

Al-Mughirah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanan jauh yang beliau lakukan. Ketika beliau mengambil wudhu' dengan membasuh muka, kedua tangan dan mengusap kepala, maka Al-Mughirah menjulurkan tangan ke arah sepatu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia hendak melepasnya agar kedua kaki beliau dapat dibasuh. Namun beliau mencegahnya dan bersabda. "Biarkan saja.." lalu beliau hanya mengusap kedua sepatu itu sebagai ganti dari membasuh dua kaki.

Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama

Golongan Syi'ah melakukan penyimpangan karena menolak mengusap sepatu. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Malik dan sebagian shahabat. Tapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, riwayat tentang penolakan mereka ini lemah. Riwayat yang kuat dari Malik ialah penysari'atan mengusap sepatu, begitu pula yang dilakukan para shahabat sepeninggal beliau dan pendapat mereka yang memperbolehkannya.

Adapun golongan Syi'ah menyalahi ijma', karena mereka berpegang kepda qira'ah jarr dari lafaz 'wa arjulikum', sehingga menurut pendapat mereka, lafazh ayat ini menghapus semua hadits yang menjelaskan mengusap sepatu. Semua umat memperbolehkan mengusap sepatu dan meyakininya, karena berhujjah kepada As-Sunnah yang mutawatir.

Taruhlah qira'ah itu dipakai, maka itu merupakan bentuk 'majrur' untuk penyerta atau untuk membatasi, yaitu untuk mengusap sepatu saja. Rekan-rekan Abdullah bin Mas'ud, sehingga ayat ini justru menyanggah pendapat orang yang menolak mengusap sepatu, hanya karena berdasarkan kepada qira'ah 'jarr' pada lafazh 'arjuliku'. Ibnu Daqiq Al-Id berkata, 'Pembolehan mengusap sepatu sudah masyhur hingga menjadi syi'ar Ahlus Sunnah. Maka mengingkarinya merupakan syi'ar ahli bid'ah.

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa:

  • Pensyari'atan mengusap sepatu ketika wudhu', yang dilakukan dengan sekali usapan dengan tangan, hanya di bagian atas sepatu dan tidak bagian bawahnya, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai atsar.
  • Disyari'atkan thaharah ketika mengusap sepatu. Artinya, kedua kaki harus dalam keadaan suci sebelum dipasangi sepatu.
  • Dianjurkan membantu ulama dan orang-orang yang terpandang.
  • Disebutkan dalam sebagian riwayat hadits ini, bahwa hal itu terjadi saat Perang Tabuk ketika beliau hendak shalat shubuh. "Artinya : Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, 'Aku bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan jauh. Beliau buang air kecil dan wudhu serta mengusap kedua sepatunya".

Dalam hadits lain disebutkan, Hudzaifah menuturkan bahwa dia bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanan jauh. Beliau buang air kecil, lalu wudhu' dan mengusap sepatunya. Makna dari hadits ini adalah :

  • Pensyariatan mengusap sepatu dalam perjalanan. Masa berlakunya usapan pada sepatu selama tiga hari tiga malam, dan masa berlakunya usapan pada sepatu saat muqim selama sehari semalam atau selama dua puluh empat jam, yang permulaannya dihitung sejak saat mengusap dalam perjalanan atau ketika muqim. Begitulah menurut pendapat yang lebih kuat.
  • Mengusap sepatu setelah wudhu' karena buang air kecil. Ada riwayat tentang mengusap sepatu dan sorban (kerudung kepala) dari segala hadats kecil, yang disebutkan di berbagai hadits. Adapun untuk hadats besar seperti junub harus mandi dan tidak cukup hanya dengan mengusap sepatu atau sorban.

Adapun untuk pembalut luka atau perban cukup diusap dari dua hadats, kecil maupun besar. Bahkan jika mengusap pemabalut itu dapat membahayakan, tidak perlu dilakukan dan dapat dilakukan tayamum. Tapi anggota tubuh lain yang sehat harus dibasuh air.

  • E. Hukum Haid dan Nifas

Pembahasan soal darah pada wanita yaitu haid, nifas, dan istihadhah adalah pembahasan yang paling sering dipertanyakan oleh kaum wanita. Dan pembahasan ini juga merupakan salah satu bahasan yang tersulit dalam masalah fiqih, sehingga banyak yang keliru dalam memahaminya. Bahkan meski pembahasannya telah berulang-ulang kali disampaikan, masih banyak wanita Muslimah yang belum memahami kaidah dan perbedaan dari ketiga darah ini. Mungkin ini dikarenakan darah tersebut keluar dari jalur yang sama namun pada setiap wanita tentulah keadaannya tidak selalu sama, dan berbeda pula hukum dan penanganannya.

HAID

Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.

Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.

Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-Qur'an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Allah Ta'ala berfirman:

     

"Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, "Dia itu adalah suatu kotoran (najis)". Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian." (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

"Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)

Batasan Haid :

  • Menurut Ulama Syafi'iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
  • Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu' Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :

Firman Allah Ta'ala.

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci..." [QS. Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar'i dari Al-Qur'an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah."

Berhentinya haid :

Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.

Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu 'anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :

"Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih." (Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).

NIFAS

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.

Batasan nifas : 

Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.

  • Ulama Syafi'iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari.
  • Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu 'anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, "Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam." (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a'lam.
  • Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.

Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur'an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.

PENUTUP

              Kesimpulan Ibadah adalah tugas dan kewajiban hidup manusia, sebagai perwujudan status dirinya sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Hakikat ibadah adalah menyadari diri hina dihadapan Allah yang Maha Mulia dan hanya Dia-lah yang patut diibadati. Sehingga diperlukan penyesuaian diri dari yang mendekati kepada yang didekati. Allah Maha Suci maka manusia yang akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya, wajib bersuci terlebih dahulu. Dimana menghilangkan sesuatu yang dianggap kotor baik kotor bendawi atau materi, kotor peristiwa atau kejadian, maupun kotor rohani. Wudhu, hadats besar dan mandi, serta tayammum adalah suatu bentuk pensucian diri sebelum melaksanakan ibadah, khususnya ibadah mahdah. Dimana dasar hukumnya terangkum dalam QS. Al-Maidah: 6. Berdasarkan yang telah dibahas sebelumnya, maka jelas sudah itu termasuk kedalam mensucikan diri dari kotor peristiwa atau kejadian. Namun, tujuan utamanya adalah menghindari dari kotor rohani itu sendiri. Ketentuan syariat diatas, dimana jika hamba hendak melakukan shalat, dalam keadaan hadats kecil hendaklah wudhu. Jika hadats besar hendaklah mandi terlebih dahulu, dan jika keduanya tidak dapat dilakukan hendaklah ber-thaharah dengan tayammum sebagai penggantinya. Ini semua tidak dimaksudkan Allah untuk mempersulit hamba-Nya, melainkan agar hamba-Nya dapat bersuci dan melaksanakan kewajiban untuk kemanfaatan hamba itu sendiri, dan agar Allah menyempurnakan nikmat-Nya untuk hamba yang mematuhinya, sehingga pada akhirnya hamba bersyukur. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. Fiqh Lima Mahzab. Jakarta: Lentera

Abdullah, Ibnu. 2018. fiqh Thaharah : Pustaka media

Al-jazaairy, Syaikh Abu bakar jabar, 2015. Minhajul Muslim, Jakarta : Pustaka Al- Kautsar

http://kumpulanmakalah-mey.blogspot.com/2015/03/makalah-tentang-thaharah.html

Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h.17

Adil Sa'di, Fiqhun Nisa, Thaharah-Shalat, (Jakarta: Hikmah, 2008), h.3

Website NU

Kumparan

Abdullah bin Abdurrahman, Taisirul-Allam Syarh-Umdatul-Ahkam, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 1988).

Almanhaj

Fiqhus Sunnah lin Nisaa' -- Kamal bin As-Sayyid Salim

Fatawa Al-Mar'ah Muslimah

Majmu' Fatawa Arkanil Islam -- Syaikh Ibnu Utsaimin

Ahkamuth Thaharah 'inda An-Nisaa' 'ala Madzhab Imam Asy-Syafi'i -- Munir bin Husain

Shiddieq, Umay M. Dja'far. 2005. Syariah ibadah, pengamalan rukun islam dari Al- Qur'an dan As-Sunnah. Jakarta: Al-Ghuraba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun