Itulah mengapa penderitaan punya daya magnetis tersendiri bagi saya. Ketika tidak ada sesuatu pun yang membuat saya menderita, saya menciptakannya dengan sengaja. Bukan untuk menyengsarakan diri, melainkan untuk menikmati keseimbangan hidup ini.
Dan saya pikir semua orang melakukan itu. Secara tidak sadar, semua orang mencari penderitaannya masing-masing pada jalan yang beragam.
Lihat bagaimana orang-orang tertentu begitu antusias menonton film horor, tetapi ketika bagian hantunya menampakkan diri, mereka malah menutup matanya. Bukankah mereka membayar untuk menyaksikan hal semacam itu?
Atau bagaimana dengan orang-orang yang naik wahana roller coaster sembari menutup matanya sepanjang permainan? Tapi toh mereka memang membayar untuk hal itu. Mereka menderita dengan sengaja dan mereka (setidaknya ingin) menikmatinya.
Mengapa ada dorongan semacam itu? Karena mereka menganggapnya mengasyikkan!
Saya pikir, penderitaan akan selalu mengasyikkan andaikan kita mampu menemukan nilai yang tersembunyi di dalamnya.Â
Jika memang pada mulanya kita tidak mampu, setidaknya kita selalu tahu bahwa di titik manapun nantinya, nilai berharga tersebut akan muncul.
Intinya adalah penderitaan yang dimaknai, penderitaan yang dipelajari, penderitaan yang diberi nilai. Dengan begitu, penderitaan akan selalu terasa mengasyikkan bagi kita!Â
Ingat bahwa penyesalan hanyalah penderitaan yang belum kita temukan makna di baliknya. Toh kebahagiaan pun tidak berarti apa-apa dan begitu singkat jika tidak dimaknai secara sungguh-sungguh.
Dalam kata-kata Jalaluddin Rumi, "Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu."
Kembali pada kecenderungan orang-orang sukses dalam mengangkat penderitaannya pada dunia; mengapa mereka lebih suka membanggakan penderitaannya di masa lalu? Apakah mereka sama bangganya dengan penderitaan yang ada di depan mereka?