Nilai penderitaan tidak pernah tampak ke permukaan secara pasti dan jelas. Itulah mengapa orang-orang membenci penderitaan, sebab padanyalah mereka terjebak pada kesakitan yang mungkin tidak akan terbayarkan oleh kemuliaan yang sepadan.
Tetapi penderitaan selalu mengandung kemuliaan itu. Sungguh! Besar atau tidaknya, bergantung pada diri kita sendiri sebagai "pemburu" kemuliaan tersebut.Â
Kebanyakan orang menyia-nyiakan penderitaan mereka karena memandangnya sebagai penyakit jiwa atau kejahatan yang berasal dari luar dunia sehingga membuat kehidupan begitu kacau.
Alhasil mereka menutup matanya dari kemungkinan adanya cahaya yang tidak pernah mereka duga. Dan salah satu cara (terbaik) yang saya tahu untuk tetap "membuka mata" dalam penderitaan, adalah dengan menganggapnya sebagai keasyikan yang begitu langka.
Kita hanya akan antusias terhadap sesuatu yang indah, menyenangkan, dan mengasyikkan. Jika kita menggeser pandangan kita terhadap penderitaan sebagai sesuatu yang mengasyikkan, kita akan cukup antusias terhadapnya.
Tetapi bayang-bayang ambiguitas menyelimuti keyakinan tersebut, sebab bagaimana kita dapat benar-benar merasa antusias terhadap penderitaan dan bukannya memaksakan diri untuk menganggapnya mengasyikkan?
Sejenak, saya menarik perhatian saya dari dunia yang amat sibuk ini ke dalam diri sendiri yang padanyalah saya menemukan selimut yang amat menghangatkan. Pertanyaan-pertanyaan mengalir ke dalam pikiran, begitu pun pikiran yang secara bebas mengembara.
Dan saya menyadari bahwa, dalam banyak momen yang nyaris tidak pernah saya kendalikan, saya sengaja menghampiri penderitaan. Ini aneh dan memilukan, sebab dalam label "penderitaan" yang terkesan mengerikan, saya sangat menikmati keseluruhannya.
Ada momen ketika saya sengaja memikirkan hal-hal yang menyakitkan hanya untuk bisa menangis dengan lepas. Terkadang saya mengabaikan apa yang ada di sekitar saya dan mencari-cari apa yang menjadi celah dari diri saya.
Bintang berkelip dan saya dapat merasakan betapa kecilnya saya di dunia ini. Bulan tertutup awan dan saya merasa sedih karena tidak bisa menggantikan kegemilangannya bagi siapa pun yang terjebak dalam labirin ini.
Bunga-bunga mawar yang merona bermekaran dengan anggunnya di teras rumah, tetapi apa yang saya rasakan dalam diri saya hanyalah duri-duri yang melekat pada mawar itu sebagai eksistensi saya di sini.