Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penderitaan yang Mengasyikkan

8 September 2021   20:25 Diperbarui: 8 September 2021   20:37 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penderitaan adalah permata kecil di tengah-tengah lumpur yang menjijikkan | Ilustrasi oleh Free-Photos via Pixabay

Sekumpulan sahabat melirik ke belakang untuk mengajak salah seorang dari mereka yang duduk menangis. Dia adalah pria yang menyedihkan hingga siapa pun yang melihatnya merasa simpati dan pilu.

"Pergilah tanpaku," kata pria itu dengan penuh tenaga.

"Mengapa?" sahut sahabatnya.

"Ini mengasyikkan! Tidakkah kalian mengerti bahwa aku sedang menikmati setiap tetesan air mataku? Kasihan malaikat, mereka tidak punya air mata untuk menangis. Kalian melihatku seperti pria menyedihkan yang tengah mandi oleh air matanya sendiri.

"Tetapi biarlah demikian jika kalian menyebutnya begitu. Air mataku akan membersihkan jalanku dari debu yang menyesakkan dan menjernihkan mataku untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi padaku."

Ada satu kecenderungan yang sama dari orang-orang sukses ketika mereka diwawancarai tentang perjalanan kesuksesan mereka. Saya menguji ini secara langsung kepada beberapa orang yang saya kenal, pun kisah serupa yang saya tonton di internet.

Ketika mereka ditanya "apa yang paling mengesankan dalam perjalanan karier Anda?", jawaban mereka cenderung mengarah pada satu hal yang serupa, yaitu kepahitan mereka selama proses mencapai kesuksesan tersebut.

Saya tidak akan mengatakan, "Selalu ada kegagalan di balik kesuksesan." Tidak, semua orang sudah mengatakan itu dan betapa bosannya kita dengan ungkapan demikian. Tapi yang ingin saya soroti adalah, mengapa kesengsaraan itu yang mereka ceritakan?

Ada apa dengan penderitaan? Ada apa dengan "kubangan busuk" itu yang justru terasa menyegarkan bagi mereka yang berhasil melewatinya?

Banyak orang yang membenci angin. Tapi bagi mereka yang hendak bermain layang-layang, angin adalah kekasih mereka. Jika Anda punya sesuatu untuk diterbangkan, angin akan selalu terasa mengasyikkan bagi Anda.

Tetapi apa yang bisa kita "terbangkan" pada badai kehidupan yang kita sebut "penderitaan"?

Seorang penambang akan menyaring pasir-pasir keemasan untuk menemukan butiran emas yang sesungguhnya. Mengapa pasir-pasir itu dibuang begitu saja, padahal rupanya begitu mirip dengan emas yang mereka buru?

Karena emas itulah yang bernilai.

Kita merangkul segala sesuatu yang bernilai dan berharga. Secara alami, manusia adalah makhluk yang cenderung pragmatis atau menginginkan segalanya punya kegunaan bagi kehidupan nyata.

Namun, penderitaan menyembunyikan nilai itu. Ia adalah bintang yang pada wujudnya sering tertimbun awan di mata kita. Ia adalah batu intan yang berkilauan di antara batu-batu menjijikkan yang berserakan.

Tidak semua orang bisa menemukan nilai dari penderitaan. Ketika mereka berhenti pada apa yang mereka lihat, di sana hanyalah sebuah lorong yang gelap tanpa ada sesuatu pun yang bisa didapatkan.

Tetapi penderitaan adalah lorong kegelapan yang memang selalu ada di depan kita dan mau tidak mau harus kita lewati. Justru bagi mereka yang tidak menginginkannya, mereka terjebak selamanya dalam kegelapan itu.

Barangkali mereka lupa bahwa kegelapan selalu menyimpan cahaya yang padanya keindahan berpusat; lorong yang panjang pun selalu punya ujungnya. Rasa antusias membuat perjalanan tidak terasa, dan ketika perjalanan selesai, kita menginginkannya lagi di lain waktu.

Jika Anda melindungi ngarai dari badai angin, Anda tidak akan pernah melihat keindahan ukiran mereka yang sebenarnya.

Apa yang saya maksudkan di sini adalah, cara kita melihat penderitaan itu sendiri akan menentukan tentang seberapa menderitanya kita.

Ketika saya memandang penderitaan sebagai permata kecil di tengah-tengah kegelapan total, saya tetap menikmati kegelapan tersebut dengan kesabaran yang menggembirakan seperti para pemburu yang dengan antusias mendulang emas lewat ayakan sederhana.

Nilai penderitaan tidak pernah tampak ke permukaan secara pasti dan jelas. Itulah mengapa orang-orang membenci penderitaan, sebab padanyalah mereka terjebak pada kesakitan yang mungkin tidak akan terbayarkan oleh kemuliaan yang sepadan.

Tetapi penderitaan selalu mengandung kemuliaan itu. Sungguh! Besar atau tidaknya, bergantung pada diri kita sendiri sebagai "pemburu" kemuliaan tersebut. 

Kebanyakan orang menyia-nyiakan penderitaan mereka karena memandangnya sebagai penyakit jiwa atau kejahatan yang berasal dari luar dunia sehingga membuat kehidupan begitu kacau.

Alhasil mereka menutup matanya dari kemungkinan adanya cahaya yang tidak pernah mereka duga. Dan salah satu cara (terbaik) yang saya tahu untuk tetap "membuka mata" dalam penderitaan, adalah dengan menganggapnya sebagai keasyikan yang begitu langka.

Kita hanya akan antusias terhadap sesuatu yang indah, menyenangkan, dan mengasyikkan. Jika kita menggeser pandangan kita terhadap penderitaan sebagai sesuatu yang mengasyikkan, kita akan cukup antusias terhadapnya.

Tetapi bayang-bayang ambiguitas menyelimuti keyakinan tersebut, sebab bagaimana kita dapat benar-benar merasa antusias terhadap penderitaan dan bukannya memaksakan diri untuk menganggapnya mengasyikkan?

Sejenak, saya menarik perhatian saya dari dunia yang amat sibuk ini ke dalam diri sendiri yang padanyalah saya menemukan selimut yang amat menghangatkan. Pertanyaan-pertanyaan mengalir ke dalam pikiran, begitu pun pikiran yang secara bebas mengembara.

Dan saya menyadari bahwa, dalam banyak momen yang nyaris tidak pernah saya kendalikan, saya sengaja menghampiri penderitaan. Ini aneh dan memilukan, sebab dalam label "penderitaan" yang terkesan mengerikan, saya sangat menikmati keseluruhannya.

Ada momen ketika saya sengaja memikirkan hal-hal yang menyakitkan hanya untuk bisa menangis dengan lepas. Terkadang saya mengabaikan apa yang ada di sekitar saya dan mencari-cari apa yang menjadi celah dari diri saya.

Bintang berkelip dan saya dapat merasakan betapa kecilnya saya di dunia ini. Bulan tertutup awan dan saya merasa sedih karena tidak bisa menggantikan kegemilangannya bagi siapa pun yang terjebak dalam labirin ini.

Bunga-bunga mawar yang merona bermekaran dengan anggunnya di teras rumah, tetapi apa yang saya rasakan dalam diri saya hanyalah duri-duri yang melekat pada mawar itu sebagai eksistensi saya di sini.

Tetapi apa yang membuat saya demikian? Magnet macam apa yang telah menarik saya pada kubangan yang menyedihkan itu? Mengapa penderitaan begitu mengasyikkan bagi saya dan tidak bagi yang lain?

Saya memeriksa kembali bagaimana waktu-waktu telah saya habiskan, dan saya menyadari bahwa kehidupan saya bukanlah rangkaian kisah pengembara yang punya banyak titik ajaib untuk diceritakan pada dunia.

Keseharian saya berjalan membosankan, dan saya tidak pernah ragu untuk mengatakan itu. Saya hanya bergelut dengan rutinitas yang sama, meskipun dengan perasaan yang berbeda. Barangkali satu-satunya hal menarik dari semua itu adalah, saya jarang menderita.

Tetapi itulah yang pada akhirnya menjadi penderitaan saya: ketiadaan penderitaan itulah yang menjadi kesengsaraan saya. Ini sulit untuk dimengerti, tetapi biarlah saya mengatakan yang sejujurnya, berharap pembaca akan memahami apa yang saya maksud.

Garam itu asin. Tapi tanpa garam, makanan tertentu akan terasa hambar. Dan itulah yang saya maksud dengan penderitaan: jika Anda menelanjanginya tanpa nilai, penderitaan itu hanyalah rasa sakit yang tiada guna.

Kebahagiaan yang saya hadapi setiap hari tidak pernah begitu berarti jika saya tidak menderita sebelum itu. Maka untuk membuatnya tidak hambar, saya membumbuinya dengan penderitaan yang disengaja; penderitaan yang mengasyikkan.

Saya bisa menangis tanpa kendali jika saya menginginkannya. Saya bisa merasakan sesak di bawah hujan bintang-bintang jika saya membutuhkannya. Saya bisa mengeluh pada angin utara seandainya mereka benar-benar memedulikan saya.

Kini saya sadar bahwa secara alamiah, saya tidak membutuhkan kebahagiaan sepanjang waktu, melainkan keseimbangan yang tidak memihak pada sisi manapun. 

Saya pikir kehidupan ini sudah berjalan sempurna tanpa melebih-lebihkan ataupun sebaliknya.

Tetapi saya mengatakan demikian karena saya memandang kesempurnaan pada konteks sebuah puzzle yang setiap kepingnya melengkapi kepingan lainnya. Jika satu keping hilang entah ke mana, puzzle kita tidak akan pernah sempurna hingga kapan pun.

Penderitaan adalah satu keping yang menjadi bagian dari puzzle kehidupan. Apa yang selalu ada tidak akan bisa ditolak. Maka jika penderitaan merupakan keniscayaan dari kehidupan itu sendiri, berarti penderitaan itulah yang menyempurnakan kehidupan kita.

Itulah mengapa penderitaan punya daya magnetis tersendiri bagi saya. Ketika tidak ada sesuatu pun yang membuat saya menderita, saya menciptakannya dengan sengaja. Bukan untuk menyengsarakan diri, melainkan untuk menikmati keseimbangan hidup ini.

Dan saya pikir semua orang melakukan itu. Secara tidak sadar, semua orang mencari penderitaannya masing-masing pada jalan yang beragam.

Lihat bagaimana orang-orang tertentu begitu antusias menonton film horor, tetapi ketika bagian hantunya menampakkan diri, mereka malah menutup matanya. Bukankah mereka membayar untuk menyaksikan hal semacam itu?

Atau bagaimana dengan orang-orang yang naik wahana roller coaster sembari menutup matanya sepanjang permainan? Tapi toh mereka memang membayar untuk hal itu. Mereka menderita dengan sengaja dan mereka (setidaknya ingin) menikmatinya.

Mengapa ada dorongan semacam itu? Karena mereka menganggapnya mengasyikkan!

Saya pikir, penderitaan akan selalu mengasyikkan andaikan kita mampu menemukan nilai yang tersembunyi di dalamnya. 

Jika memang pada mulanya kita tidak mampu, setidaknya kita selalu tahu bahwa di titik manapun nantinya, nilai berharga tersebut akan muncul.

Intinya adalah penderitaan yang dimaknai, penderitaan yang dipelajari, penderitaan yang diberi nilai. Dengan begitu, penderitaan akan selalu terasa mengasyikkan bagi kita! 

Ingat bahwa penyesalan hanyalah penderitaan yang belum kita temukan makna di baliknya. Toh kebahagiaan pun tidak berarti apa-apa dan begitu singkat jika tidak dimaknai secara sungguh-sungguh.

Dalam kata-kata Jalaluddin Rumi, "Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu."

Kembali pada kecenderungan orang-orang sukses dalam mengangkat penderitaannya pada dunia; mengapa mereka lebih suka membanggakan penderitaannya di masa lalu? Apakah mereka sama bangganya dengan penderitaan yang ada di depan mereka?

Saya pikir belum tentu. Mereka menghargai kepahitan mereka di masa lalu karena mereka tahu bahwa kesengsaraan itulah yang mengantarkan mereka pada titik di mana sekarang mereka berdiri dengan penuh kebanggaan dan sorakan tepuk tangan.

Mereka telah memaknai penderitaan mereka di masa lalu sehingga mereka punya kehormatan untuk mengungkapkannya pada dunia tentang betapa luar biasanya mereka sebagai sosok prajurit kehidupan yang tak kenal putus asa.

Tak pelik lagi bahwa penderitaan itu menyakitkan, meneteskan air mata darah pada siapa pun yang tidak siap terhadapnya, dan menyengsarakan mereka yang selalu mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Tapi toh peti harta karun selalu tersembunyi di bawah tanah yang begitu dalam, dan tidak sembarang orang bisa mendapatkan kilauan emas yang terkandung di dalamnya. Batu-batu intan hanya bermuara di antara batu-batu menjijikkan yang padanya kita enggan menyentuhnya.

Dan toh ada nilai-nilai yang hanya bisa kita dapatkan dari lumpur hisap penderitaan, sehingga bagaimanapun gelapnya jalanan tersebut, hanya itulah yang kita punya.

Kini pertanyaannya adalah, bersediakah Anda untuk menarik diri dari pemikiran nihil-nilai itu dan mulai menyelami nilai yang terkandung dalam setiap penderitaan? Dapatkah Anda berlari ke dalam diri Anda sendiri di tengah-tengah badai tombak yang menusuk Anda?

Lorong itu begitu gelap dan menyeramkan, tetapi hanya itulah satu-satunya jalan yang kita punya untuk kemudian bernaung dalam hujan cahaya yang menghangatkan nan menggembirakan.

Toh penderitaan hanya akan bisa dinikmati dengan pertama-tama kita menganggapnya mengasyikkan. Ada semacam antusiasme untuk membuka diri pada apa yang hidup persembahkan bagi kita, dan pada akhirnya itu menjadi bekal petualangan kita sepanjang waktu.

Seperti yang dikatakan Nietzsche, "Hidup berarti menderita, bertahan hidup berarti menemukan makna dalam penderitaan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun