Tetapi apa yang bisa kita "terbangkan" pada badai kehidupan yang kita sebut "penderitaan"?
Seorang penambang akan menyaring pasir-pasir keemasan untuk menemukan butiran emas yang sesungguhnya. Mengapa pasir-pasir itu dibuang begitu saja, padahal rupanya begitu mirip dengan emas yang mereka buru?
Karena emas itulah yang bernilai.
Kita merangkul segala sesuatu yang bernilai dan berharga. Secara alami, manusia adalah makhluk yang cenderung pragmatis atau menginginkan segalanya punya kegunaan bagi kehidupan nyata.
Namun, penderitaan menyembunyikan nilai itu. Ia adalah bintang yang pada wujudnya sering tertimbun awan di mata kita. Ia adalah batu intan yang berkilauan di antara batu-batu menjijikkan yang berserakan.
Tidak semua orang bisa menemukan nilai dari penderitaan. Ketika mereka berhenti pada apa yang mereka lihat, di sana hanyalah sebuah lorong yang gelap tanpa ada sesuatu pun yang bisa didapatkan.
Tetapi penderitaan adalah lorong kegelapan yang memang selalu ada di depan kita dan mau tidak mau harus kita lewati. Justru bagi mereka yang tidak menginginkannya, mereka terjebak selamanya dalam kegelapan itu.
Barangkali mereka lupa bahwa kegelapan selalu menyimpan cahaya yang padanya keindahan berpusat; lorong yang panjang pun selalu punya ujungnya. Rasa antusias membuat perjalanan tidak terasa, dan ketika perjalanan selesai, kita menginginkannya lagi di lain waktu.
Jika Anda melindungi ngarai dari badai angin, Anda tidak akan pernah melihat keindahan ukiran mereka yang sebenarnya.
Apa yang saya maksudkan di sini adalah, cara kita melihat penderitaan itu sendiri akan menentukan tentang seberapa menderitanya kita.
Ketika saya memandang penderitaan sebagai permata kecil di tengah-tengah kegelapan total, saya tetap menikmati kegelapan tersebut dengan kesabaran yang menggembirakan seperti para pemburu yang dengan antusias mendulang emas lewat ayakan sederhana.