Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konsumerisme, Penjajahan Modern yang Terabaikan

13 Agustus 2021   05:30 Diperbarui: 13 Agustus 2021   05:30 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsumerisme telah menjadi semacam "penjajahan" yang disetujui | Ilustrasi oleh Andrea Piacquadio via Pexels

Konsumerisme dapat didefinisikan sebagai ideologi dan tatanan ekonomi serta sosial yang mendorong konsumsi atau perolehan barang/jasa dalam jalan yang tidak pernah berakhir. Konsumerisme mendorong pembelian dan konsumsi melebihi kebutuhan dasar seseorang.

Konsumerisme merujuk pada usaha untuk "kehidupan yang lebih baik".

Semua orang tahu bahwa kita hidup dalam budaya konsumerisme, tetapi hanya sedikit orang yang memahami betapa bermasalahnya budaya ini atau akibat yang ditimbulkannya pada kita masing-masing.

Dalam masyarakat konsumeris, orang dibombardir oleh iklan, diskon, peluncuran produk, dan berbagai promosi lainnya yang dimaksudkan untuk mendorong pengeluaran barang dan/atau jasa dalam tingkat yang konstan serta signifikan.

Hal ini terlihat jelas pada produksi massal barang-barang mewah. Tingkat utang pribadi juga meningkat secara global, indikasi bahwa lebih banyak orang membeli barang secara berlebihan atau tanpa perencanaan keuangan yang tepat.

Tanda-tanda lain yang barangkali bernada positif adalah semakin gencarnya inovasi produk. Dan itu benar: konsumsi yang melonjak membuat produsen berada di bawah tekanan untuk terus-menerus berinovasi, dan akses pada barang/jasa pun menjadi lebih baik.

Standar hidup meningkat. Perekonomian negara tumbuh dengan adanya peningkatan produksi dan lapangan kerja yang ujung-ujungnya tetap berdampak pada ledakan konsumsi. Jadi di satu sisi, konsumerisme membawa kabar baik.

Hanya saja, konsumerisme yang acapkali beriringan dengan "pembangunan", entah disadari atau tidak, sedang menggerogoti dunia kita secara cepat nan lembut.

Kita sudah mengonsumsi sumber daya pada tingkat yang mengkhawatirkan dan lebih cepat daripada yang bisa diisi ulang oleh planet kita. Bukan hanya tentang sumber daya alam, tapi juga pencemaran bumi yang semakin memperparah efek rumah kaca.

Masalahnya terletak pada cara kerja kita dalam mengonsumsi, yaitu mengambil sistem linier di dunia dengan sumber daya yang terbatas. Sistem linier ditandai dengan minimnya proses daur ulang, atau secara padatnya: kita membeli dan membuangnya tanpa tindak lanjut.

Cara kerja masyarakat konsumen tidak berkelanjutan. Kita saat ini menggunakan sumber daya alam Bumi secara berlebihan dengan lebih dari 70 persen. Sedangkan sistem linier itu sendiri, pada dasarnya, adalah mengubah sumber daya alam menjadi limbah belaka.

Dengan menggunakan data terakhir pada tahun 2005, 59 persen sumber daya dunia dikonsumsi oleh sepuluh persen populasi terkaya. Sedangkan sepuluh persen termiskin hanya menyumbang 0,5 persen dari pemanfaatan sumber daya.

Lagi-lagi, kita berhadapan dengan jurang pembatas antara si kaya dan si miskin. Masalah kesenjangan sosial bukan hanya terjadi di negara berkembang, tapi juga di negara maju. Jika kita fokus ke negara-negara Barat yang budayanya "paling berkembang", masalahnya lebih besar lagi.

Jika semua orang hidup seperti konsumen Barat, kita akan membutuhkan 5 planet untuk menyokong kehidupan kita. Dan jumlah konsumen selalu bertambah setiap detiknya. Kelas konsumen akan tumbuh dari 3,5 miliar pada tahun 2017 menjadi 5,6 miliar pada tahun 2030.

*Konsumen di sini merujuk pada seseorang yang tergolong ke dalam kelas menengah, juga membeli barang dan/atau jasa di luar batas kebutuhannya.

Konsumerisme menjadi pelaku yang patut kita tuntut pertanggungjawabannya. Mengapa? Sedikit banyak, konsumerisme telah mengarahkan kita pada sistem kapitalis yang banyak dihujat sejak masa Karl Marx.

Kapitalisme bekerja dengan bentuknya yang lebih modern: memproduksi dan menjual barang dan/atau jasa. Semakin banyak yang diproduksi maupun yang dikonsumsi, semakin pesat pula kemajuan dan kemakmuran kita.

Atas alasan "positif" itulah pola konsumsi sekarang ini kurang mendapatkan perhatian. Alasan lainnya adalah, tidak diragukan lagi, bahwa itu merupakan yang paling sulit untuk diubah.

Pola konsumsi kita adalah bagian dari kehidupan kita sehingga untuk mengubahnya akan membutuhkan perombakan budaya besar-besaran, belum lagi dislokasi ekonomi yang parah. Penurunan permintaan produk akan terjadi secara "ekstrem", dan efek lainnya segera menyusul.

Sejak tahun tahun 1992, para ilmuwan telah memperingatkan umat manusia untuk segera mengurangi budaya konsumerisme dengan mempertimbangkan dampak-dampak terhadap lingkungan yang akan semakin parah.

Setelah dikaji kembali pada tahun 2017, para ilmuwan menemukan bahwa keadaannya menjadi jauh lebih buruk. Lebih dari 15.000 ilmuwan terkemuka di dunia telah menandatangani peringatan tersebut sebagai bentuk kepeduliannya terhadap nasib manusia.

Puncaknya pada tahun 2019, lebih dari 11.000 ilmuwan menandatangani deklarasi bahwa planet Bumi sedang menghadapi keadaan darurat iklim dan menekankan untuk perombakan segera secara radikal.

Muncullah desas-desus mengerikan bahwa seandainya kita tidak mengubah pola hidup kita (dengan konsumerisme yang lebih terkendali), maka "Bumi akan berakhir pada tahun 2050". Krisis pangan dan sumber daya lainnya akan mengancam kita.

Penjajahan yang Dinikmati

Menjelang HUT Kemerdekaan yang ke-76, masyarakat Indonesia tentu bergembira. Maksud saya, kita tidak dijajah lagi! Siapa yang bisa menyangkal itu? Tetapi jika kita melihatnya dari cara lain, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita (masih) terjajah oleh sesuatu yang halus.

Gaya hidup kita sendirilah yang pada dasarnya menjajah kesejahteraan negara kita, utamanya pola konsumsi yang berlebihan. 

Tidaklah mudah untuk mengakui hal itu. Kita begitu menikmatinya seakan-akan faktor itulah satu-satunya yang membuat kita bahagia saat ini.

Dan memang itulah kita: penjajahan (ekonomi) yang teramat halus ini kita nikmati dengan gembira, bahkan merangkulnya. Tentu ada banyak faktor yang membuat kita menjadi demikian. Tetapi hanya ada satu faktor yang akan saya fokuskan di sini.

Adalah kepedulian kita yang berlebihan terhadap simbol.

Kita hidup di masa ketika simbol menjadi perhatian utama masyarakat. Tanda lebih dipedulikan daripada makna yang dikandungnya. Kemasan dijadikan petunjuk bahwa seseorang telah eksis di tengah masyarakat. Formalitas jauh diutamakan.

Kita menilai kekayaan seseorang dari cara berpenampilannya atau apa yang dikendarainya. Kita menilai kesalehan seseorang dari seberapa seringnya dia datang ke rumah ibadah. Kita menilai kecerdasan seseorang dari tingkat pendidikannya.

Kita menilai keunggulan seseorang dari parasnya. Kita ... lebih peduli dengan apa yang dilihat oleh mata daripada apa yang hanya bisa dilihat oleh hati. Ketika kita menuruti apa pun yang kita lihat, kita tertipu dengan banyak topeng kehidupan.

Kepedulian kita yang berlebihan terhadap simbol ini memicu gaya hidup yang jauh lebih konsumtif. Secara implisit, kita telah merasa mengerti bahwa cara untuk bisa dikenal oleh dunia adalah dengan menampilkan apa yang orang-orang bisa lihat dari kita.

Dunia pun dipenuhi oleh manipulasi. Semenjak pesatnya perkembangan teknologi, tingkat konsumsi telah menjadi faktor berpengaruh terhadap status sosial seseorang.

Asumsinya: jika Anda ingin meningkatkan status sosial, tidak perlu repot menyumbangkan sesuatu yang berharga untuk dunia, cukup beli apa pun yang berlabel "mewah", maka seluruh dunia akan melirik Anda dengan penuh hormat.

Ini membuat orang-orang rela untuk memaksakan keadaan ketika sebenarnya mereka tidak punya atau tidak mampu. Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengeluh pada saya dan berkata bahwa dia ingin laptop baru di samping laptop lamanya yang cenderung masih baik.

Saya memaklumi dan bertanya, "Jadi, berapa tabungan yang kau punya?" Dia hanya menggelengkan kepala dan berencana untuk membujuk orang tuanya agar mau membelikan dia laptop baru. "Sungguh?" protes saya, "Aku tahu keluargamu bukan kelas atas!"

Ya, terkadang sarkas itu memang diperlukan.

Itu bukan apa-apa jika kita mendengar berita setiap hari bahwa beberapa orang terpaksa mencuri karena tidak mau berutang, atau membunuh karena tidak bisa membayar utang. Belum lagi perempuan yang bekerja "kotor" karena desakan gengsi lingkungannya.

Dan memang itulah yang ingin saya sorot tajam di sini: gengsi ... kita patut mempertanyakan pengaruh gengsi dalam hidup kita. Secara tidak sadar, dalam kebanyakan kasus, kita dikendalikan olehnya dengan gembira.

Orientasi konsumsi pun mulai bergeser dari yang semula ditujukan untuk "memenuhi kebutuhan hidup", saat ini diarahkan pada "pemuasan gaya hidup". Bahkan lebih ekstrem lagi, tingkat konsumsi mulai diyakini sebagai ciri eksistensial kita di tengah masyarakat.

Ketika hendak membeli barang, kita tidak lagi memfokuskan perhatian pada tingkat kegunaan, melainkan pada merek dan seberapa besar prestise yang dimiliki oleh barang itu jika kita membelinya.

Alasannya sederhana: kita lebih peduli pada "simbol" daripada kegunaan.

Sekarang katakanlah saya membuat es krim berlapiskan emas dan mendokumentasikannya di Instagram. Baiklah, prestise saya akan meningkat dan mungkin dengan sedikit kepopuleran. Tetapi pertanyaan terpentingnya: apakah saya rela memakan es krim tersebut?

Oh ya ampun ... jika Anda melihat saya memakannya dalam video, percayalah, saya berusaha untuk tidak menelannya hingga video itu benar-benar selesai. Atau seandainya es krim itu sudah tertelan, saya tidak akan buang air besar selama saya bisa menahannya.

Bahkan jika saya terlanjur buang air besar, saya akan "mengoreknya" dengan penuh harapan. Ayolah, kita berpikir realistis. Sekalipun saya seorang sultan yang menandakan emas itu tidak berarti apa-apa, saya tetap tidak tahu apa manfaatnya untuk saya selain demi gengsi.

Sepertinya teori Karl Marx tidak berlaku lagi di masa sekarang. Kala itu, status sosial seseorang ditentukan oleh kemampuan produksinya (kapitalisme).

Kenyataannya di masa sekarang, konsumsilah yang menjadi penentu tentang siapa seseorang. Kesenjangan sosial pun, pada akhirnya, tidak lagi berjarak karena kelas sosial, melainkan karena perbedaan selera individu.

Ini menggelikan, saya selalu tertawa ketika mengingat fakta tersebut. Alasan utamanya, fakta itu mengingatkan saya pada pengalaman pribadi ketika hendak memimpin rapat organisasi.

Kala itu saya mengenakan kaos polos dan celana training (karena saya akan berganti pakaian resmi ketika tiba di lokasi). Saya datang lebih awal dan ruangan rapat masih kosong. Di sana hanya ada dua orang yang sedang membereskan bangku, dan mereka memerhatikan saya.

"Hei, kamu ini diam-diam saja! Coba bantu kami, sebentar lagi mereka akan berdatangan," kata salah satu dari mereka. Saya dengan senang hati membantu mereka. Tapi mengenaskannya, saya diberi tugas yang lebih banyak daripada sekadar menggeser bangku.

Ketika rapat dimulai, saya duduk di depan dan memimpin rapat. Dari kejauhan, saya bisa melihat mereka dengan raut terkejut seakan tidak menyangka bahwa saya adalah ketua dari organisasi yang masih asing bagi mereka.

Itulah contoh yang menggelitik bahwa simbol jauh lebih diperhatikan oleh banyak orang. Meminjam istilah Pierre Bordieu, kita berada pada masa "dominasi simbolik". Dan ketika kita lebih peduli pada simbol, konsumerisme tidak lagi terkendalikan.

Implikasi nyata dari adanya pola hidup yang konsumtif adalah memuncaknya ajang pamer. Merajalelanya media sosial seakan-akan telah mewadahi setiap orang untuk memamerkan apa yang telah dibelinya.

Sekarang katakanlah saya mengunggah foto di Facebook di mana saya sedang memegang roda kemudi mobil Ferrari. Saya tahu betapa mengesankannya hal tersebut. Tapi pertanyaan besarnya: apakah Anda percaya bahwa mobil itu benar-benar milik saya?

Apa pun jawaban yang saya berikan, kenyataannya hanya satu: formalitas. Bahkan ketika mobil itu memang milik saya, sebenarnya saya memamerkannya atau tidak, itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa saya telah mampu membeli mobil tersebut.

Tapi dengan cara pamer, seluruh dunia (seolah-olah) akan mengakui itu.

Ironi dari tren semacam itu adalah banyaknya kepalsuan yang kita anggap sebagai kenyataan. Kita terjebak dalam dunia yang bertopeng. Ketika semua ini tidak berhenti, maka kita pun punya sampah jenis baru: sampah visual.

Dunia digital kita menjadi dipenuhi oleh sampah-sampah kepalsuan; sampah-sampah topeng. Dan apa yang lebih buruk dari itu? Ketika kita merasa iri oleh kepalsuan itu. Ah, dunia semakin jelas bagaimana ia akan hancur.

Pada akhirnya, tulisan ini datang sebagai pengingat bahwa selama ini kita telah dijajah oleh sesuatu yang begitu halus sehingga sulit untuk disangkal. Kita mengalami penjajahan yang terselubung seperti api pada rokok yang terkesan menyenangkan, padahal beracun.

Konsumerisme telah menjadi "penjajah yang disetujui" kehadirannya. Mirip seperti kedatangan Jepang ke Indonesia yang merayu-rayu bahwa mereka adalah "saudara kandung" kita.

Dampak dari menerima penjajahan dengan sukarela adalah, perlu perjuangan besar-besaran agar bisa "merdeka" kembali. Dan itulah yang menjadi tugas kita sekarang ini. Hidup sederhana tidak lagi dipuja-puja sebagaimana yang dilakukan pendahulu kita.

Lebih buruk lagi, hidup sederhana dianggap sebagai ciri kemiskinan dan bahwa kita tidak pernah bekerja keras untuk menjadi kaya. Begitu pun tulisan semacam ini yang kenyataannya tidak begitu dipedulikan, malah ditertawakan sebagai lelucon yang dilebih-lebihkan.

Tapi saya serius, jika Anda bisa memberitahu orang lain tentang masalah ini, Bumi akan sangat berterima kasih pada Anda.

Orang merasa bangga dengan mobil-mobil yang mereka beli, kemudian memamerkannya sebagai konten YouTube atau foto di unggahan Instagram. Itu adalah bukti kerja keras mereka, dan bahwa mereka begitu bangga terhadap dirinya sendiri.

Namun sisi gelapnya, maka mereka pun begitu bangga menerima fakta lain bahwa mereka ... akan mencemari lingkungan yang telah lama krisis dan semakin memperlebar kesenjangan sosial yang menjauhkan kita dari sila ke-5 Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun