Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konsumerisme, Penjajahan Modern yang Terabaikan

13 Agustus 2021   05:30 Diperbarui: 13 Agustus 2021   05:30 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsumerisme telah menjadi semacam "penjajahan" yang disetujui | Ilustrasi oleh Andrea Piacquadio via Pexels

Puncaknya pada tahun 2019, lebih dari 11.000 ilmuwan menandatangani deklarasi bahwa planet Bumi sedang menghadapi keadaan darurat iklim dan menekankan untuk perombakan segera secara radikal.

Muncullah desas-desus mengerikan bahwa seandainya kita tidak mengubah pola hidup kita (dengan konsumerisme yang lebih terkendali), maka "Bumi akan berakhir pada tahun 2050". Krisis pangan dan sumber daya lainnya akan mengancam kita.

Penjajahan yang Dinikmati

Menjelang HUT Kemerdekaan yang ke-76, masyarakat Indonesia tentu bergembira. Maksud saya, kita tidak dijajah lagi! Siapa yang bisa menyangkal itu? Tetapi jika kita melihatnya dari cara lain, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita (masih) terjajah oleh sesuatu yang halus.

Gaya hidup kita sendirilah yang pada dasarnya menjajah kesejahteraan negara kita, utamanya pola konsumsi yang berlebihan. 

Tidaklah mudah untuk mengakui hal itu. Kita begitu menikmatinya seakan-akan faktor itulah satu-satunya yang membuat kita bahagia saat ini.

Dan memang itulah kita: penjajahan (ekonomi) yang teramat halus ini kita nikmati dengan gembira, bahkan merangkulnya. Tentu ada banyak faktor yang membuat kita menjadi demikian. Tetapi hanya ada satu faktor yang akan saya fokuskan di sini.

Adalah kepedulian kita yang berlebihan terhadap simbol.

Kita hidup di masa ketika simbol menjadi perhatian utama masyarakat. Tanda lebih dipedulikan daripada makna yang dikandungnya. Kemasan dijadikan petunjuk bahwa seseorang telah eksis di tengah masyarakat. Formalitas jauh diutamakan.

Kita menilai kekayaan seseorang dari cara berpenampilannya atau apa yang dikendarainya. Kita menilai kesalehan seseorang dari seberapa seringnya dia datang ke rumah ibadah. Kita menilai kecerdasan seseorang dari tingkat pendidikannya.

Kita menilai keunggulan seseorang dari parasnya. Kita ... lebih peduli dengan apa yang dilihat oleh mata daripada apa yang hanya bisa dilihat oleh hati. Ketika kita menuruti apa pun yang kita lihat, kita tertipu dengan banyak topeng kehidupan.

Kepedulian kita yang berlebihan terhadap simbol ini memicu gaya hidup yang jauh lebih konsumtif. Secara implisit, kita telah merasa mengerti bahwa cara untuk bisa dikenal oleh dunia adalah dengan menampilkan apa yang orang-orang bisa lihat dari kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun