Tapi siapa yang tahu, mungkin Ibu sedang duduk mengawasi kita di salah satu asteroid. Ibu akan membantu kita lewat pembatas alam, salah satunya membisikkan lagu itu pada hatimu, Ayya."
Beberapa titik air membanjiri kedua sudut mata Ayya yang biru. Dengan sedikit tersendu, ia berujar, "Pasti rasanya seperti naik roller coaster. Hanya bedanya, Ibu tak perlu mengantre."
"Mungkin inilah titik sederhana dari kenikmatan perpisahan."
"Apa itu?" tanya Ayya sembari mengelap pipinya yang terlanjur basah.
"Perpisahan melahirkan rindu. Dan kerinduan adalah titik penting untuk menyadari betapa berharganya kehadiran seseorang."
"Bolehkah aku menangis karena merindukan Ibu?" tanya Ayya dengan lugu dan jujur.
"Tentu boleh. Tapi Ibu akan sedih melihatnya. Bukankah hidup hanyalah kunjungan? Sebentar lagi kita akan bersama Ibu kembali, Sayang," hibur Agathias.
Ayya mengangguk dan mendekap erat pinggang Agathias. Alas salju yang seharusnya dingin tak terasa sama sekali karena kehangatan jiwa dari keduanya.
Langit Kutub Utara sedang ceria malam ini. Cahaya menyala-nyala dan berdansa di langit yang gelap. Ada warna ungu, hijau, biru; semua warna bersatu-padu dengan abstrak.
Orang-orang menyebutnya fenomena Aurora. Tapi Agathias dan Ayya punya panggilan sendiri: Dewi Malam.
"Berapa lama lagi kita akan menunggu, Ayah?" tanya Ayya yang membicarakan kedatangan Komet Halley.