Bumi, 2061
Tak pernah dikira bahwa kesunyian kutub lebih menakutkan ketimbang udara dinginnya. Meskipun kulit terasa dihujani jarum-jarum kasat mata, tapi kesunyian adalah peluru yang merobek hati.
Ayya menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari sedikit kehangatan. Sepasang sarung tangan tidaklah cukup. Begitu pun api unggun setinggi jerapah yang lama-kelamaan menyusut menjadi lilin kecil.
Dalam kesibukannya mencari kehangatan, Ayya melantunkan senandung merdunya untuk membunuh kesunyian kutub.
I see skies of blue
And clouds of white
The bright blessed day
The dark sacred night
And I think to myself
What a wonderful world
Begitulah Ayya merasuki lirik lagu favoritnya, What a Wonderful World milik Louis Armstrong.
Agathias yang menikmati begitu terpincut untuk ikut bernyanyi bersama putrinya. Dan kemudian dia berkata, "Sungguh mengagumkan dari caramu memilih lagu di tengah Kutub Utara yang sepi."
"Aku yakin sebuah bisikan yang lindap membuatku otomatis menyanyikannya," jawab Ayya.
"Mungkinkah itu bisikan Ibu?" tanya Agathias sembari merangkul Ayya yang sedang duduk di sampingnya. Tangannya mengusap rambut yang basah, beberapa butiran salju meleleh di banyak helaian.
"Sebuah lagu indah pasti disarankan oleh jiwa yang cantik." Ayya merekahkan senyum monalisa.
"Lihatlah debu-debu angkasa itu. Di balik buramnya langit malam yang gulita, bebatuan asteroid berkelana mengelilingi angkasa, bahkan beberapa di antaranya harus berbenturan.
Tapi siapa yang tahu, mungkin Ibu sedang duduk mengawasi kita di salah satu asteroid. Ibu akan membantu kita lewat pembatas alam, salah satunya membisikkan lagu itu pada hatimu, Ayya."
Beberapa titik air membanjiri kedua sudut mata Ayya yang biru. Dengan sedikit tersendu, ia berujar, "Pasti rasanya seperti naik roller coaster. Hanya bedanya, Ibu tak perlu mengantre."
"Mungkin inilah titik sederhana dari kenikmatan perpisahan."
"Apa itu?" tanya Ayya sembari mengelap pipinya yang terlanjur basah.
"Perpisahan melahirkan rindu. Dan kerinduan adalah titik penting untuk menyadari betapa berharganya kehadiran seseorang."
"Bolehkah aku menangis karena merindukan Ibu?" tanya Ayya dengan lugu dan jujur.
"Tentu boleh. Tapi Ibu akan sedih melihatnya. Bukankah hidup hanyalah kunjungan? Sebentar lagi kita akan bersama Ibu kembali, Sayang," hibur Agathias.
Ayya mengangguk dan mendekap erat pinggang Agathias. Alas salju yang seharusnya dingin tak terasa sama sekali karena kehangatan jiwa dari keduanya.
Langit Kutub Utara sedang ceria malam ini. Cahaya menyala-nyala dan berdansa di langit yang gelap. Ada warna ungu, hijau, biru; semua warna bersatu-padu dengan abstrak.
Orang-orang menyebutnya fenomena Aurora. Tapi Agathias dan Ayya punya panggilan sendiri: Dewi Malam.
"Berapa lama lagi kita akan menunggu, Ayah?" tanya Ayya yang membicarakan kedatangan Komet Halley.
"Menurut perkiraan, seharusnya 10 menit lagi."
"Aku cukup bingung. Mengapa Ayah mengajakku melihat komet itu hingga harus ke Kutub Utara?"
"Kita akan menyaksikan Komet Halley, Ayya. Dia melintas di atas bumi hanya 76 tahun sekali. Menurut catatan sejarah, komet ini terakhir tampak pada tahun 1986."
Ayya menatap serius dan bertanya, "Apa istimewanya komet? Bukankah bintang-bintang juga bercahaya? Kita melihat bintang-bintang sepanjang malam."
"Komet juga disebut bintang berekor. Jadi sebenarnya, kita masih sama-sama melihat bintang, Ayya."
"Lalu?" tanya Ayya yang merasa pertanyaannya belum terjawab.
"Duduklah dan persiapkan teropongmu. Kamu akan segera mendapatkan jawabannya saat komet itu melintas," jawab Agathias dengan pandangan tak terusik menuju langit.
"Ah, masuk akal. Tapi mengapa harus di kutub?"
"Ayah benci dengan langit perkotaan yang penuh asap polusi. Lagi pun, di sini kita berjumpa dengan Dewi Malam dan beruang kutub. Jika kita beruntung, kita bisa melihat para beruang kutub melolong bahagia bisa hidup jauh dari manusia."
Ayya tak mengedipkan matanya lama sekali. Pikirannya berusaha mencerna perkataan ayahnya. Dan sekarang timbul pertanyaan lain, "Memangnya beruang kutub benci manusia?"
Agathias menunggingkan tawa kecilnya. Sambil membelai rambut putrinya, dia berujar, "Bagi beruang kutub, manusia adalah si hewan-hewan yang licik."
"Apa bedanya manusia dengan hewan?" tanya Ayya yang sekarang menyipitkan pandangannya menuju Agathias.
"Manusia adalah hewan-hewan yang berpikir," jawabnya dengan susulan tawa yang lepas.
"Tapi ngomong-ngomong, Komet Halley berharga bukan hanya karena keindahan sinarnya. Dia juga indah karena kemunculannya yang langka," sambung Agathias yang sepertinya mengalihkan pembicaraan.
"Apa hubungannya waktu dengan keindahan, Ayah?"
Agathias menatap sejenak hingga akhirnya mengembuskan napas berat. Senyum monalisa kembali terukir. Pipinya mulai basah. Tawa bukan berarti pengusir air mata.
"Seandainya Ibu ada di hadapan kita sekarang, mana yang lebih indah bagimu: Ayah atau Ibu?"
Butuh beberapa detik bagi Ayya untuk menjawab, "Emh maaf menyinggung, tapi sepertinya aku akan segera lari memeluk Ibu sebelum dia menghilang kembali."
"Mengapa kamu memilih itu?" tanya Agathias dengan lembut.
"Karena aku rindu pada Ibu. Dan sepertinya Ibu akan segera menghilang lagi. Sangatlah rugi jika aku tidak buru-buru memeluknya."
"Itulah mengapa Komet Halley begitu indah bagi manusia, Sayang. Kerinduan umat manusia membuat kehadirannya begitu ditunggu-tunggu."
"Ah, sekarang aku tahu betapa indahnya merindu!"
"Dan lagi, tidak semua orang punya kesempatan untuk melihat Komet Halley. Kita akan termasuk ke dalam orang-orang yang tercatat dalam sejarah jika melihatnya."
"Benar juga, artinya ini akan menjadi yang pertama, dan mungkin juga yang terakhir bagi mataku untuk bisa melihatnya, ya?"
Agathias mengangguk serius. "Siapkan teropongmu!"
Keheningan kutub mencekik kembali. Sesekali suara cipratan air terdengar dekat. Atau terkadang lolongan berat para beruang kutub.
Mereka tidak melihat penguin di Kutub Utara. Entah semuanya berkumpul di Kutub Selatan, atau sedang bersembunyi di sebuah aglo. Mungkin saja para penguin merasa malu dan tersipu dengan kemanisan paras Ayya.
Pemukiman penduduk berada cukup jauh, sekitar 2 KM dari tempat mereka berdiam diri. Ada sekitar 4 juta orang yang menghuni kawasan lingkaran Artik di beberapa kota kecil maupun kota besar.
Hal yang paling mereka rindukan adalah sinar matahari. Namun demikianlah mereka lebih menghargai sang fajar ketimbang orang-orang kota yang cenderung suka mencemari langit.
Tiba-tiba Ayya memukul pundak Agathias sembari memfokuskan matanya pada teropong. Ayya melihat seberkas cahaya biru yang rupawan bergerak melintasi langit.
Agathias segera menggunakan teropongnya dan melihat ke arah yang sama. Dilihatnya gumpalan cahaya biru terang dengan ekor panjang jatuh menukik di langit malam.
Ayya berteriak, "Aku melihatnya!"
Agathias justru diam terpana melihat fenomena langka itu.
"Ayah bohong! Komet Halley tidak seperti bintang berekor, dia lebih mirip seperti bola salju kotor dengan neon super terang!"
Agathias masih membatu tanpa kata. Dia menghiraukan perkataan putrinya. Inilah kesempatan terakhir, pikirnya.
"Bola salju terbang" itu perlahan menghilang dari pandangan, menyisakan ekor panjangnya yang biru bak bintang jatuh.
Aurora mulai samar-samar di langit gelap. Apakah sang Dewi Malam merasa ciut melihat keindahan Komet Halley?
Selepas tontonan singkat yang ajaib itu berakhir, Agathias dan Ayya saling menatap. Masing-masing mengukir senyum tipis penuh keindahan.
"Waktu, Ayya. Apa itu waktu?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI