Nama : Muhamad Rafli Pribadi
Nim : 43223010022
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik
Dosen Pengampu Matkul: Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia: Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna
Pendahuluan
Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang. Tindakan ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merusak fondasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara.Â
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mengalami berbagai kasus korupsi berskala besar yang melibatkan pejabat tinggi, politisi, dan pelaku bisnis. Skandal seperti korupsi proyek e-KTP, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), hingga kasus suap dalam proyek infrastruktur menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi masalah sistemik yang menghambat kemajuan pembangunan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan sistem transparansi, dan perbaikan regulasi. Namun, tantangan besar masih tetap ada karena akar masalah korupsi tidak hanya terletak pada sistem birokrasi yang lemah, tetapi juga pada faktor individual dan budaya yang sudah mengakar.
Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan kerangka teoritis yang relevan dalam memahami penyebab korupsi dan cara mengatasinya. Klitgaard fokus pada faktor struktural seperti monopoli dan akuntabilitas, sementara Bologna menyoroti elemen psikologis dan situasional pelaku korupsi.Â
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis penerapan kedua pendekatan ini pada kasus korupsi di Indonesia dan menawarkan solusi untuk mencegah terulangnya skandal serupa di masa depan.
I. What: Pengertian Korupsi dan Pendekatan Klitgaard serta Bologna
1. Definisi Korupsi
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tindakan ini bisa berupa suap, gratifikasi, penggelapan, penyalahgunaan anggaran, atau bahkan konflik kepentingan.Â
Dalam pengertian yang lebih luas, korupsi mencakup segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau sumber daya negara yang merugikan keuangan negara atau masyarakat. Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, korupsi telah menjadi isu yang sangat mendalam dan meluas, menggerogoti hampir semua sektor pemerintahan dan ekonomi. Dalam konteks hukum, korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mendefinisikan korupsi sebagai setiap tindakan yang merugikan keuangan negara atau melanggar hukum demi keuntungan pribadi.Â
Praktik korupsi ini, baik dalam bentuk suap, penggelapan, atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya, telah banyak terjadi dalam berbagai kasus besar yang mencuri perhatian publik. Kasus-kasus seperti korupsi e-KTP, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan berbagai kasus suap lainnya menunjukkan betapa merugikannya korupsi terhadap anggaran negara dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Korupsi tidak hanya berdampak langsung pada ekonomi negara, tetapi juga merusak moralitas publik dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Dampaknya sangat luas, mencakup kemiskinan, ketimpangan sosial, serta pelambatan pertumbuhan ekonomi.Â
Korupsi dapat menghambat alokasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program sosial, dan sering kali menciptakan sistem yang tidak adil bagi masyarakat.
2. Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard, seorang ekonom yang terkenal dengan risetnya tentang korupsi, merumuskan sebuah kerangka kerja yang dikenal sebagai "Rumus Korupsi". Klitgaard menggambarkan bahwa korupsi dapat dijelaskan melalui formula:
Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas.
- Monopoli: Monopoli merujuk pada konsentrasi kekuasaan atau kontrol terhadap suatu keputusan dalam satu individu atau kelompok tanpa adanya persaingan. Monopoli ini menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan wewenang, karena hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada kontrol dari pihak lain. Di Indonesia, monopoli ini sering ditemukan dalam berbagai sektor publik, seperti pengadaan barang dan jasa pemerintah atau proyek-proyek besar lainnya yang dijalankan tanpa transparansi. Ketika sebuah sektor atau proyek hanya dikuasai oleh pihak tertentu, peluang untuk melakukan korupsi meningkat, karena kontrol dan pengawasan yang ada tidak cukup kuat untuk mencegah penyalahgunaan.
- Diskresi: Diskresi merujuk pada kebebasan atau keleluasaan individu dalam mengambil keputusan tanpa adanya aturan yang jelas atau pengawasan yang ketat. Dalam banyak kasus, pejabat atau pegawai yang memiliki kewenangan besar dan kebebasan dalam pengambilan keputusan sering kali menyalahgunakan wewenang tersebut. Misalnya, dalam kasus pengadaan barang dan jasa atau dalam proyek-proyek pembangunan, pejabat dapat dengan mudah menentukan siapa yang akan mendapatkan proyek atau bagaimana dana akan dialokasikan tanpa ada batasan yang jelas. Diskresi yang luas tanpa pengawasan yang memadai menciptakan peluang bagi praktik korupsi untuk berkembang.
- Akuntabilitas: Akuntabilitas mengacu pada kemampuan untuk mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil. Dalam banyak kasus, korupsi terjadi ketika sistem pengawasan atau akuntabilitas sangat lemah atau bahkan tidak ada sama sekali. Di Indonesia, lemahnya sistem akuntabilitas dalam pemerintahan telah memberi ruang bagi terjadinya tindak korupsi. Banyak keputusan yang diambil tanpa transparansi yang cukup, dan tidak ada mekanisme yang memadai untuk memastikan bahwa para pejabat dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. Tanpa akuntabilitas yang jelas, praktik korupsi dapat berkembang dengan bebas, dan sangat sulit untuk mengidentifikasi atau menghukum pelaku korupsi.
Dengan demikian, Klitgaard menekankan bahwa korupsi sering kali terjadi ketika ada konsentrasi kekuasaan yang tinggi (monopoli), kebebasan atau keleluasaan dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan (diskresi), dan minimnya sistem akuntabilitas yang efektif.
3. Pendekatan Jack Bologna
Jack Bologna, seorang ahli dalam audit dan akuntansi forensik, memperkenalkan pendekatan yang dikenal dengan teori "Fraud Triangle". Bologna menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena kombinasi tiga elemen utama:
Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi. Tekanan ini dapat bersifat finansial, sosial, atau politik. Misalnya, seorang pejabat yang memiliki utang besar mungkin merasa terpaksa menerima suap untuk menyelesaikan masalah pribadinya.
Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan muncul ketika ada celah dalam sistem yang memungkinkan individu melakukan korupsi. Sistem yang lemah, kurangnya pengawasan, dan aturan yang tidak jelas menciptakan peluang besar untuk korupsi. Dalam konteks proyek pemerintah, seperti kasus e-KTP, kesempatan ini sering muncul melalui manipulasi tender atau penggelapan anggaran.
Pembenaran (Rationalization)
Pembenaran adalah alasan yang digunakan oleh pelaku untuk memvalidasi tindakannya. Pelaku sering kali meyakinkan dirinya bahwa korupsi adalah hal wajar karena "semua orang melakukannya" atau bahwa tindakan tersebut "tidak merugikan siapa pun secara langsung".
Relevansi Pendekatan Ini
Pendekatan Klitgaard dan Bologna saling melengkapi dalam menjelaskan korupsi. Klitgaard fokus pada faktor struktural seperti monopoli kekuasaan dan kurangnya akuntabilitas, sementara Bologna menyoroti faktor individual, yaitu tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Dengan memahami kedua pendekatan ini, kita dapat menganalisis kasus korupsi secara lebih mendalam dan menyusun strategi pencegahan yang efektif.
II. Why: Mengapa Korupsi Terjadi di Indonesia
Korupsi di Indonesia adalah masalah yang sangat kompleks dan telah berlangsung lama, dengan dampak yang merugikan hampir di seluruh sektor kehidupan. Fenomena ini tidak hanya melibatkan individu-individu tertentu, tetapi juga mencerminkan kelemahan sistem pemerintahan dan budaya masyarakat yang terbentuk dalam jangka panjang. Untuk memahami lebih jauh mengapa korupsi terus terjadi di Indonesia, perlu dilihat lebih mendalam faktor-faktor struktural, sosial, dan individual yang saling berinteraksi.
1. Faktor Struktural
Secara struktural, korupsi terjadi karena adanya kelemahan pada sistem pemerintahan dan kelembagaan negara. Di Indonesia, distribusi kekuasaan yang tidak merata dan terkonsentrasi pada beberapa pihak membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan.Â
Lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal, serta rendahnya transparansi dalam pengambilan keputusan, memperburuk situasi ini. Misalnya, pada proyek besar seperti pengadaan barang dan jasa, banyak terjadi penyalahgunaan anggaran yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dalam banyak kasus, mekanisme kontrol dan audit seringkali tidak efektif karena minimnya komitmen politik untuk memberantas korupsi.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga turut memperburuk masalah ini. Sistem hukum yang tidak independen dan tidak tegas dalam menangani kasus korupsi menyebabkan banyak pejabat yang terlibat tidak mendapatkan sanksi yang setimpal. Hal ini juga disebabkan oleh adanya intervensi politik yang melibatkan para penguasa dalam proses hukum, sehingga banyak kasus korupsi besar yang akhirnya tidak diungkap atau dihukum dengan ringan.
2. Faktor Sosial
Secara sosial, Indonesia memiliki budaya yang sudah mengakar terkait dengan praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi. Banyak orang yang menganggap bahwa melakukan suap atau gratifikasi adalah bagian dari budaya kerja, terutama dalam birokrasi.Â
Budaya ini tercermin dalam praktik sehari-hari, di mana hubungan pribadi dan kedekatan dengan penguasa atau pejabat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan atau kemudahan dalam urusan tertentu. Oleh karena itu, banyak orang yang merasa bahwa mereka harus mengikuti alur ini jika ingin berhasil dalam karier atau mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik.
3. Faktor Individual
Pada tingkat individual, banyak pelaku korupsi yang merasa bahwa mereka terpaksa melakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk mengamankan posisi politik mereka. Tekanan ekonomi yang dihadapi oleh banyak pejabat atau birokrat seringkali menjadi alasan untuk mengambil jalan pintas. Dengan gaji yang tidak memadai dan pengeluaran yang terus meningkat, banyak yang merasa bahwa korupsi adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan gaya hidup atau untuk memenuhi kewajiban keluarga.
Selain itu, pembenaran moral juga berperan dalam mempertahankan praktik korupsi. Banyak individu yang terlibat dalam korupsi membenarkan tindakan mereka dengan alasan bahwa "semua orang melakukannya" atau bahwa korupsi adalah bagian dari "politik pragmatis" yang tidak dapat dihindari dalam sistem yang ada. Pembenaran ini semakin memperburuk keadaan, karena mereka menganggap bahwa korupsi bukanlah pelanggaran moral yang serius, melainkan sebuah kewajaran dalam menjalankan roda pemerintahan.
4. Penyebab Lain yang Membuat Korupsi Terus Berlanjut
Korupsi juga terus berlanjut karena adanya ketidakpastian dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Beberapa kebijakan yang diambil pemerintah seringkali tidak berkelanjutan, atau malah bertentangan dengan upaya untuk memperbaiki sistem pemerintahan. Misalnya, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan berbagai upaya pemberantasan, namun tantangan yang dihadapi KPK sangat besar. Selain dari segi dukungan politik, ada juga tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk menghalangi kerja-kerja KPK.
Kemudian, praktik korupsi semakin sulit diberantas karena adanya jaringan persekutuan antara pihak-pihak yang terlibat, baik di tingkat lokal, provinsi, maupun nasional. Korupsi yang sudah mengakar di berbagai lapisan masyarakat seringkali melibatkan banyak pihak, sehingga menjadi sangat sulit untuk diungkap dan diberantas. Jaringan ini seringkali memiliki pengaruh yang besar dalam struktur politik, ekonomi, dan sosial, membuat mereka dapat dengan mudah menghindari sanksi.
5. Penyelesaian Masalah Korupsi
Untuk mengatasi masalah korupsi yang terus berlangsung, diperlukan upaya yang lebih terstruktur dan sistematis. Salah satu langkah yang sangat penting adalah memperkuat sistem pengawasan dan transparansi dalam pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan independen harus menjadi prioritas utama, dengan mengurangi intervensi politik dalam proses peradilan.
Selain itu, perubahan budaya juga sangat diperlukan, mulai dari pendidikan moral dan etika yang lebih baik di semua tingkatan, hingga peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya melawan praktik korupsi. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan terhadap kebijakan publik dan penggunaan anggaran negara juga sangat krusial. Jika tidak ada komitmen yang kuat dari semua pihak, maka korupsi akan terus menjadi masalah besar yang menghambat kemajuan Indonesia.
III. How: Studi Kasus dan Penerapan Pendekatan Klitgaard serta Bologna
Untuk memahami bagaimana pendekatan Klitgaard dan Bologna diterapkan, kita akan membahas salah satu kasus korupsi yang telah diputuskan oleh pengadilan di Indonesia, yakni kasus korupsi e-KTP.
Studi Kasus: Korupsi Proyek e-KTP
Proyek e-KTP merupakan inisiatif pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menciptakan sistem identifikasi tunggal yang akurat dan modern, dengan anggaran sebesar Rp 5,9 triliun. Namun, dalam proses implementasinya, proyek ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia.Â
Laporan menyebutkan bahwa sekitar Rp 2,3 triliun dari anggaran proyek tersebut diselewengkan melalui penggelembungan harga, pengaturan tender, dan pembagian suap kepada pejabat publik. Akibatnya, proyek e-KTP mengalami keterlambatan, kualitas implementasi menurun, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah melemah.
Tokoh utama dalam kasus ini, seperti Setya Novanto, Irman, dan Sugiharto, memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Proses pengadaan proyek dirancang untuk menguntungkan sejumlah perusahaan tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat publik. Uang hasil korupsi digunakan untuk membiayai kampanye politik, membayar utang pribadi, dan memperkaya diri. Kasus ini menggambarkan bagaimana kelemahan sistem pemerintahan membuka peluang besar bagi tindak korupsi.
Penerapan Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard menawarkan kerangka analisis yang efektif untuk memahami korupsi melalui tiga elemen utama: monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas. Ketiga elemen ini saling berhubungan dan menciptakan kondisi ideal untuk terjadinya korupsi.
- Monopoli Kekuasaan
Dalam proyek e-KTP, monopoli kekuasaan terlihat dari bagaimana keputusan strategis terkait proyek ini terkonsentrasi pada beberapa pejabat tinggi, terutama di Kementerian Dalam Negeri. Proses tender proyek sepenuhnya dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu tanpa adanya pengawasan yang berarti. Monopoli ini menciptakan peluang besar untuk mengatur pemenang tender sesuai kepentingan pribadi.
Strategi untuk Mengurangi Monopoli Kekuasaan:
Desentralisasi Keputusan Proyek: Keterlibatan banyak pihak, termasuk lembaga pengawas independen, diperlukan dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek.
Penerapan Sistem Tender Terbuka: Semua proses pengadaan harus dilakukan secara transparan melalui sistem digital berbasis e-procurement, sehingga masyarakat dan media dapat ikut memantau.
- Diskresi yang Terlalu Besar
Diskresi yang diberikan kepada pejabat tinggi dalam proyek ini sangat besar. Mereka memiliki keleluasaan dalam menentukan alokasi anggaran, memilih pemenang tender, dan menyusun kontrak. Kurangnya batasan diskresi menyebabkan penyalahgunaan wewenang secara sistematis, seperti penggelembungan harga dan manipulasi spesifikasi teknis.
Strategi untuk Membatasi Diskresi:
Penguatan SOP (Standar Operasional Prosedur): Setiap tahap proyek harus memiliki pedoman operasional yang jelas, sehingga diskresi pejabat dapat diminimalkan.
Audit Berkala: Kegiatan audit oleh lembaga independen seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus dilakukan secara teratur untuk memverifikasi keputusan yang diambil.
- Kurangnya Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam proyek e-KTP sangat lemah, terutama karena pengawasan eksternal yang tidak berjalan optimal. Mekanisme check-and-balance yang seharusnya dilakukan oleh lembaga seperti BPK tidak dilakukan secara mendalam. Hal ini memungkinkan para pelaku untuk menyembunyikan praktik korupsi hingga kasus ini menjadi besar.
Strategi untuk Meningkatkan Akuntabilitas:
Penguatan Peran Pengawas Eksternal: Lembaga seperti BPK, KPK, dan Ombudsman harus dilibatkan sejak awal untuk mengawasi setiap proyek besar.
Whistleblower Protection: Pemerintah perlu menyediakan mekanisme perlindungan bagi pelapor dugaan korupsi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Penerapan Pendekatan Jack Bologna
Jack Bologna menawarkan perspektif psikologis melalui Fraud Triangle, yang mencakup tiga elemen utama: tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan pembenaran (rationalization). Ketiga elemen ini memberikan pemahaman mendalam tentang motivasi individu dalam melakukan korupsi.
- Tekanan (Pressure)
Banyak pelaku korupsi dalam kasus e-KTP menghadapi tekanan finansial atau politik yang memengaruhi keputusan mereka. Misalnya, Setya Novanto, sebagai seorang politisi, merasa perlu mengamankan dukungan dari koleganya melalui pembagian suap. Selain itu, beberapa pejabat menggunakan uang hasil korupsi untuk membayar utang pribadi atau mendanai gaya hidup mewah.
Strategi untuk Mengurangi Tekanan:
Peningkatan Kesejahteraan Pejabat: Memberikan gaji dan insentif yang kompetitif kepada pejabat publik dapat mengurangi tekanan finansial yang mendorong mereka untuk korupsi.
Pendidikan Etika dan Integritas: Pelatihan berkala mengenai pentingnya nilai-nilai integritas dapat membantu pejabat menghadapi tekanan tanpa melanggar hukum.
- Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan untuk melakukan korupsi dalam kasus ini muncul karena lemahnya sistem pengawasan dan minimnya transparansi. Proses tender proyek dilakukan secara tertutup, memberikan peluang bagi manipulasi dan kolusi.
Strategi untuk Meminimalkan Kesempatan:
Penggunaan Teknologi Anti-Korupsi: Penerapan blockchain untuk mencatat seluruh transaksi dan proses pengadaan dapat menciptakan sistem yang tidak dapat dimanipulasi.
Audit Mendalam: Tim audit khusus yang bekerja sama dengan KPK harus memantau proyek-proyek besar sejak awal hingga selesai.
- Pembenaran (Rationalization)
Pelaku korupsi sering kali membenarkan tindakan mereka dengan alasan seperti "semua orang melakukannya" atau "ini bagian dari sistem yang sudah berjalan." Dalam kasus e-KTP, beberapa pelaku merasa bahwa korupsi adalah cara untuk menjaga stabilitas politik atau memenuhi tuntutan kolega.
Strategi untuk Mengatasi Pembenaran:
Hukuman Berat dan Efek Jera: Publikasi kasus korupsi dan penjatuhan hukuman berat kepada pelaku dapat mengurangi pembenaran yang sering digunakan.
Kampanye Anti-Korupsi: Edukasi publik tentang bahaya korupsi harus dilakukan secara luas untuk mengubah persepsi masyarakat dan pejabat terhadap tindakan tersebut.
Implementasi Praktis Pendekatan Ini
Berikut adalah langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan:
- Meningkatkan Transparansi di Semua Tingkatan Pemerintahan
Pemerintah harus membuka akses informasi kepada publik terkait proyek-proyek besar.
Semua proses pengadaan barang/jasa harus dilakukan secara online melalui platform yang dapat diakses oleh masyarakat.
- Penguatan Peran Lembaga Pengawas
Memberikan sumber daya tambahan kepada KPK, BPK, dan lembaga pengawas lainnya untuk memperkuat kapasitas mereka dalam mengawasi proyek besar.
Meningkatkan koordinasi antar-lembaga pengawas untuk memastikan integritas proses pengadaan.
- Digitalisasi Sistem Pemerintahan
Penerapan sistem e-governance dapat mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan penyedia barang/jasa, sehingga meminimalkan potensi kolusi.
Teknologi seperti blockchain dapat digunakan untuk menciptakan rekam jejak yang transparan dan tidak dapat diubah.
- Membangun Budaya Anti-Korupsi di Masyarakat
Pendidikan anti-korupsi harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah sejak dini untuk menciptakan generasi yang memiliki nilai integritas tinggi.
Media massa dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan dalam kampanye anti-korupsi secara berkelanjutan.
- Peningkatan Efek Jera melalui Penegakan Hukum yang Tegas
Hukuman bagi pelaku korupsi harus diperberat, termasuk penyitaan aset dan larangan seumur hidup dari jabatan publik.
Kasus-kasus korupsi besar harus dipublikasikan secara transparan untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.
- Penerapan Sistem Whistleblower yang Efektif
Pemerintah harus memberikan perlindungan hukum dan insentif bagi pelapor kasus korupsi.
Membangun mekanisme pelaporan anonim untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengawasi proyek pemerintah.
Pengintegrasian Pendekatan dalam Kebijakan Nasional
Penerapan pendekatan Klitgaard dan Bologna dapat diintegrasikan dalam kebijakan nasional untuk memberantas korupsi secara sistematis. Contohnya adalah penguatan mekanisme akuntabilitas melalui undang-undang, penggunaan teknologi
Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
Buku ini menjadi dasar pendekatan teoretis Robert Klitgaard dalam memahami korupsi melalui rumus "Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas".Bologna, J., & Lindquist, R. J. (1995). Fraud Auditing and Forensic Accounting. John Wiley & Sons.
Buku ini menjelaskan teori "Fraud Triangle" dan pendekatan audit forensik untuk mendeteksi dan mencegah korupsi.Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index.
Data dan analisis terkait persepsi korupsi global, termasuk posisi Indonesia dalam peringkat tahunan.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar hukum utama dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2020). Laporan Tahunan KPK.
Menyediakan data statistik dan analisis terkait penanganan kasus korupsi di Indonesia.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (2021). Audit Proyek e-KTP.
Laporan audit khusus terkait pengelolaan anggaran proyek e-KTP, yang menjadi dasar investigasi kasus korupsi tersebut.Mulyadi, M. S. (2020). "Peran Budaya dalam Praktik Korupsi di Indonesia". Jurnal Etika dan Integritas, 15(3), 45-62.
Artikel ini membahas pengaruh budaya dalam praktik korupsi, khususnya di Indonesia.Antaranews. (2017). "Kasus Korupsi e-KTP: Kronologi dan Dampaknya".
Artikel investigasi yang merinci jalannya korupsi dalam proyek e-KTP dan dampaknya terhadap masyarakat.World Bank. (2019). Public Sector Accountability Framework.
Laporan yang membahas pentingnya akuntabilitas dalam mencegah korupsi di sektor publik.Suara Pembaruan. (2020). "Strategi Anti-Korupsi Berbasis Teknologi: Studi Kasus Blockchain".
Artikel ini menjelaskan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi peluang korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H