Lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal, serta rendahnya transparansi dalam pengambilan keputusan, memperburuk situasi ini. Misalnya, pada proyek besar seperti pengadaan barang dan jasa, banyak terjadi penyalahgunaan anggaran yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dalam banyak kasus, mekanisme kontrol dan audit seringkali tidak efektif karena minimnya komitmen politik untuk memberantas korupsi.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga turut memperburuk masalah ini. Sistem hukum yang tidak independen dan tidak tegas dalam menangani kasus korupsi menyebabkan banyak pejabat yang terlibat tidak mendapatkan sanksi yang setimpal. Hal ini juga disebabkan oleh adanya intervensi politik yang melibatkan para penguasa dalam proses hukum, sehingga banyak kasus korupsi besar yang akhirnya tidak diungkap atau dihukum dengan ringan.
2. Faktor Sosial
Secara sosial, Indonesia memiliki budaya yang sudah mengakar terkait dengan praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi. Banyak orang yang menganggap bahwa melakukan suap atau gratifikasi adalah bagian dari budaya kerja, terutama dalam birokrasi.Â
Budaya ini tercermin dalam praktik sehari-hari, di mana hubungan pribadi dan kedekatan dengan penguasa atau pejabat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan atau kemudahan dalam urusan tertentu. Oleh karena itu, banyak orang yang merasa bahwa mereka harus mengikuti alur ini jika ingin berhasil dalam karier atau mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik.
3. Faktor Individual
Pada tingkat individual, banyak pelaku korupsi yang merasa bahwa mereka terpaksa melakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk mengamankan posisi politik mereka. Tekanan ekonomi yang dihadapi oleh banyak pejabat atau birokrat seringkali menjadi alasan untuk mengambil jalan pintas. Dengan gaji yang tidak memadai dan pengeluaran yang terus meningkat, banyak yang merasa bahwa korupsi adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan gaya hidup atau untuk memenuhi kewajiban keluarga.
Selain itu, pembenaran moral juga berperan dalam mempertahankan praktik korupsi. Banyak individu yang terlibat dalam korupsi membenarkan tindakan mereka dengan alasan bahwa "semua orang melakukannya" atau bahwa korupsi adalah bagian dari "politik pragmatis" yang tidak dapat dihindari dalam sistem yang ada. Pembenaran ini semakin memperburuk keadaan, karena mereka menganggap bahwa korupsi bukanlah pelanggaran moral yang serius, melainkan sebuah kewajaran dalam menjalankan roda pemerintahan.
4. Penyebab Lain yang Membuat Korupsi Terus Berlanjut
Korupsi juga terus berlanjut karena adanya ketidakpastian dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Beberapa kebijakan yang diambil pemerintah seringkali tidak berkelanjutan, atau malah bertentangan dengan upaya untuk memperbaiki sistem pemerintahan. Misalnya, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan berbagai upaya pemberantasan, namun tantangan yang dihadapi KPK sangat besar. Selain dari segi dukungan politik, ada juga tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk menghalangi kerja-kerja KPK.
Kemudian, praktik korupsi semakin sulit diberantas karena adanya jaringan persekutuan antara pihak-pihak yang terlibat, baik di tingkat lokal, provinsi, maupun nasional. Korupsi yang sudah mengakar di berbagai lapisan masyarakat seringkali melibatkan banyak pihak, sehingga menjadi sangat sulit untuk diungkap dan diberantas. Jaringan ini seringkali memiliki pengaruh yang besar dalam struktur politik, ekonomi, dan sosial, membuat mereka dapat dengan mudah menghindari sanksi.