“Ya, sepasang suami-isteri dermawan, mereka tidak bisa memiliki keturunan. Mereka menemukanku tertidur kelelahan di pinggir emperan sebuah toko, mereka membawaku keluar dari kota ini, dan mengangkatku menjadi anak angkatnya untuk bantu-bantu di rumahnya. Mereka menyekolahkanku sampai selesai kuliah. Dan sayang sekali, kedua orang baik itu dipanggil Tuhan lima tahun lalu, dan aku kembali pulang ke kota ini dan membuka perusahaan sendiri atas nama mereka. Kamu bagaimana ceritanya?”
“Hampir sama. Sambil cari kamu, aku kerja jadi buruh di sebuah perusahaan konstruksi. Levelku perlahan naik dan akhirnya punya saham sendiri.”
“Kalau begitu tunggu apa lagi. Ayo kita pulang, aku rindu ayah, aku rindu rumah, aku rindu kampong kita.”
“Sayang sekali, kamu akan kaget melihatnya. Kampung kita sudah nggak kaya dulu lagi.”
“Kok bisa?”
“Mereka sekarang sudah meninggalkan budaya nenek moyang kita. Aku berhasil meyakinkan mereka.” Arya terlihat bangga.
“Jadi kerja apa mereka sekarang?”
“Ada macam-macam. Yang jelas, sekarang kehidupan mereka sudah lebih baik.”
“Ayah bagaimana?
“Ayahmu menjadi symbol perlawanan bersama masyarakat, aku membantunya di jalur hukum. Kami menang. Tapi maaf, Ayahmu meninggal saat memaksa melawan mobil penghancur dari dinas kota yang menggusur paksa kampung kita.”
“Oh Ayah.” Melisa teriak sejadi-jadinya, dan lari keluar dari restoran itu.