“Ayah, berhentilah melakukan itu. Aku khawatir.”
“Ini sudah jalan kita. Tidak ada jalan hidup lain selain ini. Semua orang di kampong ini, bisa hidup karena jalan ini. Sudah, kamu baru anak kemarin sore.”
“Ayah? Aku mohon, aku ingin tetap di sini.”
“Tidak. Kamu harus tetap pergi dari kampong ini. Ini, bawa kalung ini, semoga beruntung.” Tanpa memeluk atau sekedar memberinya kata-kata terakhir, Ayah Lia langsung hilang di balik gelap, tepat di pembelokan pada gang pertama di sebelah kiri rumahnya.
Lia tidak punya pilihan lain, ia terus berjalan dengan air matanya yang terus membanjiri pipi manisnya. Ya, pusat ibu kota tujuannya. Sebab jika ingin pindah ke kampong pinggiran kota lainnya, ia akan dianggap sebagai orang asing. Belum lagi, satu kampong dan kampong pinggiran ibu kota lainya, punya motto masing-masing dan sama-sama tidak mengizinkan orang di luar kampungnya masuk dan bergabung bersama mereka.
Sungguh menyedihkan untuk seorang anak kecil. Ibunya meninggal ketika ia masih belajar melihat fakta dunia. Dan kini, ketika ia mulai sedikit paham tentang realitas hidup, ia malah diusir oleh ayanya sendiri; satu-satunya tujuan pulangnya selama ini.
***
“Aku arya, Lia.”
“Arya?? Astagaaaa,,, Aku nggak nyanga bisa ketemu kamu di sini.”
“Yah, seperti inilah kita sekarang, dua orang bocah yang dulunya menginginkan gedung-gedung seperti ini rata dengan tanah.” Lia tidak bisa berkata apa-apa.
“Terimakasih sudah datang Arya. Aku hampir lupa dengan nama itu, orang disni mengenalku dengan nama Melisa. Aku rindu kampung kita. Aku masih ingat, ketika orang-orang menyebut tempat kita sebagai kota, kita malah menolaknya dan lebih senang disebut kampung.” Lia kembali tidak mampu membendung air matanya seperti saat kepergiannya dulu.