Mohon tunggu...
Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi Mohon Tunggu... Human Resources - Penikmat Kopi

Hanya manusia biasa yang ingin mati dengan damai, sebab hidup adalah proses panjang dari bagaimana cara kita mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kalung Merah Darah

8 Juli 2019   23:13 Diperbarui: 8 Juli 2019   23:53 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi | Sumber: Aliexpress

“Lia..!!!”

“Maaf Lia siapa?”

“Terakhir kali kita pernah bertemu dua puluh tahun yang lalu. Namamu Lia, kamu lupa?”

“Aku minta maaf, aku betul-betul nggak ingat.”

“Akh, kalau begitu sudahlah, lupakan saja.”

“Eh, tunggu dulu. Apakah kita pernah dekat sekali?”

“Mm, iya, tapi itu masa lalu.”

“Semacam kekasih?”

“Bukan.”

“Lalu?”

***

Di sebuah kampung kecil di pinggir kota. Seperti kebanyakan daerah-daerah pinggir kota lainnya, mungkin kampong itu yang paling kotor, kumuh, penuh debu, seperti tanpa kehidupan.

Ketika matahari menampakkan dirinya, masyarakat di kampong itu segera dan berhamburan kembali masuk ke rumah-rumah mereka untuk tidur.

Memang aneh, disaat mayoritas manusia beraktivitas pada siang hari, kampung itu justru ramai ketika matahari telah hilang di balik gedung-gedung mewah yang menjulang tinggi di tengah-tengah ibu kota.

“Arya.”

“Ya?”

“Apakah kita akan seperti ini terus? Apa kamu tidak bosan? Tidak kamu memiliki niat untuk merasakan bagaimana suasana dibalik gedung-gedung itu?”

“Aku selalu bermimpi tentang itu. Dalam mimpiku, aku melihat gedung-gedung itu rubuh.”

“Kenapa bisa Arya?”

“Aku tidak tahu pasti, yang jelas gedung-gedung itu rata dengan tanah.”

“Aku harap mimpimu itu benar-benar terjadi.”

“Kenapa?”

“Kamu tanya kenapa? Bukankah untuk sekedar berjalan di depan gedung-gedung itu, orang-orangnya melempari kita dengan sampah-sampah yang ada di tangan mereka? Bahkan ketika kita ingin memungut sampah itu, mereka meludahinya? Kamu masih mau tanya kenapa?”

“Sebenci itukah kamu ke mereka?”

“Sudahlah. Pagi akan segera datang. Mari kita pulang.”

“Tidak. Aku akan tetap di sini.”

“Ya sudah. Terserah kamu.”

***

“Pergi anak sialan!!! ” suara khas mengusik gendang telinga Lia. Itu merupakan bentakan yang kesekian ribu kalinya ia dapat.

Ribuan bentakan sebelumnya dianggap Lia sebagai hal biasa. Sebab Ayahnya disegani dan dikenal sebagai pemarah di kampong itu.

Namun kali ini ia harus menerima kenyataan, bahwa ayahnya memang serius menyuruhnya pergi.

“Aku nggak mau pergi. Aku ingin tetap di sini. Aku tidak peduli ayah terus memarahiku. Asalkan jangan menyuruhku pergi dari tempat ini.”

“Kamu harus tetap pergi. Bereskan pakaianmu. Aku berangkat sekarang. Setelah aku pulang, kamu tidak boleh lagi ada di tempat ini.”

“Ayah, berhentilah melakukan itu. Aku khawatir.”

“Ini sudah jalan kita. Tidak ada jalan hidup lain selain ini. Semua orang di kampong ini, bisa hidup karena jalan ini. Sudah, kamu baru anak kemarin sore.”

“Ayah? Aku mohon, aku ingin tetap di sini.”

“Tidak. Kamu harus tetap pergi dari kampong ini. Ini, bawa kalung ini, semoga beruntung.” Tanpa memeluk atau sekedar memberinya kata-kata terakhir, Ayah Lia langsung hilang di balik gelap, tepat di pembelokan pada gang pertama di sebelah kiri rumahnya.

Lia tidak punya pilihan lain, ia terus berjalan dengan air matanya yang terus membanjiri pipi manisnya. Ya, pusat ibu kota tujuannya. Sebab jika ingin pindah ke kampong pinggiran kota lainnya, ia akan dianggap sebagai orang asing. Belum lagi, satu kampong dan kampong pinggiran ibu kota lainya, punya motto masing-masing dan sama-sama tidak mengizinkan orang di luar kampungnya masuk dan bergabung bersama mereka.

Sungguh menyedihkan untuk seorang anak kecil. Ibunya meninggal ketika ia masih belajar melihat fakta dunia. Dan kini, ketika ia mulai sedikit paham tentang realitas hidup, ia malah diusir oleh ayanya sendiri; satu-satunya tujuan pulangnya selama ini.

***

“Aku arya, Lia.”

“Arya?? Astagaaaa,,, Aku nggak nyanga bisa ketemu kamu di sini.”

 “Yah, seperti inilah kita sekarang, dua orang bocah yang dulunya menginginkan gedung-gedung seperti ini rata dengan tanah.” Lia tidak bisa berkata apa-apa.

“Terimakasih sudah datang Arya. Aku hampir lupa dengan nama itu, orang disni mengenalku dengan nama Melisa. Aku rindu kampung kita. Aku masih ingat, ketika orang-orang menyebut tempat kita sebagai kota, kita malah menolaknya dan lebih senang disebut kampung.” Lia kembali tidak mampu membendung air matanya seperti saat kepergiannya dulu.

***

Rapat selesai, Arya dan Melia memilih duduk di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Lia.

Mereka saling berbagi cerita tentang apa saja yang mereka lakukan selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir.

“Sumpah, aku benar-benar nggak kenal kamu tadi pas pertama ketemu.”

“Aku juga awalnya tidak kenal kamu.”

“Trus kenapa akhirnya tahu?”

“Kalungmu.” Mendengar jawaban itu, Lia kembali meneteskan air mata. “Ayahmu, menyuruhku mencarimu setelah lima tahun kamu pergi.”

“Kenapa bisa?”

“Aktivitas turun temurun kita terbongkar. Ayahmu tertangkap saat perampokan besar-besaran saat itu.”

“Oh Ayah.” Isak tangis menahan kata-katanya.

“Ayahmu bilang, saya tidak boleh pulang kalau tidak sama kamu. Dan akhirnya, kita baru bisa hari ini di sini.”

“Ya, sepasang suami-isteri dermawan, mereka tidak bisa memiliki keturunan. Mereka menemukanku tertidur kelelahan di pinggir emperan sebuah toko, mereka membawaku keluar dari kota ini, dan mengangkatku menjadi anak angkatnya untuk bantu-bantu di rumahnya. Mereka menyekolahkanku sampai selesai kuliah. Dan sayang sekali, kedua orang baik itu dipanggil Tuhan lima tahun lalu, dan aku kembali pulang ke kota ini dan membuka perusahaan sendiri atas nama mereka. Kamu bagaimana ceritanya?”

“Hampir sama. Sambil cari kamu, aku kerja jadi buruh di sebuah perusahaan konstruksi. Levelku perlahan naik dan akhirnya punya saham sendiri.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi. Ayo kita pulang, aku rindu ayah, aku rindu rumah, aku rindu kampong kita.”

“Sayang sekali, kamu akan kaget melihatnya. Kampung kita sudah nggak kaya dulu lagi.”

“Kok bisa?”

“Mereka sekarang sudah meninggalkan budaya nenek moyang kita. Aku berhasil meyakinkan mereka.”  Arya terlihat bangga.

“Jadi kerja apa mereka sekarang?”

“Ada macam-macam. Yang jelas, sekarang kehidupan mereka sudah lebih baik.”

“Ayah bagaimana?

“Ayahmu menjadi symbol perlawanan bersama masyarakat, aku membantunya di jalur hukum. Kami menang.  Tapi maaf, Ayahmu meninggal saat memaksa melawan mobil penghancur dari dinas kota yang menggusur paksa kampung kita.”

“Oh Ayah.” Melisa teriak sejadi-jadinya, dan lari keluar dari restoran itu.

***

“Termikasih Ayah.” ucap Lia di atas kuburan ayahnya.

***

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun