Seminggu ini seorang cheef Restoran absen, dan suasana liburan membuat pengunjung Restoran tak pernah sepi sehingga memaksa Remund turun tangan sendiri dari mulai meracik bumbu hingga menyiapkan menu pesanan.
Setiap hari Lintang datang membantu, dan nampaknya walau Remund belum bisa mengajaknya jalan-jalan seperti yang dijanjikan, Lintang tak keberatan. Ia justru menikmati hari-harinya di Restoran, dengan begitu ia bisa lebih mengetahui keseharian Remund tanpa kepura-puraan.
Biasanya setelah Restoran tutup Remund akan mengantar Lintang kembali ke hotel tempatnya menginap. Memanfaatkan sedikit waktu untuk mengobrol dan mengakrabkan diri.
Ternyata sebenarnya Lintang sangat enak diajak bicara, perempuan itu cukup berkelas dengan pengetahuannya yang tak bisa diremehkan. Biasanya di sela waktu luang, mereka bicara tentang banyak hal, dari mulai musik, film, buku, dan travelling. Lintang begitu antusias mendengarkan pengalaman Remund mengunjungi tempat-tempat dari satu negara ke negara lain di masa mudanya.
"Kau tahu.. Sejak kecil aku ingin pergi keliling dunia. Bahkan aku pernah bercita-cita memiliki sebuah rumah yang indah di tepi pantai," gumam Lintang seolah sedang membagikan mimpi masa kecilnya.
"Kau suka pantai?
Lintang mengangguk, tapi sesaat kemudian menerawang. Â
Remund menangkap kesedihan dalam kalimat Lintang, tapi ia tak berani menanyakan. Sejauh ini Remund hanya menjadi pendengar, tak pernah memaksa Lintang bicara masalah pribadinya, tapi Remund tidak suka setiap kali melihat  sepasang mata indah perempuan cantik itu berselimut kabut. Remund  benci melihat Lintang tidak bahagia.
"Semoga satu saat keinginanmu tercapai," ujar Remund memberi semangat.
Lalu dengan segera Lintang akan mengganti topik pembicaraan, dia menyesal dirinya begitu mudah terbawa perasaan.
Akhirnya setelah satu minggu absen Cheef Riffzi masuk juga. Remund mengirimkan pesan whatsapp singkat.
"Nanti tidak usah ke Resto, aku akan menjemputmu jam 7. Kita akan bersenang-senang."
Lintang menjawab singkat. Tiba-tiba hatinya bergemuruh riuh sekali.
Namun sesaat kemudian hati kecilnya mengingatkan kembali untuk tidak gegabah, larut dalam euforia bersama laki-laki asing yang baru lima bulan dikenalnya. Lintang memang menyukai Remund sejak pertama kali bertemu. Pertemuan demi pertemuan, Lintang tak menemukan cacat pada laki-laki berkebangsaan Jerman itu. Tapi hatinya pernah terluka, dan ia tak ingin berharap banyak, takut luka itu akan menganga kembali oleh sebab yang tak serupa.
Begitu pun Remund, Â dia menyadari perasaannya pada Lintang semakin tak terkendali. Entah mengapa dia merasa harus mencari alasan agar bisa selalu bertemu Lintang setiap hari.
Remund tahu, Lintang perempuan introvert yang hatinya dingin dan beku, Â namun justru keinginannya untuk mencairkan gunung es itu semakin kuat. Â
Pukul tujuh tepat, Remund tiba di Hotel tempat Lintang menginap. Laki-laki itu baru saja mengangkat ponselnya hendak menelepon ketika ekor matanya menangkap sosok perempuan yang dinantinya.
Lintang muncul mengenakan blouse katun bermotif bunga-bunga kecil dipadu dengan celana berbahan jeans dan sepatu kets putih. Nampak ia menuruni anak tangga setengah berlari.
"Apakah aku terlambat?" tanyanya sedikit terengah. Remund terpana, mulutnya setengah terbuka.
"Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Nampak seperti gadis remaja." Remund memuji setengah menggoda. Lintang tersenyum kecut, dan membatin. Â Laki-laki itu hanya merayunya, ia bahkan merasa terlalu tua untuk dibilang cantik. Tapi Lintang bisa merasakan jantungnya kembali berdebar, dengan t-shirt putih dan celana jeans yang dikenakannya, lelaki itu tampak semakin tampan mempesona.
Lintang menangkap sensasi butterfly in tummy. Tidak, mana mungkin dia jatuh cinta pada seorang lelaki asing? Tidak, jangan sampai, itu tidak ada dalam proposal hidup yang selama ini ia ajukan pada Sang Pemberi Jodoh.
Lintang mendengus lirih. Ah, bagaimana ia tak jatuh cinta jika tiap hari disuguhi pemandangan indah seperti ini? Remund yang selalu mengaku dirinya tak sempurna, tapi bagi Lintang ketidak sempurnaannya adalah hal yang sempurna di matanya.
Mereka beriringan menuju tempat parkir, lalu dengan sigap Remund membuka pintu untuk Lintang.
Tak butuh waktu lama, mobil yang dikemudikan Remund sudah meluncur menuju arah keluar Jakarta.
"Kamu akan bawa aku ke mana?" tanya Lintang heran.
"Aku akan mengajakmu bersenang-senang di pantai, tapi aku tak akan mengajakmu ke Ancol."
"Kenapa?" tanya Elena.
"Atau kau ingin ke sana? Aku pikir kamu pernah tinggal lama di Jakarta, Ancol pasti sudah sering kamu kunjungi. Aku takut kamu bosan."
Lintang menatap Remund, sejujurnya walau ia pernah lama tinggal di Jakarta, ia  hampir tak pernah ke sana. Dunianya hanya di sibukkan dengan pekerjaan. Tapi Lintang malu untuk mengakuinya.
"Carita... Aku pikir tempat yang menarik. Apakah kau punya tujuan yang lebih baik?" Remund balik bertanya. Menurutnya ini tempat terbaik yang tidak terlalu jauh dari Jakarta.
Lintang menggeleng cepat, dia sangat menyukai pantai. Di manapun tidak ada tempat yang lebih baik daripada pantai.
"So... kita ke Carita?" tanya Remund lagi yang segera dibalas anggukan Lintang.
Sepanjang perjalanan tak pernah sepi dari perbincangan. Sesekali diiringi derai canda. Lintang tidak pernah merasa seceria ini sejak ia menjalani hidup sebagai single parent. Dia menyukai Remund dan caranya membuat Lintang tertawa.
Beberapa kali Remund mencuri-curi memperhatikan manik mata perempuan di sampingnya yang seolah berpijar-pijar setiap kali berbicara. Setiap detil kecil yang Lintang  lakukan, seperti keajaiban di matanya.
Laki-laki yang telah lama kehilangan istrinya dan tertutup hati untuk wanita itu, Â telah jatuh cinta saat kali pertama pada Lintang.
Lintang, perempuan introvert  yang dingin dan beku, tapi mencair setiap kali berada di dekat Remund, laki-laki yang setiap berbincang dengannya selalu sehangat matahari.
Remund mengemudi dengan cepat, tapi tetap nyaman dan tidak ugal-ugalan. Lintang menyukai cara Remund mengemudi. Mereka tiba di pantai Carita menjelang siang.
Lintang memandang takjub pada pantai dengan panorama hamparan pasir putih yang luas serta lanskap Gunung Krakatau yang indah dari kejauhan.
Selain pemandangannya yang indah pantai ini juga memiliki kekayaan satwa seperti kera ekor panjang, lutung, biawak, ular sanca, alap-alap, dan burung elang. Mereka hidup di eksisinya hutan lindung yang luas membujur melindungi pantai.
Keduanya berjalan kaki menyusuri pantai sambil terus berbincang dan bersenda gurau. Sesekali saling mengambil photo satu sama lain, Lintang benar-benar merasa seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta.
"Kamu suka?" tanya Remund tiba-tiba ketika Lintang memperhatikan pasangan yang sedang bermain banana boat.
"Eh?" Elena gelagapan. "Iya," putusnya setelah berpikir sejenak.
"OK!" seru Remund
Remund tiba-tiba menggenggam tangan kanan Lintang dan menariknya agar berjalan lebih cepat. Laki-laki  itu tidak memperhatikan perubahan air muka Lintang yang memerah, tersipu berkali-kali seharian ini sementara  jantungnya seperti berloncatan di dada dalam waktu yang bersamaan.
Remund menyewa sebuah banana boat lalu menarik tangan Lintang.
"Hei... Aku tidak bawa baju ganti," tolak Lintang sedikit mundur. Alasan sebenarnya adalah ia takut air, walau menyukai pantai Lintang tak bisa berenang.
"No problem, kita cuma bersenang-senang. Nanti kita cari baju gantimu di toko kalau kamu mau," ujar Remund seraya memasangkan life vest ke badan Lintang.
Lintang memucat, tak yakin dengan apa yang akan ia lakukan. Tapi mengatakan yang sebenarnya ia malu. Remund menemukan keraguan di mata Lintang
"Kita hanya akan melakukan jika kamu mau." Remund menatap manik mata Lintang mencari sesuatu di sana.
Lintang tahu jika ia menolak, Remund pasti akan membatalkan, tapi ia tak tega. Laki-laki itu akan melakukan apa saja untuknya termasuk mengorbankan keinginannya sendiri.
"Aku tidak bisa berenang." Lirih ucapan itu keluar dari bibir tipis Lintang sambil menunduk. Remund tersenyum, menepuk bahu Lintang.
"Ok.. Aku tak memaksa jika kamu tak mau. Kita cari permainan yang lain."
Lintang mendesah, permainan apa yang bisa dilakukan di pantai, jet sky, banana boat, berselancar, Â perahu kano... Dan semuanya berujung pada resiko jatuh ke air.
"Remund, aku mau," Lintang berseru meyakinkan Remund.
"Kamu yakin?" Remund menatap Lintang. Perempuan ini keras kepala dan harga dirinya cukup tinggi juga, batinnya.
Mereka segera bersiap, Remund menempatkan Lintang di depan, walau sebenarnya bagi seseorang yang belum berpengalaman posisi itu sulit karena butuh kelihaian menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh. Tapi setidaknya dengan posisi seperti itu, Remund akan mudah menangkap bila Lintang jatuh.
Pelahan balon karet berbentuk pisang raksasa itu mulai meluncur di air. Lintang memejamkan mata, dan berpegangan erat pada  pengaman yang dipasangkan Remund,  hatinya gemuruh, antara takut dan takjub. Perahu pisang bergerak sedikit demi sedikit, lama-lama makin cepat. Meliuk-liuk di air mengikuti deburan ombak.
Lintang mulai bisa menikmati, pelahan ia membuka matanya, pipinya merona kembali. Hantaman ombak kecil menyapa kakinya, menimbulkan sensasi blooming di dadanya. Seakan riak-riak ombak menggelitiki dadanya dan menggusur ragunya hingga dirasa jiwanya terbebas dari semua yang menghimpit perasaannya selama ini.
Remund lega melihat rona merah dipipi Lintang kembali berseri.
Keinginan isengnya timbul, dengan sedikit gerakan, perahu menyeliut ke kanan hingga sedikit oleng. Lintang berteriak kaget, reflek ia mencengkeram bahu Remund yang berada tepat di belakangnya. Namun demi melihat Remund tertawa gelak, Lintang melotot galak. Tapi tak urung ia tertawa juga menyadari Remund baru menjailinya. Tawa keduanya pun pecah bersahutan hingga akhirnya permainan berakhir dan kembali ke pantai.
Lintang menolak ketika Remund menawarkan untuk membeli baju ganti.
"Nanti juga kering sendiri," ujarnya.
Menjelang senja ketika mereka berjalan menuju pintu keluar. Â Untuk beberapa saat lamanya Lintang memperhatikan langit yang mulai gelap dan cahaya lampu warna-warni menjadi paduan serasi yang begitu indah di matanya.
"Indah ya," bisik Remund
Lintang mengangguk tanpa melepas pandangannya dari cahaya lampu warni-warni yang nampak dari kejauhan.
Lintang benar-benar dimanjakan serasa bak tuan Putri oleh Remund. Bahkan laki-laki itu telah memesan tempat dengan pemandangan terbaik di sebuah restoran mahal, di mana mereka bisa menikmati suasana pantai sekaligus makanan kesukaan Lintang dalam waktu bersamaan.
"Kau menyukai hari ini? Ini tempat terindah terdekat yang aku tahu. Mungkin lain kali kita bisa pergi ke tempat lain kalau kamu mau."
"Ya aku sangat menyukainya," sahut Lintang, lalu mengalihkan pandangannya dari arah pantai dan menemukan sepasang mata biru itu tengah memperhatikannya sambil tersenyum. Lintang tersipu.
Remund pun tak kalah bergelora hatinya, perempuan ini benar-benar telah membuatnya jatuh cinta.
Remund mengizinkan Lintang memilihkan menu makan malam. Ia tahu Lintang adalah penyuka hampir semua jenis makanan laut, tapi Remund juga tahu, makanan laut banyak menyimpan kenangan pahit bagi Lintang. Dan Remund tak ingin menu yang ia pilih akan membuka luka lamanya.
Lintang memesan beberapa menu makanan. Udang Windu Bakar Madu porsi jumbo, Â Kepiting Saus Tiram, Sup Asparagus, Cah Baby Kailan, dua porsi Nasi Putih, satu gelas Es Kelapa Muda dan satu botol Air Mineral.
"Tambahkan Fresh Milk," pinta Remund
"Fresh Milk?" tanya Lintang heran.
"Iya, walau aku sudah lama tinggal di Indonesia, tapi aku tidak suka pedas. Fresh Milk akan menetralisir rasa pedas dan panas di lidah," jawab Remund.
"Makanan Indonesia identik dengan pedas, kebanyakan dimasak dengan rempah dan cabai."
"Sedangkan susu mengandung protein yang efektif mengurangi capsaicin pada reseptor di lidah. Capsaicin adalah senyawa kimia pada cabai yang menimbulkan rasa pedas, sehingga membuat lidah terasa panas dan tubuh berkeringat."
Lintang tersenyum geli, selama ini ia belum pernah membayangkan laki-laki itu berkeringat karena kepedasan. Sesaat keduanya terdiam
"Apa aku boleh tanya sesuatu?" tanya Lintang setelah terdiam beberapa saat.
"Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Apa pendapatmu tentang Homo erectus commitment phobe, manusia yang mempunyai ketakutan terhadap komitmen," Pertanyaan Lintang membuat kening Remund mendadak berkerut.
"Apakah itu yang membuatmu tidak menikah lagi?" Lintang menatap Remund tajam, tapi buru-buru ia menunduk.
"Maaf, tidak usah dijawab kalau kamu tidak mau. Anggap saja pertanyaanku ngelantur."
Remund balas menatap Lintang tajam.
"Kau yakin ingin tahu jawabnya?" Lintang mengangguk.
"Dulu aku sering ganti-ganti wanita. Tapi tak pernah ada yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Â Seperti yang kau tanyakan, bahwa secara ilmiah pria dapat memisahkan cinta dan seks, tetapi wanita tidak bisa. Itulah kenapa sebagian laki-laki takut untuk berkomitment"
"Aku pernah baca, delapan puluh persen tipikal laki-laki seperti itu kan? Contohnya Don Juan, Casanova, Lothario dan masih banyak lagi." Lintang mencari kebenaran kalimatnya di mata Remund.
"Ehmmm.. aku membaca sebuah novel karya Laura Zigman, Animal Husbandry" Lintang mempertegas. Remund tertawa, membuat Lintang  melotot penasaran.
Percakapan mereka terhenti ketika pelayan mengantarkan menu pesanan. Lalu mereka menikmati makanan sambil terus berdiskusi dan bercerita pengalaman masing-masing.
"Lintang," bisik Remund. Sorot mata laki-laki itu akhirnya melelehkan hati Lintang.
"Sewaktu aku muda, aku memang pernah tidur lebih dari satu wanita, tapi aku tak pernah sekali pun mengatakan cinta. Aku berkencan dengan beberapa orang perempuan, tanpa peduli berapa yang sudah aku sakiti. Dan bagi orang-orang di Negaraku, budaya melazimkan hal seperti itu."
"Setelah ayahku meninggal, ibu minta pulang ke Indonesia. Kami membuka kedai dari hasil menjual rumah kami di Jerman, Â dan Restoran yang kau lihat itu adalah kedai yang kami bangun di awal kepindahan kami ke Indonesia. Itulah buah dari kerja keras kami."
"Lalu kau menikah?" potong Lintang. Remund menggeleng.
"Hingga ibu divonis menderita sakit jantung. Ibu menyuruhku menikah, aku tidak tega menolak dan terpaksa menikah dengan perempuan yang tidak pernah aku cintai."
Remund menegak air mineralnya yang tinggal seperempat botol. Lalu memainkan botol kosong itu dengan ujung jarinya.
"Aku tak pernah jatuh cinta pada perempuan pilihan ibuku itu, aku perlakukan dia hanya sebagai teman tidur, bahkan saat dia hamil aku juga tak peduli. Walau aku tahu sesungguhnya dia mencintai aku."
"Ketika dia meninggal saat melahirkan anak kami, saat itulah aku baru merasa bersalah. Melihat bagaiman dia berusaha dengan gigih mempertahankan bayinya dengan taruhan nyawa, walau akhirnya keduanya tidak terselamatkan."
"Aku seperti tersadarkan, hidupku tidak punya arah selama ini, sedangkan kematian itu begitu nyata, dekat dan tak kenal umur. Sejak saat itu aku mencari Tuhan, Â dan akhirnya menemukan jalan sebagai seorang muslim."
Remund masih menunduk, menatap lantai dengan pandangan nanar. Kemudian pelahan ia menatap Lintang.
"Aku memang bukan orang baik, tetapi aku sedang berusaha menjadi baik. Dan kamu adalah orang pertama yang pernah kugandeng tangannya di depan orang banyak. Jantungku berdebar dan rasa ingin melindungi sejak aku pertama melihatmu malam itu. Â Perasaan yang tidak pernah ada sebelumnya. Â Aku pikir aku sudah jatuh cinta padamu, Lintang." Remund menyentuh anak rambut Lintang dengan telunjuknya.
"Perasaan ini sungguh sangat berbeda. Beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa teori Homo Erectus Commitment Phobe-mu itu salah. Aku bukan sapi yang mengawini dua betina dalam satu kurun waktu, tetapi aku bisa menjadi angsa atau merpati yang tak pernah ingkar janji, setia pada satu wanita."
"Aku ingin kamu memberikan harapan dan mempercayai bahwa di luar sana cinta sejati itu masih ada."
Lintang tercekat, tak sepatah kata pun terucap. Sesungguhnya dia pun memiliki  perasaan yang sama, tetapi dia merasa terlalu terburu-buru untuk mengungkapkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan,  Lintang juga tak ingin lukanya menganga kembali.
Berbeda dengan tadi pagi, sepanjang perjalanan pulang keduanya banyak diam. Sibuk meredakan detak jantung masing-masing, walau detaknya sama tak berirama, tapi maknanya bisa jadi  serupa dengan pikirannya masing-masing yang berbeda. Remund  tersenyum, ada kelegaan bisa meluahkan perasaannya dan menikmati setiap detik kebersamaannya bersama Lintang.
Mobil berhenti tepat di depan Lobby. Lintang bangun, dan bersiap turun.
Remund turun lebih cepat dan membukakan pintu untuk Lintang. Sejenak menatap Lintang lalu mencondongkan wajahnya mendekat ke wajah Lintang, tetapi perempuan itu dengan cekatan menghindar.
"Aku sangat bahagia hari ini, tolong jangan kacaukan perasaanku.  Buktikan kalau teori Homo Erectus itu salah, dan berusahalah agar  aku  jatuh cinta padamu."
Remund tersenyum penuh arti, tentu saja, lihat satu saat nanti.
"Terima kasih untuk hari ini, Lintang. Selamat istirahat dan tidurlah dengan nyenyak."
Lintang menjawabnya dengan sebuah senyuman kemudian masuk, menghilang ke dalam Lobby dengan perasaan yang tidak karuan. Bahkan hingga malam tak sedetikpun ia dapat memejamkan mata.
Bahagia menari-nari di benaknya, sementara berbagai perasaan bergelut menyesakkan dadanya. Apakah ini waktunya membuka lembaran baru? Tidakkah terlalu cepat? Ada gamang yang menyusup, bagaimana jika kecewa lagi? Dan menikah dengan laki-laki asing juga tak pernah ada dalam proposal hidupnya. Ah... Lintang menyerah, semua debaran rasanya berbaur lelah, biarlah semua mengalir seperti air yang akan sampai ke muara pada akhirnya nanti.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H