"Aku ingin kamu memberikan harapan dan mempercayai bahwa di luar sana cinta sejati itu masih ada."
Lintang tercekat, tak sepatah kata pun terucap. Sesungguhnya dia pun memiliki  perasaan yang sama, tetapi dia merasa terlalu terburu-buru untuk mengungkapkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan,  Lintang juga tak ingin lukanya menganga kembali.
Berbeda dengan tadi pagi, sepanjang perjalanan pulang keduanya banyak diam. Sibuk meredakan detak jantung masing-masing, walau detaknya sama tak berirama, tapi maknanya bisa jadi  serupa dengan pikirannya masing-masing yang berbeda. Remund  tersenyum, ada kelegaan bisa meluahkan perasaannya dan menikmati setiap detik kebersamaannya bersama Lintang.
Mobil berhenti tepat di depan Lobby. Lintang bangun, dan bersiap turun.
Remund turun lebih cepat dan membukakan pintu untuk Lintang. Sejenak menatap Lintang lalu mencondongkan wajahnya mendekat ke wajah Lintang, tetapi perempuan itu dengan cekatan menghindar.
"Aku sangat bahagia hari ini, tolong jangan kacaukan perasaanku.  Buktikan kalau teori Homo Erectus itu salah, dan berusahalah agar  aku  jatuh cinta padamu."
Remund tersenyum penuh arti, tentu saja, lihat satu saat nanti.
"Terima kasih untuk hari ini, Lintang. Selamat istirahat dan tidurlah dengan nyenyak."
Lintang menjawabnya dengan sebuah senyuman kemudian masuk, menghilang ke dalam Lobby dengan perasaan yang tidak karuan. Bahkan hingga malam tak sedetikpun ia dapat memejamkan mata.
Bahagia menari-nari di benaknya, sementara berbagai perasaan bergelut menyesakkan dadanya. Apakah ini waktunya membuka lembaran baru? Tidakkah terlalu cepat? Ada gamang yang menyusup, bagaimana jika kecewa lagi? Dan menikah dengan laki-laki asing juga tak pernah ada dalam proposal hidupnya. Ah... Lintang menyerah, semua debaran rasanya berbaur lelah, biarlah semua mengalir seperti air yang akan sampai ke muara pada akhirnya nanti.
**