Rindang menyikut Khalisa yang tertunduk sibuk menenangkan detak jantungnya yang terus mengentak-entak. Khalisa menoleh salah tingkah, dia bahkan terlalu sibuk dengan debaran hatinya hingga lupa mengucapkan terima kasih. Dan ketika mengangkat wajahnya, laki-laki dengan almamater biru itu sudah tak nampak.
"Lho, Kemana dia, Rin?" tanya Khalisa. Rindang cuma mengangkat bahu dengan mimik lucu.
"Jadi itu pangeran yang selama ini kamu cari?" selidik Rindang memastikan. Khalisa mengangguk.
"Pantesan kamu nyarinya sampai kayak orang gila. Dia cakep, sih."
"Issshhh, apaaan, sih," elak Khalisa.
"Bukan karena dia cakep, Rin. Tapi dari cara dia menjawab doaku waktu bersin itu nunjukin kalau dia seorang yang paham agama. Jarang lho laki-laki seumuran kita yang paham hal sunnah kecil seperti itu. Apalagi mengamalkannya. Aku yakin dia seorang yang bagus agamanya. Mudah-mudahan dia benar-benar ditakdirkan menjadi imamku ya, Rin." Mata Khalisa menerawang. Ada untaian harap yang terselip di sana
"Aamiin." Rindang mengamini sambil mengelus pundak sahabatnya.
"Tapi dia sudah hilang lagi, sebelum aku sempat kenalan." Ada sesal mengalun pada ucapan Khalisan, embun di sudut matanya mulai mencair.
"Kalau kamu percaya dia jodohmu, pasti akan ada jalan buat bertemu," hibur Rindang sambil menatap lekat mata Khalisa. Mencoba menanamkan keyakinan di sana.
"Iya juga, sih. Semoga aja," harap Khalisa.
"Udah, yuk semangat!" Rindang mengalihkan perhatian. Khalisa tersenyum tipis.