"Kamu masih mikirin orang itu?" Pertanyaan Rindang siang itu mengalihkan perhatian Khalisa dari ponsel yang sedang dimainkannya. Yang ditanya cuma mengangguk sekilas, lalu kembali fokus pada ponselnya."Yaelah .... Kenal juga enggak," cemooh Rindang. Khalisa menutup ponselnya dan memandang Rindang serius.
"Rin, kamu nggak bakalan ngerti seperti apa rasanya. Dari seluruh gerbong KRL hari itu, hanya dia yang mendoakan aku. Kami saling mendoakan, Rin. Dan itu lebih syahdu dari rintik hujan yang turun siang itu," tukas Khalisa tak mau kalah.
"Bayangin hari itu suasana dalam gerbong yang bau membuat hidungku bereaksi. Aku bersin dan saat setelah aku mengucap 'Alhamdulillah' ada seseorang yang menjawab 'Yarhamukillah' terus reflek aku jawab lagi 'Yahdikumullah'." Khalisa menatap Rindang lekat, sementara yang ditatap cuma manggut-manggut tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel yang dimainkannya.
"Rin, nggak mungkin 'kan dia jawab 'Yarhamukillah' kalau dia belum lihat aku," kenang Khalisa.
"Ya ... siapa tahu aja yang jawab kakek-kakek. Emang kamu mau sama kakek-kakek?" ledek Rindang sambil tersenyum kejam.
Secepat kilat bantal bersarung Hello Kitty mendarat di kepala Rindang, dan tawa pun pecah bergema.
"Atau mungkin juga ada ibu-ibu bersuara bariton yang lagi cari calon menantu shaliha, jadi dia menguji lewat doa." Rindang menganalisa sekenanya.
"Nggak, Rin. Aku percaya seseorang yang memakai almamater warna biru itu pelakunya. Saat menjawab 'Yarhamukillah' aku melihat ekor matanya mencuri pandang ke arahku." Khalisa berujar tegas.
"Dia pasti manusia langka abad ini," lanjut Khalisa sambil setengah menerawang.
Rindang cuma memandang sahabatnya dengan iba. Begitu besarkah harapan Khalisa hanya karena sepotong doa yang diucapkan seseorang di gerbong KRL, yang mungkin saja diucapkan secara tidak sengaja, atau bahkan reflek sebagai layaknya seorang muslim mendoakan saudaranya seiman.
Dan belakangan ini Khalisa lebih sering naik KRL meski tak ada tujuan yang jelas, terutama pada jam saat dia satu gerbong dengan seseorang yang belum diketahui siapa dia sebenarnya.
"Khay, sampai kapan kamu begini?" tanya Rindang menelisik.
"Begini? Apanya?" Khalisa pura-pura tidak mengerti maksud sahabatnya. Matanya menyibak satu per satu penumpang yang baru naik gerbong.
"Sampai kapan kamu akan mencari jodoh khayalanmu itu di sini? Dalam gerbong yang bahkan kamu tidak tahu wajahnya seperti apa. Nggak mungkin juga kamu menguji setiap penumpang dengan kalimat 'Yarhamukillah' lalu kau samakan dengan suara kali itu." Rindang berusaha menyadarkan Khalisa.
Khalisa bergeming, menatap sebentar wajah sahabatnya, lalu tersenyum kecut dan kembali tertunduk.
"Aku sedang ikhtiar, Rin. Mencari seseorang yang dengan rela mendoakan aku tanpa tapi dan tanpa syarat hari itu." Lirih Khalisa berkata dengan suara sedikit mengambang. Ada sebongkah rasa yang dia tahan, hingga bibirnya terbata mengeja kata. Matanya mengembun.
Rindang mengelus pundak sahabatnya. Dia paham siapa Khalisa, gadis itu telah menjadi yatim sejak dalam kandungan. Ibunya menitipkan bayi kecil Khalisa yang baru berusia tiga bulan pada neneknya, lalu pergi menjadi pejuang devisa di negeri Jiran. Hingga usianya hampir dua puluh dua tahun, hanya beberapa kali dia sempat bertemu ibunya, bahkan dua tahun terakhir ibunya tak pernah pulang setelah menikah lagi dengan pria negeri Jiran. Keadaan telah membentuk pribadinya  menjadi seorang perempuan yang mandiri dan menikmati kesendirian.
Khalisa sudah terbiasa dengan tidak ada kalimat  'jangan lupa sarapan' di pagi hari, Tidak ada 'jangan lupa belajar' di sore hari. Tak ada  ucapan 'selamat tidur' di malam hari.  Tidak juga ada pelukan dan ucapan selamat setiap kali dia meraih rangking pertama di kelasnya.
Bahkan ketika mendapat bea siswa untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi di Ibukota propinsi pun, hanya pelukan rapuh seorang nenek yang mengiringinya dengan sebait doa dan urai air mata.
Maka ketika seseorang yang belum dikenalnya menyisipkan doa sederhana di gerbong KRL, Khalisa seperti mendapatkan belaian  tangan malaikat yang menyejukkan hatinya dan menumbuhkan banyak harapan.
Secuil perhatian membuatnya tersadar betapa berbedanya kesendirian dengan kesepian. Dan seseorang di gerbong KRL itu telah memberi sebuah harapan hanya lewat doa sederhana.
Hati Rindang tersentuh, dia bisa merasakan bagaimana jika  berada di posisi Khalisa, kedua mata Rindang mulai terasa panas, dia merasa sesuatu berdesakan dari sudut matanya, memaksa untuk menganak sungai.
*
Bulan berganti, entah sampai kapan Khalisa bertahan dengan pencariannya. Bahkan Rindang sudah mulai bosan membersamainya. Tujuan yang tak pasti dan kegiatan lainnya membuatnya merasa lelah menemani sahabatnya.
Pagi itu suasana auditorium cukup ramai. Kampus tempat Khalisa mengadakan bazar murah menyambut Ramadhan. Khalisa nampak sibuk mengatur stand kerajinan tangan yang di buatnya bersama Rindang.
Suasana panas dan pengap mulai menjalar. Pengunjung pun mulai memadat. Hidung Khalisa mulai bereaksi, tak kuasa menyembunyikan alergi. Dan bersin tak mampu ditahan apalagi menolak.
"Alhamdulillah," syukur Khalisa setelah bersin.
"Yarhamukillah." Seseorang menjawab dengan doa. Tubuh Khalisa mengejang, suara itu .... Suara yang sama dengan suara yang pertama kali didengar di gerbong KRL siang itu.
"Yahdikumullah," Â ucap Khalisa lirih, tiba-tiba dadanya bergemuruh hebat saat ekor matanya menangkap sosok laki-laki memakai almamater biru yang selama ini dia cari.
Hidung Khalisa seperti tak kenal kompromi, rasa gatal mendesak menuntut untuk dikeluarkan, tanpa bisa menahan Khalisa bersin lagi.
"Alhamdulillah," ucapnya sambil menutup hidung dengan tangan kanannya, Â dia merasa ada cairan kental yang ikut melesat keluar, tangan kirinya panik mengaduk-aduk isi tasnya mencari tissue.
"Yarhamukillah." Suara itu begitu dekat, Khalisa menoleh. Dan seketika jantungnya seperti berpacu di arena balap motor. Laki-laki dengan almamater biru itu telah ada di sampingnya. Muka Khalisa memerah, antara malu menahan hidungnya yang tak mengenal etika, dan Khalisa benar-benar tak bisa menahan. Dia bersin lagi.
Kali ini laki-laki itu menyodorkan sebungkus tissue pada Khalisa, malu-malu Khalisa mengulurkan tangan mengambil tissue yang disodorkan. Lalu mengangguk sambil tersipu. Pipinya yang putih seketika merona, Khalisa menunduk berusaha meredakan debaran di dadanya yang tak lagi beritme.
Rindang menyikut Khalisa yang tertunduk sibuk menenangkan detak jantungnya yang terus mengentak-entak. Khalisa menoleh salah tingkah, dia bahkan terlalu sibuk dengan debaran hatinya hingga lupa mengucapkan terima kasih. Dan ketika mengangkat wajahnya, laki-laki dengan almamater biru itu sudah tak nampak.
"Lho, Kemana dia, Rin?" tanya Khalisa. Rindang cuma mengangkat bahu dengan mimik lucu.
"Jadi itu pangeran yang selama ini kamu cari?" selidik Rindang memastikan. Khalisa mengangguk.
"Pantesan kamu nyarinya sampai kayak orang gila. Dia cakep, sih."
"Issshhh, apaaan, sih," elak Khalisa.
"Bukan karena dia cakep, Rin. Tapi dari cara dia menjawab doaku waktu bersin itu nunjukin kalau dia seorang yang paham agama. Jarang lho laki-laki seumuran kita yang paham hal sunnah kecil seperti itu. Apalagi mengamalkannya. Aku yakin dia seorang yang bagus agamanya. Mudah-mudahan dia benar-benar ditakdirkan menjadi imamku ya, Rin." Mata Khalisa menerawang. Ada untaian harap yang terselip di sana
"Aamiin." Rindang mengamini sambil mengelus pundak sahabatnya.
"Tapi dia sudah hilang lagi, sebelum aku sempat kenalan." Ada sesal mengalun pada ucapan Khalisan, embun di sudut matanya mulai mencair.
"Kalau kamu percaya dia jodohmu, pasti akan ada jalan buat bertemu," hibur Rindang sambil menatap lekat mata Khalisa. Mencoba menanamkan keyakinan di sana.
"Iya juga, sih. Semoga aja," harap Khalisa.
"Udah, yuk semangat!" Rindang mengalihkan perhatian. Khalisa tersenyum tipis.
"Semangat, dong!" ujar Rindang lagi
"Iya ... iya. Semangat," jawab Khalisa, bibirnya membentuk senyum yang lebih lebar. Ada kelegaan yang menyeruak hadir di hati Rindang melihat senyum sahabatnya.
*
Siang itu Khalisa pulang kuliah sendiri. Sudah dua hari Rindang sakit. Berjejal di gerbong KRL yang panas dan pengap, seperti biasa hidung Khalisa berontak. Alerginya tak bisa diajak kompromi, bersin pun tak bisa ditahannya.
"Alhamdulillah," desisnya lirih, bahkan terlalu lirih untuk bisa di dengar sendiri.
"Yarhamukillah." Tiba-tiba seseorang sudah berdiri di sampingnya sambil menyodorkan sebungkus tissue. Khalisa terpaku tak percaya pada pengelihatannya. Laki-laki dengan almamater biru itu tersenyum, menampakkan sederetan giginya yang putih dan rapi.
"Yahdikumullah," ucap Khalisa lirih.
"Makasih," ujarnya lagi sambil menyodorkan kembali sebungkus tissue yang diambilnya selembar.
"Ambil aja! Kamu sering bersin dan aku lihat kamu selalu lupa bawa tissue." Laki-laki itu menolak tissue yang disodorkan. Khalisa tersipu malu, pipinya memerah, dia memang sering lupa membawa tissue padahal harusnya benda kecil itu selalu ada di tasnya, karena dirinya bisa bersin di mana saja saat hidungnya bereaksi.
"Alergi?" tanya laki-laki itu lagi. Khalisa mengangguk
"Harusnya kamu bawa anti histamin supaya kalau sewaktu-waktu kambuh nggak repot."
"Biasa cuma bersin. Nanti kalau sudah kena udara segar juga hilang sendiri," ujar Khalisa menerangkan, tak berani menatap muka laki-laki itu, Â khawatir laki-laki itu tahu kalau dirinya begitu gugup, Â jantungnya riuh bergemuruh.
"Oh ya, Affan," ujar laki-laki itu sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Khalisa," jawab Khalisa membalas dengan gerakan yang sama. Diam-diam penasaran, dengan ekor matanya, dia melirik ke arah laki-laki itu. Namun seketika tertunduk, laki-laki itupun tengah melakukan hal yang sama. Jantung Khalisa seakan hendak melompat keluar, molekul-molekul  malu mengaliri seluruh nadinya.
Keduanya masih menikmati pikiran dalam diam, seakan menyembunyikan debaran di hati masing-masing, dan bicara hanya akan membuat debaran itu semakin kencang.
KRL tiba di stasiun di mana Khalisa harus turun.
"Maaf aku turun di sini." Khalisa mengangguk sekilas untuk pamit. Tapi laki-laki itu justru ikut berdiri.
"Aku juga turun di sini." ujarnya lalu mengikuti Khalisa yang sudah turun lebih dulu.
Khalisa semakin gugup dan salah tingkah, tak tahu harus mempercepat langkahnya atau menunggu agar dapat berjalan bersama. Â Rasa malu menuntun kakinya berjalan lebih cepat, tapi di sisi lain dia ingin berbincang lebih banyak dengan laki-laki itu, sungguh dia ingin mengenal lebih jauh, tapi pantaskah seorang perempuan menanyakan pribadi orang yang baru dikenalnya ? Pikirannya absurt, hingga tanpa sadar menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.
"Astagfirullah," ucapnya terkejut. Tumpukan buku terlepas dari tangannya dan berhamburan ke lantai. Sementara orang yang menabraknya hanya menoleh sekilas lalu pergi tanpa merasa bersalah.
Khalisa memungut buku-bukunya dengan cemberut. Tiba-tiba tangannya terhenti ketika ada tangan lain memungut buku yang sama. Khalisa mendongak, seketika matanya bersitubruk dengan pemiliknya, si almamater biru.
"Maaf," ujar Affan ketika menyadari tangannya menyentuh tangan Khalisa. Ditariknya tangannya segera. Khalisa yang tersipu pun melakukan hal sama. Lalu keduanya tertawa.
Affan memungut buku-buku yang berserakan dan dengan sigap menyerahkan pada Khalisa.
"Lain kali hati-hati," pesan Affan.
"Makasih," jawab Khalisa. Tak sengaja pandangannya menyapu wajah laki-laki itu, wajah putih, iris matanya tajam bernaung di bawah sepasang alis yang melekung sempurna. Hidung mancung dan bibir yang  kemerahan bertahta di bawah kumis tipis yang berbaris rapi.  Duhai sungguh ciptaan Allah yang sempurna.
Khalisa ingin berlama-lama menikmati keindahan wajah laki-laki itu, tapi nuraninya menampar keras. Tak layak seorang gadis memandang laki-laki dengan kekaguman yang bukan menjadi haknya. Khalisa segera menundukkan pandangannya.
"Khalisa, kamu nggak apa-apa?" tanya Affan cemas ketika melihat Khalisa hanya terdiam sambil jongkok memeluk buku-bukunya.
"Eh, iya. Aku nggak apa-apa, kok," jawabnya gugup, segera berdiri sambil merapikan ujung gamisnya.
"Syukurlah." Laki-laki itu nampak lega
"Apakah aku boleh mengantarmu pulang? Kamu kelihatan kurang sehat."
Degggg
Jantung Khalisa serasa berhenti berdetak beberapa detik. Tak salahkan pendengarannya? Atau barangkali dirinya sedang bermimpi? Diinjaknya ujung kaki kirinya dengan kaki kanannya. Sakit ... itu artinya dia sedang tidak bermimpi.
"Eh, asal tidak merepotkan." Entah keberanian darimana kalimat itu meluncur tiba-tiba.
"Insyaa Allah. Kita 'kan searah."
Khalisa hanya mengangguk pasrah ketika Affan mengambil alih tumpukan buku yang ada di tangannya. Merekapun berdua berjalan meninggalkan stasiun, panas teriknya ibukota dengan segala riuh kemacetan, tak mampu mengalahkan debaran di hati keduanya, riuh dan bergemuruh oleh rasa yang tak bisa diungkap dengan kata. Mata Khalisa berbinar bahagia, sepanjang jalan ia merangkai banyak harapan yang dia selipkan dalam doa.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H