Membaca puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, aku tidak bisa hanya mengandalkan mata untuk mengawasi setiap kata yang terbaca. Juga tidak hanya pikiranku untuk menduga-duga, walaupun pada hakikatnya aku sedang menduga-duga.Â
Aku harus berulang-ulang membacanya dari yang pertama hingga entah yang keberapa. Aku juga harus membawa puisi-pusi itu kemana pun aku berpindah tempat, dari meja kerjaku, ke teras rumah lalu masuk ke ruang tamu, hingga aku berbaring di kamar lalu kunyalakan lampu agar lebih terang setiap kata puisi Sapardi dapat kutandai.Â
Dari kebiasanku ini, tepat di saat kubaringkan tubuh bersama buku "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?", pikiranku tertuju pada dua puisi. Aku berusaha mengetuk pintunya dan berharap kedua puisi itu menemuiki.
Pertemuan Pertama: Tiga Model untuk Sebuah Komunikasi
Beruntung aku bisa menemui "Tiga Percakapan Telepon", namun apakah aku juga beruntung dapat memaknai kehadiran kalian? Seperti namamu, mereka bertiga. Mereka tanpa nama, hanya nomor sebagai penanda. Aku mengetuk puisi yang pertama:
/1/
"Jadi kau tak akan kembali?
Kenapa tidak dulu-dulu bilang
bahwa kau ....?"
"Aku capek."
"akan meninggalkannku,