"Ojo kesusu" -Presiden Joko Widodo, menyitir petuah Jawa.
Seorang suami kepergok istrinya sedang makan siang berdua dengan seorang perempuan di sebuah restoran.Â
Istri: "Dasar laki-laki tukang selingkuh!"
Suami: "Ini tidak seperti yang kamu lihat. Saya bisa jelaskan."
Istri: Â "Aku sudah lihat! Tak ada lagi yang perlu dijelaskan! !"
Benarkah sang suami selingkuh? Bagaimana kalau perempuan teman makan siang itu adalah calon mitra bisnis? Atau mungkin konsultan pajak?
Apapun itu, istrinya sudah langsung menyimpulkan suaminya selingkuh. Tanpa memeriksa fakta lebih dalam. Cukup pakai framing subyektif saja. Â
Framing etnosentrisme. Menilai dan menyimpulkan tindakan orang lain secara kilat berdasar nilai-nilai, anggapan-anggapan, dan pengalaman pribadi atau kelompok sendiri.
Itu namanya istri ke-su-su. Â Keburu nafsu menyimpulkan makna secuil fakta.
Ojo Kesusu Itu Multi-faset
"Ojo kesusu," jawab Presiden Joko Widodo, Jokowi, saat ditanya wartawan tentang siapa capres atau cawapres yang direstuinya.
Pak Jokowi itu orang Jawa tulen. Dalam konteks budaya Jawa, ucapan "ojo kesusu" itu multi-faset. Bisa ditujukan pada siapa saja.
Bisa pada Suryo Paloh yang kesusu menetapkan Anies Baswedan sebagai bacapres Koalisi Perubahan. Atau pada Muhaimin Iskandar yang kesusu menyeberang dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) ke Koalisi Perubahan demi menjadi bacawapres.
Bisa juga pada Prabowo Subianto yang kesusu melamar Gibran Rakabuming Raka yang masih "hijau" sebagai bacawapresnya. Atau kepada Gibran agar ojo kesusu menerima pinangan Prabowo.
Atau bisa juga kepada Megawati Sukarnoputri yang kesusu menetapkan Machfud MD sebagai bacawapres Koalisi PDIP. Zonder menanti kepulangan Presiden Jokowi dari Arab Saudi.Â
Bahkan bisa saja kepada Machfud.  Mungkin dia dinilai kesusu menjadi bacawapres Koalisi PDIP, tanpa bicara dulu empat mata.
Juga bisa saja kepada para wartawan sebagai "penyambung lidah" khalayak. Mereka dinilai kesusu karena tak sabaran menunggu putusan Mahkaman Konstitusi (MK) tentang batas umur capres/cawapres.
Satu hal yang pasti, ujaran "ojo kesusu" dari Pak Jokowi itu adalah indikasi bahwa dirinya gak kesusu. Â Artinya cawe-cawe Presiden Jokowi terkait Pilpres 2024, termasuk nama-nama capres/cawapres, bukan sesuatu yang impulsif. Â Mendadak muncul beberapa bulan sebelum 14 Februari 2024.
Tidak, tidak seperti itu. Â Terlalu naif jika berpikir begitu.
Kepentingan Nasional
Saya berpikir begini -- boleh setuju atau gak setuju.
Saya menduga Jokowi  telah cawe-cawe sejak 2019. Berdasar hasil pengamatannya tentang dinamika idiologi, politik, ekonomi dan sosial Indonesia sepanjang  periode pertama kepemimpinannya (2014-2019). Serta pemahamannya atas kaitan dinamika itu dengan proses menuju Indonesia Maju (Emas) tahun 2045.
Jika bukan karena cawe-cawe, buat apa menarik Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, pasangan pesaingnya dalam Pilpres 2019 ke dalam kabinet?
Buat apa juga pemerintah membubarkan dan melarang eksistensi organisasi-organisasi HTI dan FPI di NKRI ini?
Buat apa pula Jokowi mengaku punya data intelejen tentang perilaku partai politik di Indonesia?
Mikir!
Ada kepentingan nasional di balik cawe-cawe Jokowi. Katanya, kesempatan Indonesia menjadi negara maju hanya 13 tahun ke depan. Salah pilih presiden, hilang itu kesempatan.
"Karena itu," kata Pak Jokowi, "saya cawe-cawe. Â Saya tidak akan netral karena ini kepentingan nasional."
Jelas bahwa Jokowi punya gagasan tentang suatu pasangan ideal presiden/wapres Â
Kepentingan nasional? Macam apa itu?
Ya, kedaulatan nasionallah. Â Kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Tegaknya Pancasila dan UUD 1945. Adakah kepentingan nasional yang lebih besar dari itu?
Hanya dan hanya keterancaman kedaulatan nasional satu-satunya alasan yang sah dan benar bagi Presiden Jokowi untuk cawe-cawe dalam dinamika politik Pilpres 2024. Sekalipun cawe-cawe itu berarti mengubah hukum atau memainkan politik nepotistik -- setidaknya seperti tampak di permukaan.
Artikulasi kedaulatan nasional itu terbaca dalam sejumlah kebijakan dan program strategis Pemerintahan Jokowi. Kepemilikan mayoritas saham Freeport, hilirisasi industri tambang khususnya nikel, pemindahan ibukota dari Jakarta (warisan Jawa-sentris kolonial) ke IKN (cita-cita kemerdekaan yang Indonesia-sentris), dan peringkasan ruang dan waktu (deregulasi/debirokratisasi, digitalisasi ekonomi, dan modernisasi transportasi). Itu untuk menyebut beberapa saja.
Itu semua kebijakan dan program gerak maju. Jokowi ingin memastikan presiden/wapres penerusnya, maju di jalur yang sudah dirintisnya. Â Bukan presiden/wapres yang bergerak mundur, lalu merintis lagi "jalan lain".
Kapan majunya Indonesia kalau begitu?
Dongeng Intrik Kerajaan dan Legenda Si Malin Kundang
Putusan MK dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 kemudan mennetapkan batas minimal usia capres/cawapres 40 tahun "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Oleh sebagian politisi, pengamat, dan khalayak, putusan itu ditafsir sebagai hasil cawe-cawe Jokowi untuk penentuan capres/cawapres 2024. Â Sebab, singkat cerita, Gibran yang notabene putra sulung Jokowi melenggang jadi cawapres di kubu KIM, mendampingi capres Prabowo. Jokowi dan Gibran menyimpang dari garis partainya, PDIP.
Jokowi langsung menjadi sasaran kebencian dan kemarahan.  Dia dianggap tidak etis karena, pertama,  langsung atau tak langsung, telah mengarahkan MK mengeluarkan putusan yang memfasilitasi Gibran menjadi cawapres  kubu KIM.
Kedua, Jokowi dan Gibran  keluar dari garis kepartaian PDIP atau membangkang pada wewenang Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Â
Ringkasnya, Presiden Jokowi dianggap melakukan konspirasi nepotistik demi mewujudkan dinasti politik Jokowi di luar demarkasi PDIP. Â Indikasinya, Jokowi adalah kakak ipar Ketua MK dan Gibran adalah keponakan Ketua MK.
Kepada Presiden Jokowi lalu disematkan dua label negatif: Â pengkhianat PDIP/Megawati dan dalang politik nepotistik. Sungguh dua label yang terlalu buruk untuk Jokowi yang sudah 9 tahun mewakafkan hidupnya untuk kemajuan bangsa dan negara. Â Setidaknya begitulah dikesankan pemberitaan dan perbincangan khalayak selama ini.
Mengapa Jokowi seolah mendadak menjadi "bukan Jokowi yang dulu lagi"? Â
Media arus-utama  dan media sosial memviralkan dua "cerita anak-anak" sebagai jawaban pertanyaan.
Pertama, sebuah dongeng intrik perebutan kekuasaan di lingkungan kerajaan. Â Konon Permaisuri Solo dan Ibusuri Banteng berseteru. Konon persaingan itu dilatari sakit hati Permaisuri atas hinaan Ibusuri kepada Raja (suami) dan putra mahkotanya (anak kesayangan).Â
Konon Raja kerap direndahkan dengan sebutan "petugas kandang banteng" yang layak dikasihani. Sedangkan putra mahkota kerap dibully sebagai "anak ingusan" yang dikarbit menjadi "raja kecil".
Merasa direndahkan seperti itu, Permaisuri lalu unjuk gigi. Â Dia bertekad mempromosikan putra mahkotanya ke tampuk kekuasaan sebagai wakil raja. Â
Permaisuri paham mustahil Ibusuri mendukung putra mahkotanya menjadi wakil raja. Â Sebab Ibusuri sendiri juga punya putri mahkota. Â
Karena itu Permaisuri minta Raja mbalelo kepada Ibusuri. Â Raja diminta mendukung Menteri Tua, salah seorang menterinya, untuk menjadi calon raja. Â Syaratnya, putra mahkota diikutkan sebagai calon wakil raja.
Dan terjadilah demikian.
Kedua, legenda Si Malin Kundang, anak manja yang durhaka kepada ibundanya. Â Ini sebuah kisah pengkhianatan anak kepada Ibunda yang telah meluluskan apa saja permintaan si anak. Â Kecuali satu: Â hasrat menjadi penguasa absolut kerajaan.
Konon Ibunda telah mengabulkan keinginan Malin menjadi adipati di Kadipaten Selo, lalu menjadi residen di Karesidenan Kota Raja, sampai akhirnya menjadi raja di Kerajaan Samudera. Â Anaknya juga, sesuai permintaan Malin, Â didudukkan sebagai adipati Selo. Bahkan menantunya diplot menjadi adipati Madun. Semua keinginan itu dipenuhi Ibunda dengan mengorbankan kepentingannya sendiri.
Sampai kemudian Malin minta perpanjangan masa jabatan  raja sampai tiga periode, Ibunda dengan tegas menolak. Sebab hal itu menolak konstitusi kerajaan.  Alasan keberlanjutan program besar pembangunan yang dimajukan Malin, tidak bisa terima. Itu mengingkari kemungkinan adanya raja penerus yang lebih baik.
Sakit hati ditolak, Malin mengkhianati kepercayaan Ibundanya. Â Dia keluar dari rumah Ibundanya dan membangun rumah baru bersama tokoh-tokoh kerajaan yang oportunis. Â Salah seorang tokoh tua didukungnya sebagai calon raja. Â Dengan syarat anaknya, adipati Selo, diikutkan sebagai calon wakil raja, mewakili dirinya dalam kerajaan nanti.
Untuk memuluskan konspirasi khianat itu, hukum direkayasa. Â Sehingga adipati Selo yang belum cukup umur lolos persyaratan calon wakil raja.
Dan terjadilah demikian.
Tak ada alasan untuk percaya pada dua cerita di atas. Â Cerita pertama lebih merupakan karangan bebas seorang penggemar dongeng-dongeng intrik kerajaan antah berantah. Â Tinggal memasukkan fakta-fakta yang ada pada kerangka (template) cerita. Maka jadilah sebuah dongeng intrik kekuasaan di kerajaan antah-berantah -- entah itu Wakanda, Konoha, atau lainnya.
Sebuah dongeng terlalu indah untuk pernah menjadi kenyataan.
Begitupun dengan cerita kedua. Â Itu cerita yang merendahkan kapasitas Ibunda. Bagaimana mungkin seorang Ibu tak paham tabiat anaknya yang serakah. Â Apakah dia sebegitu dungunya sehingga tidak tahu adat anaknya untuk kemudian menghentikannya sebelum kebablasan?
Kalau ada orang yang percaya pada dua cerita itu, pastilah dia "anak-anak". Â Hanya "anak-anak" yang percaya pada dongeng dan legenda.
Tapi mungkin sebagian besar warga Indonesia itu masih terbilang "anak-anak" sebagai mahluk politik. Politisi tahu benar soal itu. Maka dikaranglah dongeng dan legenda politik yang disebarkan dan dikisahkan berulang-ulang ke ruang khalayak.
Ya, politisi butuh khalayak bodoh, mahluk politik kanak-kanak.
"Ulangilah kebohongan sesering mungkin maka dia akan menjadi kebenaran," kata Joseph Goebbels, propagandis Nazi.Â
Begitupun dongeng dan legenda. Â Ceritakan berulang-ulang secara intensif, maka khalayak akan percaya itu adalah kebenaran.
Begitulah cara framing bekerja. Memborbardir  khalayak Indonesia, baik pendukung (juga mantan) Jokowi maupun (apalagi) hatersnya, dengan cerita emosional. Sehingga khalayak yang emosional mulai percaya Jokowi itu "anak durhaka", seorang pengkhianat politik minus etika. Dia menghalalkan segala cara melanggengkan kekuasaan lewat dinasti politik.
Jokowi itu Machiavellian sejati?
Buruk sekali Presiden Jokowi. Â
Benarkah seperti itu. Â Ya, benar, bagi orang-orang yang percaya bahwa dongeng dan legenda adalah kebenaran.
Tapi, sekali lagi, sangat mungkin persepsi Jokowi buruk itu kesimpulan yang kesusu.
Teori "Dalang - Wayang" yang Sesat Logika
Lepas dari intrik-intrik politik yang menyertainya, kini sudah resmi mendaftar ke KPU tiga pasangan capres/cawapres untuk Pilpres 14 Februari 2024. Â Pasangan Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, dan Prabowo-Gibran.Â
Hasil kerja MKMK yang memeriksa pelanggaran etika para hakim MK, juga gugatan kepada KPU yang telah menerima pendaftaran Prabowo-Gibran, tampaknya tak akan mengubah komposisi tiga pasangan itu.
Hakim MK mungkin akan terkena sanksi jika terbukti melanggar etika. Â Tapi itu tak akan mengubah putusan yang telah meloloskan Gibran menjadi cawapres.
Presiden Jokowi juga mustahil dibawa ke sidang impeachment terkait putusan MK yang berbau rekayasa nepotistik itu.  Toh tidak ada satupun fraksi di DPR yang resmi mempermasalahkannya.Â
Lebih penting lagi, Ketum PDIP Megawati sudah menyatakan komitmen tetap mengawal Presiden Jokowi sampai batas akhir kekuasaannya. Â Dia juga sudah minta kalangan PDIP tidak menjelek-jelekkan Jokowi dan Gibran.
Upaya untuk membenturkan Jokowi dan Megawati, entah dari siapa, juga gagal. Megawati tidak mempan dikompori agar mengusir Jokowi dan Gibran dari PDIP. Jokowi dan Gibran juga tidak menyatakan diri keluar dari PDIP.  Statusnya stalemate, tidak ada yang kalah/dikalahkan atau menang/dimenangkan.
Lalu kemarin (30/10/2023) ketiga capres, Anies, Ganjar, dan Prabowo telah diundang Presiden Jokowi makan siang bersama di istana.Â
"Diplomasi makan siang" a la Jokowi itu menurunkan tensi prikologis antar tiga kubu pendukung. Â Khalayak juga merespon positif dan kocak. Â Gambar kaleng biskuit KGB sudah berubah menjadi gambar keempat tokoh nasional itu makan bersama.
Sekarang saatnya fokus pada pilihan masing-masing. Â Kalau mau jagoannya menang, kampanyekanlah kebaikannya. Jangan mengumbar keburukan pasangan lain. Â Keburukan calon lain tak akan membuat calonmu menjadi lebih baik.
Fokus menilai pasangan capres/cawapres yang didukung saja. Â Tak perlu melihat siapa yang ada di belakang mereka. Periksa sendiri rekam jejak sosial politik tiap pasangan.
Hati-hati dalam menilai. Ojo kesusu. Jangan percaya begitu saja pada kata orang di medsos. Nanti bisa salah pilih, lho. Cilaka itu.
Jangan termakan pula oleh teori "dalang - wayang" yang dibisikkan pengamat. Katanya kita sebenarnya memilih dalang, bukan wayang. Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, dan Prabowo-Gibran itu  "wayang". "Dalang"nya  Surya Paloh (Anies-Muhaimin), Megawati (Ganjar-Mahdud), dan Jokowi (Prabowo-Gibran).
Teori "dalang - wayang" itu sesat pikir jenis appeal to authority. Argumen bahwa kalau "dalang" benar maka pasti "wayang"-nya benar.  Pemilih diminta melihat  Surya Paloh, Megawati, dan Jokowi saja.  Suka Surya pilih Anies, suka Mega pilih Ganjar, suka Jokowi pilih Prabowo.
Ngawur banget.  Itu pembodohan telanjang. Ini kan Pilpres. Maka yang dipilih, ya, capres-cawapresnya.  Sebab  jika terpilih, kan mereka yang berkuasa.  Bukan dalangnya yang bisa saja sudah "habis manis sepah dibuang".
Salah satu patokan pemilihan yang mungkin berguna adalah pertanyaan ini: Â Apakah pasangan capres-cawapres itu siap dan mampu membela kedaulatan nasional?
Pikiran Pak Jokowi bisa menjadi acuan. Cocokkan dengan rekam jejak masing-masing pasangan.Â
Berdasar jejak rekamnya, apakah pasangan capres-cawapres itu akan melanjutkan hilirisasi industri tambang atau malah balik ke hulu? Â Apakah saham mayoritas Freport akan dilepas ke investor Amerika? Â Apakah proyek IKN yang Indonesia-sentris (cita-cita kemerdekaan) akan dihentikan lalu bertahan dengan Ibu Kota Jakarta yang Jawa-sentris (warisan kolonial)? Apakah peringkasan ruang dan waktu dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan politik akan diperlambat? Apakah akan membawa potensi ancaman idiologis, semisal mengganti dasar negara Pancasila?
Itu dengan asumsi  pemikiran Jokowi tentang kriteria Indonesia Maju 2045 adalah sebuah kebenaran.Â
Sebab terbuka juga untuk bertanya kritis: Apakah pemikiran Jokowi tentang kriteria Indonesia Maju 2045 itu  satu-satunya kebenaran?Â
Sebab Pak Jokowi juga bisa salah, bukan?(eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H