Sebuah dongeng terlalu indah untuk pernah menjadi kenyataan.
Begitupun dengan cerita kedua. Â Itu cerita yang merendahkan kapasitas Ibunda. Bagaimana mungkin seorang Ibu tak paham tabiat anaknya yang serakah. Â Apakah dia sebegitu dungunya sehingga tidak tahu adat anaknya untuk kemudian menghentikannya sebelum kebablasan?
Kalau ada orang yang percaya pada dua cerita itu, pastilah dia "anak-anak". Â Hanya "anak-anak" yang percaya pada dongeng dan legenda.
Tapi mungkin sebagian besar warga Indonesia itu masih terbilang "anak-anak" sebagai mahluk politik. Politisi tahu benar soal itu. Maka dikaranglah dongeng dan legenda politik yang disebarkan dan dikisahkan berulang-ulang ke ruang khalayak.
Ya, politisi butuh khalayak bodoh, mahluk politik kanak-kanak.
"Ulangilah kebohongan sesering mungkin maka dia akan menjadi kebenaran," kata Joseph Goebbels, propagandis Nazi.Â
Begitupun dongeng dan legenda. Â Ceritakan berulang-ulang secara intensif, maka khalayak akan percaya itu adalah kebenaran.
Begitulah cara framing bekerja. Memborbardir  khalayak Indonesia, baik pendukung (juga mantan) Jokowi maupun (apalagi) hatersnya, dengan cerita emosional. Sehingga khalayak yang emosional mulai percaya Jokowi itu "anak durhaka", seorang pengkhianat politik minus etika. Dia menghalalkan segala cara melanggengkan kekuasaan lewat dinasti politik.
Jokowi itu Machiavellian sejati?
Buruk sekali Presiden Jokowi. Â
Benarkah seperti itu. Â Ya, benar, bagi orang-orang yang percaya bahwa dongeng dan legenda adalah kebenaran.