"Eh, betul juga." Walau sakit hati, Poltak mengakui kecerdasan Berta.
Pagi itu juga Poltak bergegas ke pasar belakang kampung. Â Pulangnya, dia menenteng sepapan lem tikus dan satu ons teri Medan.Â
Bara dendam di hati Poltak membuat malam serasa telat tiba. Dia ingin segera membuat perhitungan terakhir. Tak ada kata gagal lagi.
Ini soal harga diri.
***
Malam sudah tiba. Lem tikus sudah terpasang. Umpan teri Medan goreng dan roti tawar sudah tersaji. Platingnya menggiurkan. Colour, texture, dan flavour sempurna.
"Hanya tikus dungu yang menolak makanan selezat ini!" Poltak setengah berteriak saat menyiapkan umpan itu.
"Dungu? Aku dungu katamu?" Tikus jantan itu meradang di atas plafon dapur. Untuk pertama kalinya ada yang mengatainya dungu.Â
Laki atau jantan selalu tersinggung dibilang dungu. Kendati faktanya begitu.
"Memangnya aku presiden?" Tikus itu bersungut-sungut. Di siaran televisi dia pernah mendengar seseorang mengatai presidennya dungu.Â
Tepat tengah malam, setelah membuat kegaduhan di atas plafon, tikus itu turun ke taman belakang. Hendak dibuktikannya, dia tak sedungu yang dipikirkan Poltak.