Kawin itu kan gagasan yang mesti dinarasikan, sebelum kemudian dijalankan. Narasi itu mencakup konteks, norma, arah, tujuan, dan ikhtiar atau inisiatif.Â
Tanpa narasi, kawin adalah musibah. Misalnya karena ketangkap hansip. Atau barang terpeleset lalu, cilaka, hamil.
Begitu pula dengan menulis. Setidaknya menurut pengalaman subyektifku di Kompasiana, ya.
Hanya saja, jika perkawinan harus terencana, kecuali musibah ya, maka menulis tidak harus begitu.
Maksudku begini.Â
Lazimnya, bila hanya mengandalkan rasio, proses menulis itu akan dimulai dengan penentuan topik atau gagasan. Kemudian bikin outline. Setelah itu kumpul, olah, dan tafsir data yang relevan. Lalu tulis draft, lanjut revisi. Sampai pada akhirnya finalisasi tulisan.
Tapi saat menulis aku tak hanya mengandalkan rasio. Intuisiku kupasang di depan, menuntun kerja rasioku.
Dengan intuisi aku mendapatkan percik-percik serendipitas, hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Itu temuan tak terduga, gagasan-gagasan untuk ditulis atau dinarasikan.
Dengan mengedepankan intuisi, dan membiarkannya menuntun rasio, maka aku tak pernah punya rencana detil tulisan. Rencana dan pelaksanaan saling-tindak selama proses penulisan. Struktur dan substansi tulisan baru kuketahui setelah rampung.Â
Maaf, apakah tuturanku terlalu abstrak? Mengawang? Susah dimengerti?Â
Baiklah. Di bawah ini aku beri contoh kongkrit. Pengalamanku sendiri.