Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perkawinan Huruf Melahirkan Kata yang Membentuk Kalimat

4 Juli 2023   05:10 Diperbarui: 6 Juli 2023   22:07 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses kreatif (Foto: via tribunnews.com)

Gak dinyana, kami malah makan soto (ayam) gading di Solo. Itu diluar harapanku. Tapi kunikmati juga soto Gading itu. Tanpa terpikir untuk menuliskannya. Karena itu aku tak ambil foto soto atau kedainya.

"Yah, paling tidak rinduku pada soto Triwindu dibayar dengan semangkok soto Gading." Aku menghibur diri. 

Aha! Itu serendipitas. Maka aku menggali memoriku tentang pengalaman makan soto Triwindu dan soto Gading di masa lalu. Kutafsir ulang semuanya, lalu kutuliskan menjadi artikel "Dapatkah Rindu pada Soto Triwindu Dibayar dengan Soto Gading?" (K.27.06.2023). Walau menjadi Artikel Utama, tulisan ini hanya meraih 377 views.

Tapi aku suka dengan tulisan itu. Ada sebuah serendipitas unik di situ. Ketika aku menemukan tafsir kelembutan struktur, tekstur, dan rasa soto Gading itu adalah pewujudan kelembutan Putri Solo.

Ketika kembali dari Solo ke Semarang (22.06.2023) kami sengaja naik Kereta Api Banyubiru. Kereta Solo-Semarang ini baru beroperasi. Kami, terutama aku, ingin menjajalnya.

Aku pikir pastilah ada sesuatu yang bisa ditulis tentang pengalaman pertama.  Entah apa yang akan ditulis, dan bagaimana sudut pandangnya, aku belum tahu. Kupercayakan saja pada intuisi. Pasti nanti muncul sendiri.

Begitulah, sepanjang rel lintas Balapan Solo sampai Semarang Tawang aku jepreti pakai kamera ponselku saujana agroekologi di koridor kiri-kanan rel. Juga foto-foto stasiun yang dilalui. Pasti nanti bisa menjadi sumber inspirasi. 

Sampai tiba kembali di Semarang, aku belum tahu akan menulis apa. 

Tiba-tiba saja muncul di benakku tiga soal. Pertama, soal tiket yang tercetak ganda dan harga tiket promosi yang tak kudapatkan lewat aplikasi KAI.  Kedua, soal agroekologi lahan kering sepanjang koridor rel yang mengindikasikan kemiskinan. Ketiga, fakta perjalanan nyaman melintasi jalur rel Semarang-Solo, jalur tertua di Indonesia.  

"Perjalanan yang menyenangkan, dengan saujana agroekologi khas lagan kering  tapi rugi tiket lima puluh persen." Itu simpulanku tentang pengalaman naik Banyubiru.

Ah, itu serendipitas lagi. Maka aku menulis artikel "Senang Walau Merugi Jajal Kereta Banyubiru dari Solo ke Semarang" (K.25.06.2023). Tulisan itu menjadi Artikel Utama  dan mendulang 21,365 views.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun