Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perkawinan Huruf Melahirkan Kata yang Membentuk Kalimat

4 Juli 2023   05:10 Diperbarui: 6 Juli 2023   22:07 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses kreatif (Foto: via tribunnews.com)

Tulisan bagiku adalah suatu bangsa di dunia literasi, hasil kawin-mawin antar kalimat yang lahir dari kawin-mawin antar kata, buah kawin-mawin antar huruf.| Felix Tani

Pada mulanya adalah huruf-huruf. Dua puluh enam jumlahnya.

Lalu huruf-huruf itu kawin-mawin. Lahirlah kata-kata.

Kata-kata kawin-mawin juga. Melahirkan kalimat-kalimat.

Kalimat-kalimat kawin-mawin pula. Maka lahirlah tulisan.

Dengan begitu tulisan merupa sebuah bangsa di dunia literasi.

***

Begitukah? Proses menulis itu serupa kawin? Gampang, dong.

Ya, gampang kalau kawin itu sekadar bersetubuh. Setelah lenguh, lalu lelah, ya sudah.

Tidak sedangkal itulah.

Kawin itu kan gagasan yang mesti dinarasikan, sebelum kemudian dijalankan. Narasi itu mencakup konteks, norma, arah, tujuan, dan ikhtiar atau inisiatif. 

Tanpa narasi, kawin adalah musibah. Misalnya karena ketangkap hansip. Atau barang terpeleset lalu, cilaka, hamil.

Begitu pula dengan menulis. Setidaknya menurut pengalaman subyektifku di Kompasiana, ya.

Hanya saja, jika perkawinan harus terencana, kecuali musibah ya, maka menulis tidak harus begitu.

Maksudku begini. 

Lazimnya, bila hanya mengandalkan rasio, proses menulis itu akan dimulai dengan penentuan topik atau gagasan. Kemudian bikin outline. Setelah itu kumpul, olah, dan tafsir data yang relevan. Lalu tulis draft, lanjut revisi. Sampai pada akhirnya finalisasi tulisan.

Tapi saat menulis aku tak hanya mengandalkan rasio. Intuisiku kupasang di depan, menuntun kerja rasioku.

Dengan intuisi aku mendapatkan percik-percik serendipitas, hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Itu temuan tak terduga, gagasan-gagasan untuk ditulis atau dinarasikan.

Dengan mengedepankan intuisi, dan membiarkannya menuntun rasio, maka aku tak pernah punya rencana detil tulisan. Rencana dan pelaksanaan saling-tindak selama proses penulisan. Struktur dan substansi tulisan baru kuketahui setelah rampung. 

Maaf, apakah tuturanku terlalu abstrak? Mengawang? Susah dimengerti? 

Baiklah. Di bawah ini aku beri contoh kongkrit. Pengalamanku sendiri.

***

Baru-baru ini aku, bersama keluarga, berkunjung ke Semarang dan Solo. Ngrumati anak yang kuliah di Semarang dan menghadiri acara keluarga luas di Solo. Sekalian jalan-jalanlah. 

Sekali mendayung tiga pulau terlampaui. Istilah bisnisnya, efsiensi.

Waktu berangkat, intuisiku mengatakan, pasti bisa menulis sesuatu dari kunjungan itu. Tapi tentang apa aku gak tahu dan ogah juga mikirin. Motifku ke Semarang dan Solo kan bukan menulis artikel.

Lalu menjelang siang di satu hari Minggu (18/6/2023), selepas misa di Gereja Katolik Banyumanik, anakku mengajak makan siang di Pecinan Semarang. 

Ndilalah, restoran yang dituju ternyata hanya menyajikan menu daging babi. Sementara istriku gak mau makan daging babi. Aku juga gak terlalu suka.

Terpaksalah kami cari restoran lain terdekat lewat google. Eh, ketemu Kedai Bakmi Hap Kie yang -- belakangan baru tahu -- terkenal enak masakannya. 

Sampai usai makan di kedai itu, aku gak terpikir untuk menulis apapun. Karena itu, aku tak mengambil foto-foto makanan yang kami pesan.

Barulah setelah duduk-duduk di penginapan, terpikir olehku kejadian makan di kedai Hap Kie itu suatu serendipitas. Sesuatu yang tak direncanakan, juga tak diduga sebelumnya. 

Maka jemariku langsung menari pada papan kunci ponsel. Keluarlah tulisan "Sebuah Makan Siang di Pecinan Semarang" (K. 20.06.2023). Tulisan sederhana ini meraih 4,228 views.

Saat kami bergeser ke Solo (21/6/2023), aku punya niatan membayar rinduku makan soto (sapi) Triwindu. Aku pikir, mesti ada yang bisa dituliskan tentang itu. Entah apa.

Gak dinyana, kami malah makan soto (ayam) gading di Solo. Itu diluar harapanku. Tapi kunikmati juga soto Gading itu. Tanpa terpikir untuk menuliskannya. Karena itu aku tak ambil foto soto atau kedainya.

"Yah, paling tidak rinduku pada soto Triwindu dibayar dengan semangkok soto Gading." Aku menghibur diri. 

Aha! Itu serendipitas. Maka aku menggali memoriku tentang pengalaman makan soto Triwindu dan soto Gading di masa lalu. Kutafsir ulang semuanya, lalu kutuliskan menjadi artikel "Dapatkah Rindu pada Soto Triwindu Dibayar dengan Soto Gading?" (K.27.06.2023). Walau menjadi Artikel Utama, tulisan ini hanya meraih 377 views.

Tapi aku suka dengan tulisan itu. Ada sebuah serendipitas unik di situ. Ketika aku menemukan tafsir kelembutan struktur, tekstur, dan rasa soto Gading itu adalah pewujudan kelembutan Putri Solo.

Ketika kembali dari Solo ke Semarang (22.06.2023) kami sengaja naik Kereta Api Banyubiru. Kereta Solo-Semarang ini baru beroperasi. Kami, terutama aku, ingin menjajalnya.

Aku pikir pastilah ada sesuatu yang bisa ditulis tentang pengalaman pertama.  Entah apa yang akan ditulis, dan bagaimana sudut pandangnya, aku belum tahu. Kupercayakan saja pada intuisi. Pasti nanti muncul sendiri.

Begitulah, sepanjang rel lintas Balapan Solo sampai Semarang Tawang aku jepreti pakai kamera ponselku saujana agroekologi di koridor kiri-kanan rel. Juga foto-foto stasiun yang dilalui. Pasti nanti bisa menjadi sumber inspirasi. 

Sampai tiba kembali di Semarang, aku belum tahu akan menulis apa. 

Tiba-tiba saja muncul di benakku tiga soal. Pertama, soal tiket yang tercetak ganda dan harga tiket promosi yang tak kudapatkan lewat aplikasi KAI.  Kedua, soal agroekologi lahan kering sepanjang koridor rel yang mengindikasikan kemiskinan. Ketiga, fakta perjalanan nyaman melintasi jalur rel Semarang-Solo, jalur tertua di Indonesia.  

"Perjalanan yang menyenangkan, dengan saujana agroekologi khas lagan kering  tapi rugi tiket lima puluh persen." Itu simpulanku tentang pengalaman naik Banyubiru.

Ah, itu serendipitas lagi. Maka aku menulis artikel "Senang Walau Merugi Jajal Kereta Banyubiru dari Solo ke Semarang" (K.25.06.2023). Tulisan itu menjadi Artikel Utama  dan mendulang 21,365 views.

Ketika singgah di Semarang lagi, kami menyempatkan diri berkunjung ke Museum Kota Lama. Aku baru tahu museum ini saat googling Kota Lama. Museum baru rupanya.

"Pasti ada hal menarik di museum itu, bisa jadi bahan tulisan." Pikirku begitu, tanpa tahu apa yang menarik di situ. 

Aku baru tahu museum itu ternyata menerapkan teknologi imersif, tepat saat mengalaminya di dalam gedung.  

Aku juga baru tahu apa itu teknologi imersif setelah keluar dari museum, hasil ngubek  informasi di internet.

Lalu apa yang kualami selama 30 menit berada di dalam museum? Perasaan bodoh. Betul-betul bodoh, dalam arti tidak mendapat pengetahuan memadai tentang kota lama Semarang. 

Yah, dalam tempo 30 menit, apa pula yang bisa diceritakan pemandu dan diserap pengunjung tentang sejarah kota lama. Jika ada maka itu adalah  kisah yang sarat lubang.

Pulang dari museum, aku tak punya gagasan apapun untuk ditulis. Apa pula yang bisa ditulis seseorang yang merasa dirinya bodoh?

Tapi perasaan bodoh itu telah merangsangku menjelahah internet, mencari keping-keping sejarah kota lama yang tak kudapatkan di museum.

Eureka! Aku mendadak mendapat gagasan untuk dinarasikan.  Itulah proses menambal kebodohanku selepas kunjungan ke museum. Maka kutulislah artikel "Tiga Puluh Menit Bodohku di Museum Kota Lama Semarang" (K.30.06.2023).  Artikel itu hanya meraih 2,008 views.

***

Apa yang telah kutulis di atas bukanlah tip menulis artikel. Bukan. Aku bukan orang yang percaya pada tip.

Aku hanya menceritakan proses kreatifku dalam menulis artikel di Kompasiana. Itu subyektif banget. Hanya berlaku untukku. Mustahil bisa dicontek.

Jika ada yang boleh diikuti dari proses kreatif itu, maka pasti bukan cara-cara menulis, melainkan semangat (spirit) kepenulisan.

Bila dicermati, segera bisa ditemukan satu pola dalam peoses kreatifku. Tulisan-tulisanku ternyata tak terencana Mereka berawal dari "kecelakaan-kecelakaan" tak terduga. Semisal ketemu Kedai Bakmi Hap Kie, gagal makan soto Triwindu, rugi tiket kereta Banyubiru, dan mendadak bodoh di Museum Kota Lama.

Itulah serendipitas, hasil kerja intuisi. Intuisiku kemudian menuntun rasioku untuk menarasikan "kecelakaan" itu menjadi tulisan. Tanpa terlebih dahulu membuat outline dan draft. 

Menulis itu mengalir begitu saja. Huruf pertama menemukan huruf-huruf berikutnya; kata pertama menemukan kata-kata berikutnya; kalimat pertama menemukan kalimat-kalimat berikutnya.  

Itu semacam proses kawin-mawin. Antara huruf dengan huruf melahirkan suku kata; suku kata dengan suku kata melahirkan kata; kata dengan kata melahirkan kalimat; kalimat dengan kalimat melahirkan tulisan.

Proses itu sepola dengan pembentukan suatu masyarakat bangsa yang berdaulat. Sehingga secara tamsiliah, bisalah satu tulisan disebut sebuah "bangsa" yang berdaulat di dunia literasi.

Sampai di sini, proses kreatifku pasti terdengar aneh. Tak lazim. Tapi begitulah cara artikelku lahir. Mau bagaimana lagi.

Lalu, dengan proses kreatif yang mungkin tak lazim itu, mengapa aku bertahan menulis di Kompasiana? Sementara sudah banyak teman seangkatan ghosting?

Tegasnya, apa yang dicari? Uang? Ya, ada sedikit K-Rewards. Teman? Ya, ada banyak. Musuh? Ya, ada juga sedikit.

Tapi di atas semua itu, menulis di Kompasiana itu bagiku ibarat merawat kesetiaan suami pada satu istri. Ada banyak perempuan yang menarik, tetapi mengapa suami menuliskan salinan DNA-nya pada hanya satu istri?

Apakah itu berarti Kompasiana ibarat seorang istri yang padanya aku setia menulis? Eh, kamu nanya? Jawab sendiri, deh. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun