Aku hanya menceritakan proses kreatifku dalam menulis artikel di Kompasiana. Itu subyektif banget. Hanya berlaku untukku. Mustahil bisa dicontek.
Jika ada yang boleh diikuti dari proses kreatif itu, maka pasti bukan cara-cara menulis, melainkan semangat (spirit) kepenulisan.
Bila dicermati, segera bisa ditemukan satu pola dalam peoses kreatifku. Tulisan-tulisanku ternyata tak terencana Mereka berawal dari "kecelakaan-kecelakaan" tak terduga. Semisal ketemu Kedai Bakmi Hap Kie, gagal makan soto Triwindu, rugi tiket kereta Banyubiru, dan mendadak bodoh di Museum Kota Lama.
Itulah serendipitas, hasil kerja intuisi. Intuisiku kemudian menuntun rasioku untuk menarasikan "kecelakaan" itu menjadi tulisan. Tanpa terlebih dahulu membuat outline dan draft.Â
Menulis itu mengalir begitu saja. Huruf pertama menemukan huruf-huruf berikutnya; kata pertama menemukan kata-kata berikutnya; kalimat pertama menemukan kalimat-kalimat berikutnya. Â
Itu semacam proses kawin-mawin. Antara huruf dengan huruf melahirkan suku kata; suku kata dengan suku kata melahirkan kata; kata dengan kata melahirkan kalimat; kalimat dengan kalimat melahirkan tulisan.
Proses itu sepola dengan pembentukan suatu masyarakat bangsa yang berdaulat. Sehingga secara tamsiliah, bisalah satu tulisan disebut sebuah "bangsa" yang berdaulat di dunia literasi.
Sampai di sini, proses kreatifku pasti terdengar aneh. Tak lazim. Tapi begitulah cara artikelku lahir. Mau bagaimana lagi.
Lalu, dengan proses kreatif yang mungkin tak lazim itu, mengapa aku bertahan menulis di Kompasiana? Sementara sudah banyak teman seangkatan ghosting?
Tegasnya, apa yang dicari? Uang? Ya, ada sedikit K-Rewards. Teman? Ya, ada banyak. Musuh? Ya, ada juga sedikit.
Tapi di atas semua itu, menulis di Kompasiana itu bagiku ibarat merawat kesetiaan suami pada satu istri. Ada banyak perempuan yang menarik, tetapi mengapa suami menuliskan salinan DNA-nya pada hanya satu istri?