Poltak berkonsentrasi. Memegang lembaran puisi di tangan kiri. Memejamkan mata sejenak.Â
Lalu terdengarlah suara bergetar, dengan tempo cepat-lambat, intonasi tinggi-rendah, diwarnai ekspresi marah, sedih, dan kagum silih-berganti.Â
"Ketika peluru bedil Belanda si penjajah. Menerjang Lembah Bakkara. Jantung Tano Batak. Kau tegak menghadang. Gagah melawan!
Di bawah langit duka. Darah merah mengalir di Aek Silang. Darah putih mengalir di Aek Simangira. Bertemu jadi merah-putih.
Itu darah rakyatmu. Tumpah demi Tano Batak.
Silindung takluk. Humbang takluk. Samosir takluk. Uluan takluk. Toba pun takluk. Bakkara jadi abu. Tapi kau menolak tunduk.
Dari lebat hutan Tano Batak. Kau tetap melawan. Diiring putra-putrimu. Patuan Anggi, Patuan Nagari, dan Boru Lopian.
Kau tak sudi tunduk. Hingga tetes darah terakhir.
Di saat dukamu. Pilu memeluk jasad putrimu Boru Lopian. Di tepi Aek Sibulbulon. Di sisi barat Tano Batak. Sebutir peluru bedil marsose melesat. Keji menembus kepalamu.
"Ahu Sisingamangaraja!" teriakmu. Kau tikam langit dengan pedang Gaja Dompak. Sebelum hembuskan nafas terakhir. Atas kehendak Mulajadi Nabolon. Demi daulat Tano Batak
Kau Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Gelar Raja Sisingamangaraja XII. Raja Batak terakhir.