Kau Pahlawan Bangsa!"
Poltak meneriakkan  baris terakhir puisinya seraya menunjuk ke arah selatan, ke kiblat Bakkara.
Setelah itu, dia membungkuk menghormat dewan juri. Diiringi tepuk-tangan dan tempik-sorak kekaguman.
Tapi reaksi juri terbelah. Dua orang, Frater Ambrosius dan Pak Nahum, berdiri tepuk tangan. Seorang lagi, Pak Rapolo, tetap duduk sambil mencibir. Â
Alamat bakal ada masalah. Dan memang begitulah.
"Ini karya plagiat. Mustahil anak kelas enam esde bisa bikin puisi sebagus ini," kata Pak Rapolo saat rapat juri untuk penentuan juara.Â
"Poltak tak boleh jadi juara," desisnya dalam hati dengan sorot mata ular.
Pak Rapolo menyimpan dendam kesumat pada Poltak. Tahun lalu dia dipermalukan anak itu di kelas lima SD Hutabolon. Poltak bisa menjawab semua pertanyaannya. Tapi dia tak bisa menjawab satu, hanya satu, Â pertanyaan Poltak: "Mengapa batang pohon karet di perkebunan condong ke arah utara?"
Sementara Fater Ambrosius dan Pak Nahum telah satu kata. Puisi Poltak sangat impresif, orisional, dan menggugah. Poltaklah juara pertama. Â
"Pak Rapolo, kalau puisi Poltak plagiat, lalu puisi siapa yang dia jiplak?" tanya Frater Ambrosius.
"Anu ... ah, Â Felix Tani," jawab Pak Rapolo. Nama Felix Tani muncul begitu saja di benaknya. Entah dari mana datangnya.