"Nah, kurasa dia menjiplak puisi Chairil Anwar," bisik Pak Rapolo pada Frater Ambrosius.
"Chairil Anwar menulis puisi 'Dipobegoro'. Bukan 'Sisingamangaraja Keduabelas'," sanggah Frater Ambrosius, menatap tajam Pak Rapolo. Â "Ada dendam apa di kepala orang ini," pikirnya.
"Sudah, Nak,"kata Frater Ambrosius, "kau boleh kembali ke tempatmu lagi. Mauliate, da?"
"Nauli." Poltak membungkuk hormat, lalu berbalik melangkah ke arah teman-temannya.
Dewan juri kembali melanjutkan rapat penentuan juara-juara Lomba Menulis dan Membaca Puisi. Tanpa perdebatan.
Matahari bersinar penuh di langit biru cerah. Riak-riak kecil di bentang permukaan Danau Toba kerlap-kerlip bagai hamparan padang permata. Berta tersenyum manis pada Poltak, sang juara di hatinya. (Bersambung)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H