Bukan semata logika. Tapi juga etika dan estetika.
Itulah yang membedakan Messi dengan Mbappe. Messi, dengan intuisinya yang kuat, memainkan sepakbola yang logis, etis, dan estetis. Efisien dan efektif, anti-kekerasan, dan indah.
Dalam satu kata, jenius. Seperti Albert Einstein. Meringkas dunia dalam sebuah rumus yang logis, etis, dan estetis: E = mc2. Sederhana, tapi indah.
Level itulah yang masih harus dikejar Mbappe. Menjadi Einstein-nya sepak bola. Dengan cara mengasah intuisi. Messi sudah berada di level itu. Mbappe masih berkutat pada rasionalitas.
"Pikiran intuitif adalah kurnia suci. Sedangkan pikiran rasional adalah hamba setia." -Albert Einstein
Tentu saja pendapatku subyektif. Sesubyektif sepakbola itu sendiri. Atau sesubyektif Messi. Atau juga sesubyektif Szymon Marciniak, wasit laga final Argentina lawan Prancis yang ogah diintervensi VAR yang hiper-obyektif. Asyik!
Aku menonton sepakbola di atas motif subyektif. Seperti juga Messi main sepakbola di laga final itu dengan motif subyektif, motif altruis, demi nama bangsa dan negara Argentina.
Argentina sangat butuh martabat setelah 36 tahun puasa gelar juara Piala Dunia. Itu motif yang jauh lebih kuat ketimbang motif Prancis untuk menjadi juara dua kali berturut-turut.Â
Dengan begitu aku mau bilang, Messi lebih punya motif untuk juara ketimbang Mbappe.
Jadi, bagiku menonton laga final Piala Dunia pada Minggu 18 Desember 2022 adalah menonton Messi mengkoreografi subjektivitasku dalam permainan subyektifnya.Â
Maksudku, permainan Messi sebagai artikulasi subyektivitasnya adalah artikulasi subyektivitasku juga. Bukankan kami sama dituntun oleh intuisi yang sama? Keyakinan Argentina keluar sebagai juara?